Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Agenda Koperasi Pasca-Omnibus Law

Pada Mei 2020 yang lalu, Indonesian Consortium for Cooperatives Innovation (ICCI) pernah membuat jajak pendapat online yang diikuti 1.002 partisipan. Jajak pendapat itu menemukan beberapa hal. Salah satunya top of mind orang Indonesia memandang koperasi, secara berurutan adalah usaha bersama, simpan-pinjam, gotong royong, kewirausahaan dan demokrasi ekonomi.

Dari 1.002 partisipan, 33 persennya bukan anggota/pengurus/karyawan koperasi. Sebagian besar partisipan adalah anggota koperasi, 41 persen dan sisanya 26 persen sedang menjabat sebagai pengurus/pengawas/karyawan.

Ada satu pertanyaan yakni mengapa mereka tidak tertarik mendirikan koperasi, tiga besar alasan partisipan adalah tidak memahami model koperasi, butuh banyak orang (20 orang) dan tidak memiliki modal. Dalam hal ini, paling tidak omnibus law telah menjawab satu masalah, butuh banyak orang.

Studi komparasi yang saya lakukan menemukan perbedaan syarat dalam pendirian koperasi di berbagai negara. Kanada yang menyaratkan minimal tiga orang, Afrika lima orang, kemudian Nigeria 6, 10, 20, 50 orang tergantung sektor koperasinya. Jamaika cukup 10 orang, India 10 dan 50 orang, tergantung wilayah operasinya. Lalu Singapura 5 dan 10 orang tergantung sektornya. Ada juga Australia dan Uni Eropa sama yaitu 5 orang dan Malaysia 10 orang.

Jumlah itu berbeda-beda tergantung kebijakan tiap negara dengan berbagai pertimbangan masing-masing tentunya. Sedangkan dulu Indonesia pernah 25 orang (UU 1958 dan 1965), kemudian berubah menjadi 20 orang (UU 1967, 1992, 2012, 1992). Lalu sekarang per 2020 menjadi 9 orang. Yang sekarang tujuannya agar lebih mudah sehingga koperasi bisa tumbuh massif dan organik di masyarakat.

Proyeksi

Selain dari jumlah, omnibus law ini juga mengatur penyelenggaraan Rapat Anggota yang bisa dilakukan secara online. Saya pikir pandemi korona ini telah memaksa perilaku berubah bagaimana semua hal: pekerjaan, transaksi, belajar dan aktivitas lainnya dapat diselenggarakan secara online. Hal itu akan makin mudah lagi bila pendirian koperasi juga dapat dilakukan secara online.

Dengan kemudahan itu, saya memproyeksikan akan banyak tumbuh koperasi-koperasi primer nasional yang diinisiasi dari berbagai kota/kabupaten di Indonesia. Dulu membuat koperasi primer nasional sangat terkendala dengan syarat minimum anggota tiga provinsi dan jumlah 20 orang. Dengan pelaksanaan secara online, hal itu bisa dengan mudah dilakukan.

Peluang konsolidasi keanggotaan lintas daerah ini bisa menjadi modalitas besar bagi koperasi. Anggota dari daerah yang lebih maju dapat berkontribusi lebih besar daripada yang moderat atau rendah. Analogi sederhananya begini. Bagi anggota dari wilayah dengan standar upah tinggi, melakukan partisipasi modal Rp 500.000 per bulan itu bisa dianggap wajar. Hal itu bisa dianggap sangat besar bagi anggota dari wilayah dengan standar upah yang lebih rendah.

Koperasi sebagai asosiasi orang, maka modalitas orang-orang beda wilayah itu bisa dibaca dalam skema solidaritas untuk tumbuh bersama. Sebab orang yang menjadi simpul utama, maka secara imanen modalitasnya juga bergantung pada apa-apa yang melekat pada orang-orang tersebut. Misalnya latar belakang sosial-ekonomi, domisili kota/kabupaten dan sebagainya.

Peluang adanya solidaritas seperti itu sesungguhnya telah diatur oleh prinsip koperasi pertama, "Keanggotaan bersifat terbuka dan sukarela bagi semua orang yang merasa dapat mengakses layanan dan manfaat koperasi".

Proyeksi kedua, dengan kemudahan itu akan banyak anak-anak muda mendirikan koperasi dalam berbagai varian baru. Koperasi pekerja atau worker coop bakal tumbuh, di saat yang sama banyak pengangguran karena pandemi. Lalu jenius-jenius kreatif juga akan mulai melirik koperasi startup atau startup coop sebagai alternatif.

Model koperasi platform atau platform coop juga akan bermunculan. Ditambah koperasi komunitas atau community coop yang berbasis sektor kreatif juga akan tumbuh pesat.

Saya merasakan zeitgeist atau semangat zamannya memang telah tiba. Dulu, sekira 10 tahun lalu, mengintrodusir koperasi pekerja—berbeda dengan koperasi karyawan/buruh—itu lebih sulit daripada sekarang.

Sekarang gagasan/diskursus itu cenderung mudah diterima oleh generasi milenial dan pasca milenial. Ada gairah besar berkoperasi dari anak-anak muda di zaman ini daripada sebelumnya. Saya menduga media sosial berpengaruh besar dalam diseminasi informasi, inspirasi dan insight.

Proyeksi ketiga, di masa-masa mendatang berbagai bentuk restrukturisasi kelembagaan koperasi akan menjadi kenormalan baru. Amalgamasi, merger atau akuisisi akan menjadi lumrah di koperasi. Sebabnya, koperasi primer nasional dengan pendirian lintas wilayah cenderung membuat ikatan kewilayahan menjadi lebih cair. Ikatan kewilayahan yang saya maksud adalah sebagai keintiman (intimacy) orang dengan lokus hidupnya.

Selama ini sungguh sulit mengupayakan amalgamasi atau merger antar koperasi sebagai strategi pengembangan lembaga dan usaha yang lebih disebabkan variabel non-ekonomi. Misalnya seperti faktor kesejarahan koperasi yang melekat pada lokus hidup tertentu.

Primer nasional akan mengubah ikatan itu tak lagi berbasis pada lokus hidup, melainkan kesamaan kepentingan dan aspirasi anggotanya. Di sini koperasi akan mulai berhitung rasional dan menilai amalgamasi atau merger merupakan strategi yang wajar.

Afirmasi

Selain kemudahan dalam pasal pendirian, ada satu hal yang progresif di omnibus law klaster koperasi dan UKM ini. Yaitu adanya alokasi minimal 40 persen pengadaan barang dan jasa Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang harus diberikan kepada Usaha Mikro Kecil (UMK) dan koperasi.

Dengan afirmasi itu membuka peluang bagi usaha mikro kecil dan koperasi diprioritaskan dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah. Taksiran nilainya ratusan trilyun untuk Pemerintah Pusat, belum termasuk Pemerintah Daerah.

Di negara lain ada inisiatif yang mirip dengan itu yang bernama Preston Model, Lancashire, Inggris. Inisiatif itu dimulai dari Dewan Kota yang membangun close loop economy, menghubungkan berbagai pengadaan barang dan jasa sektor publik kepada lembaga-lembaga jangkar lokal.

Di sana koperasi serta entitas lain, seperti pelaku bisnis lokal diberikan prioritas. Dengan cara ini, perputaran ekonomi dapat memberi manfaat sebesar-besarnya bagi pelaku ekonomi lokal. Sebuah pelembagaan demokrasi ekonomi di level lokal.

Omnibus law ternyata lebih besar cakupannya. Tak hanya memandatkan kepada Pemerintah Pusat, namun juga Pemerintah Daerah. Bayangkan betapa besarnya kue yang dapat diakses oleh usaha mikro-kecil serta koperasi. Tentu syaratnya semua prosedur itu harus mudah. Sebab pelaku usaha mikro-kecil banyak yang tak memiliki kapasitas kelembagaan dan manajerial yang baik.

Prosedur itu sedari awal harus dibuat ramah UMK sehingga workable. Itu tantangan besar, mulai dari segi akses, data, kualitas, kapasitas produksi dan lain sebagainya.

Pada struktur pelaku ekonomi Indonesia di mana 98 persennya berskala usaha mikro dan kecil, afirmasi kuota tersebut dapat menjadi solusi di tengah dan pascapandemi mendatang. Belanja pemerintah harus sebesar-besarnya dapat diserap oleh mereka.

Isu kapasitas dan kapabilitas sebenarnya bisa dijawab dengan pendekatan kelembagaan, yakni dengan memperkenalkan model koperasi agregator usaha mikro dan kecil.

Koperasi agregator inilah yang akan mengembangkan berbagai kapasitas dan kapabilitas dalam produksi dan produk anggotanya. Mulai dari kualitas, konsistensi, kontinyuitas, kurasi produk dapat dilakukan koperasi. Bahkan koperasi ini bisa dimulti-pihakkan dengan melibatkan para jenius kreatif yang tersebar di berbagai daerah.

Entrepreneurial yang rendah pada mikro dan kecil dapat diungkit dengan mengawin-silangkan keduanya. Toh selama ini mereka juga banyak berkecimpung di berbagai startup yang menyasar segmen the bottom of pyramid.

Dengan skema multi pihak, insentif ekonomi yang adil dan wajar bagi keduanya dapat diciptakan. Satu pihak adalah kelompok anggota entrepreneur dan pihak yang lain adalah produsen dengan hak-kewajiban yang disepakati bersama.

Agenda mendatang

Meski belum banyak mengubah pada arsitektural kelembagaan koperasi, omnibus law klaster koperasi memberi angin segar bagi pengembangan koperasi di Indonesia. Tantangan berikutnya adalah menurunkan diktum undang-undang itu dalam Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri dan peraturan lainnya agar satu tujuan dan satu nafas: kemudahan.

Dengan beberapa proyeksi di awal, sangat penting juga bagi Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Koperasi, menerbitkan regulatory sandbox. Tujuannya untuk mengidentifikasi, mendokumentasi, mengklasifikasi berbagai inovasi model yang dilakukan masyarakat. Saya meyakini dengan syarat pendirian sembilan orang ini akan mendorong juga berbagai inovasi model bisnis serta kelembagaan baru koperasi.

Di awal-awal regulatory sandbox cukup dengan Surat Edaran seperti misalnya yang dulu dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Yang paling penting dari regulatory sandbox adalah sistem dokumentasi tentang apa-apa inovasi yang dilakukan koperasi. Sejauh apa relevansinya, manfaatnya, risikonya dan variabel lainnya.

Beban pengawasan mendatang akan sangat besar, bukan pada Pemerintah Daerah, namun pada Pemerintah Pusat. Hal itu dengan mengandaikan banyaknya koperasi primer nasional yang akan berdiri.

Selain regulatory sandbox, sangat penting juga memastikan para Notaris Pembuat Akta Koperasi (NPAK) memahaminya.

Sebagai contoh, sebagian Notaris di daerah tertentu meminta Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) bagi para pendiri. Hal yang sama tak pernah dilakukan bagi pendiri Perseroan Terbatas (PT). Hal itu seperti menganggap para pendiri koperasi belum akil balig sehingga perlu surat keterangan lain. Selain bias prasangka dan diskriminatif, hal itu sangat merepotkan.

Contoh lain yang saya temukan yakni Notaris yang tidak mau menerima perubahan template Anggaran Dasar (AD) pendirian koperasi. Banyak kasus di mana Notaris menolak perubahan atas persentase alokasi Sisa Hasil Usaha (SHU), misalnya. Itu sungguh konyol. Bukankah koperasi ini, perusahaan ini adalah milik anggotanya, yang tentu saja suka-suka anggota untuk mengatur pembagian labanya, bukan?

Beberapa contoh itu nampaknya remeh dan teknis. Namun akan menjadi ironi besar bila kran kemudahan yang telah dibuka lewat omnibus law, justru kemudian mandeg di meja notaris. Dalam hal ini, terkait mekanisme, prosedur, tata cara dan sejenisnya, kita harus percaya pada diktum klasik "the devil is in the details". Itulah yang harus kita kawal bersama!

https://money.kompas.com/read/2020/10/13/114000426/agenda-koperasi-pasca-omnibus-law

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke