Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Waralaba: Antara Janji, Ekspektasi dan Realisasi

SEORANG pengusaha muda, pemilik usaha waralaba kopi susu, bercerita penuh semangat mengenai rencana ekspansi bisnis perusahaan yang dikelolanya.

Dengan konsep waralaba, ia menargetkan pembukaan minimal satu gerai tiap bulan. Sejumlah tempat telah disasar menjangkau pasar potensial. Tawaran menarik telah disiapkan untuk terwaralaba yang berminat menjadi mitra.

Walau bukan yang pertama, dengan paket penawaran yang dianggapnya murah dan menguntungkan mitra, ia yakin merek waralaba yang diusungnya bisa menjadi nomor satu.

Lalu di ujung cerita, tanpa disangka sang pengusaha sedikit membuka “rahasia” dapur bisnisnya yang sebenarnya tidak terlalu untung jika membuka usaha sendiri alias tidak diwaralabakan.

Dengan franchise fee yang diterima dari mitra terwaralaba senilai minimal 100 juta untuk setiap pembukaan gerai, bisnis waralaba bisa meraup laba lumayan besar, begitu katanya. Tapi itu cerita di kala sebelum pandemi melanda Indonesia.

Sekarang, cerita telah berbeda karena banyak mitra terwaralaba yang kesulitan dan memilih menutup gerai. Demikian pula sang empunya alias pewaralaba, terpaksa menutup sejumlah gerai yang dikelola sendiri. Rencana ekspansi sebelum pandemi yang ambisius dan indah, buyar seketika.

Di sisi lain cerita menarik tentang bagaimana waralaba yang dikelola oleh pengusaha Indonesia berjuang untuk eksis, seolah tiada habisnya. Jika tadi adalah bisnis kopi susu yang sedang booming, yang ini adalah seorang pengusaha waralaba yang menawarkan ayam goreng tepung alias fried chicken.

Ketika sejumlah gerai yang dikelola sendiri maupun mitra terwaralaba banyak menemui kesulitan dan memutuskan untuk berhenti sementara atau selamanya, sang pengusaha justru melakukan ekspansi ke negeri jiran Malaysia.

“Itu sudah direncanakan sebelum pandemi. Pembukaannya ditunda, baru saat ini,” begitu ia memberi penjelasan.

Sang mitra di Malaysia tetap menaruh kepercayaan bahwa waralaba Indonesia tetap memiliki pasar tersendiri di sana, walau tak lagi murni menawarkan fried chicken tetapi dengan berbagai varian yang menyesuaikan diri dengan selera lokal.

Berbeda dengan pengusaha waralaba kopi susu yang cenderung menutup diri dan lebih memikirkan keberlangsungan bisnisnya ketimbang “nasib” terwaralaba binaannya, waralaba fried chicken yang kebetulan dikelola oleh wanita pengusaha ini lebih peduli terhadap terwaralaba yang menjadi mitranya.

Dia tidak segan turun langsung melihat bagaimana kondisi gerai terwaralaba dan terus memberikan semangat. Dia ingin terwaralaba memperoleh sukses. Jika ada masalah, dicoba untuk dicarikan solusi yang tepat.

Dua cerita nyata mengenai bagaimana waralaba dikelola bukan cerita hitam putih seperti sinetron di stasiun televisi. Masing-masing pengelola waralaba punya pandangan sendiri-sendiri, walau ujung-ujungnya, mitra terwaralaba yang pertama kali merasakan dampaknya. Ada yang diuntungkan, tak sedikit yang kecewa karena menjalankan bisnis waralaba sebagai terwaralaba tidak seindah yang dijanjikan.

Kriteria waralaba dan implikasinya

Menurut Peraturan Pemerintah no 42 tahun 2007, waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba.

Berdasarkan pengertian tersebut, terdapat setidaknya enam kriteria suatu usaha memenuhi syarat sebagai waralaba yaitu:

1) memiliki ciri khas usaha,
2) terbukti sudah memberikan keuntungan,
3) memiliki standar atas barang dan/atau jasa yang ditawarkan yang dibuat secara tertulis,
4) mudah diajarkan dan diaplikasikan,
5) adanya dukungan yang berkesinambungan, dan
6) memiliki Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) yang telah terdaftar.

Implikasi serius dari enam kriteria tersebut adalah pewaralaba harus menyiapkan bisnisnya agar siap menjadi waralaba yang sesungguhnya, bukan “jadi-jadian”.

Pertama, secara prinsip bisnis waralaba menjual “brand” yang di dalamnya memiliki diferensiasi yang khas dibandingkan dengan produk kompetitor, baik dari produk unik yang ditawarkan hingga bagaimana mengoperasikan bisnis tersebut. Ciri khas yang melekat itu yang menjadi kekuatan daya saing.

Kedua, bisnis yang siap diwaralabakan adalah bisnis yang telah mapan dan model bisnisnya telah dikembangkan sedemikian rupa sehingga sesuai dengan konsep waralaba. Karena bisnis yang diwaralabakan telah mapan, maka mestinya telah terbukti menguntungkan.

Bisnis waralaba mencoba mereplikasi kesuksesan usaha di suatu tempat untuk diulang di tempat lain dengan konsep yang sama. Jadi rasanya agak riskan jika ada bisnis yang baru seumur jagung kemudian diwaralabakan.

Ketiga, bisnis waralaba harus memiliki SOP (Standard Operating Procedure) agar produk yang dihasilkan dan layanan yang diberikan antar gerai relatif sama. Konsistensi menghasilkan produk yang berkualitas dan layanan prima menjadi kunci waralaba yang sukses.

Keempat, bisnis waralaba semestinya mengembangkan produk dan jasa yang sederhana namun menarik bagi pasar, sehingga mudah bagi pewaralaba untuk mengajarkan kepada mitra terwaralaba untuk diaplikasikan. Untuk mendukung itu, pewaralaba selayaknya memiliki training center yang memadai.

Kelima, pewaralaba harus memiliki staf pendukung penuh di lapangan untuk memberikan dukungan dan bantuan kepada mitra terwaralaba. Staf pendukung tentu saja harus disesuaikan dengan jumlah gerai yang ada.

Di sini pewaralaba diingatkan mengenai kemampuan untuk memberikan dukungan kepada seluruh gerai. Tidak semata “jor-joran” mengejar pembukaan gerai tapi tidak mampu untuk menyiapkan dukungan kepada terwaralaba. Sasaran pertumbuhan harus diukur sesuai kemampuan dari staf pendukung.

Keenam atau terakhir, bisnis waralaba yang dikembangkan harus telah memiliki perlindungan HAKI (Hak atas Kekayaan Intelektual). Ini akan memberikan kepastian dan rasa aman bagi mitra terwaralaba yang mengeluarkan sejumlah uang untuk berbisnis waralaba.

Perlindungan hukum menunjukkan bahwa bisnis waralaba dijalankan dengan sungguh-sungguh dan memperhatikan keberlanjutan.

Biasanya pewaralaba selalu memberikan ekspektasi yang cenderung berlebihan seolah bisnis waralaba itu kebal krisis dan bebas risiko. Padahal tidak ada bisnis yang nol risiko dan kebal dari perubahan lingkungan yang dinamis. Janji indah yang membangun ekspektasi berlebihan bukan tanpa sebab.

Seperti cerita di awal tentang si pengusaha kopi susu, pewaralaba berkepentingan untuk menarik terwaralaba sebanyak-banyaknya demi pemenuhan target pertumbuhan dan tentu saja keuntungan berlimpah. Tinggal terwaralaba yang mesti berhati-hati menghadapi pewaralaba yang egois ini.

Maka ketika ekspektasi tak terpenuhi, terwaralaba kembali dihadapkan pada wajah sesungguhnya dari sebuah usaha. Kadang naik, kadang turun, atau jumpalitan tak menentu, bagai roller coaster kehidupan. Bisnis waralaba pun demikian. Membuka jalan untuk memulai usaha, namun jalannya tak selalu mulus dan rata.

Franky Selamat
Dosen Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi & Bisnis, Universitas Tarumanagara, Jakarta.

Fajar Hermawan
Mahasiswa Program Sarjana Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Tarumanagara, Jakarta.

https://money.kompas.com/read/2020/12/04/093000526/waralaba--antara-janji-ekspektasi-dan-realisasi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke