Adapun bank BUKU II adalah bank dengan modal inti hingga Rp 5 triliun, bank BUKU III bermodal inti Rp 5-30 triliun, sementara bank BUKU IV bermodal inti lebih dari Rp 30 triliun.
Aviliani menyebut, konsolidasi diperlukan agar bank BUKU II memiliki ekosistem sebagai kunci neo banking, yakni bank yang segalanya serba digital (branchless). Sebab, belanja modal (capital expenditure/capex) untuk neo banking terlampau mahal.
"Terutama kalau mereka tidak mampu investasi, maka mereka mulai cari jodoh (konsolidasi), mulai dari akuisisi atau menjadi bagian KUB (kelompok usaha bank)," kata Aviliani dalam Webinar Infobank, Selasa (17/11/2020).
Aviliani mengungkapkan, permodalan yang dikucurkan untuk bank BUKU II pun nampaknya belum cukup membuatnya mampu bertahan saat bank besar lain menggodok neo banking.
Sebab bagaimanapun, pendapatan non-bunga (fee based income) akan terserap oleh bank-bank besar yang mempunyai ekosistem, yang notabene akan menggarap neo banking.
Jalan satu-satunya adalah, bank BUKU II harus masuk ke dalam ekosistem tersebut melalui jalur anorganik (konsolidasi).
"Fee based income-nya akan terancam dengan adanya neo bank. Saat ini terlihat bank BUKU III dan IV sudah (mulai) neo bank," tutur Aviliani.
Konsolidasi, lanjut Aviliani, semakin diperlukan mengingat bank BUKU III dan bank BUKU IV sudah mendominasi 80 persen dana, aset, dan kredit masyarakat.
Di lihat dari sisi potensi, bank yang memiliki ekosistem akan lebih mampu menjadi neo bank ketimbang bank tanpa ekosistem.
Pasalnya pada tahun 2030 diperkirakan, perilaku masyarakat akan berubah. Mereka akan cenderung memakai satu akun yang bisa mengakses berbagai kebutuhan finansial, dari menabung, berbelanja, hingga investasi.
"Jadi yang perlu dipikirkan adalah, walaupun BUKU II nanti tetap mampu bertahan dalam konsolidasi perbankan, tapi mereka perlu dipikirkan ke mana akan kena dampak dari neo bank ini," pungkas Aviliani.
https://money.kompas.com/read/2020/11/17/183100426/ada-wacana-neo-banking-bank-buku-ii-dinilai-perlu-cari-jodoh-