Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kata KSEI Soal Polemik Transaksi Saham Dikenai Bea Materai Rp 10.000

JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Utama PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), Uriep Budhi Prasetyo, menanggapi soal rencana penerapan bea meterai terhadap transaksi saham di pasar modal.

"Intinya UU Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai ini, kan kemarin sudah ada kabar bahwa ini belum akan diterapkan 1 Januari atau 2021 ini. Masih mau dilihat lagi," ujar Uriep dilansir dari Antara, Sabtu (26/12/2020).

Uriep melanjutkan Organisasi Regulator Mandiri atau SRO pasar modal yang terdiri atas Bursa Efek Indonesia (BEI), KSEI, dan Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI) bersama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga telah memberikan data terkait perkembangan pasar modal kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu sebagai pertimbangan dalam menyusun peraturan pelaksanaan atas UU Bea Meterai yang baru.

"Kita sudah cukup memberikan data kepada DJP supaya tidak terjadi barrier atau terjadi antiklimaks bahwa pertumbuhan ini bisa terhambat karena adanya biaya meterai. Jadi, ini masih dilihat dan dipelajari, transaksi saham di kisaran berapa sih yang pantas dikenakan bea meterai," kata Uriep.

Sebelumnya, DPR telah menyetujui RUU Bea Meterai menjadi UU dalam rapat paripurna, Selasa (29/9/2020). UU Bea Meterai yang mulai berlaku 1 Januari 2021 ini mengatur mengenai tarif bea meterai yang sebelumnya Rp 3.000 dan Rp 6.000 menjadi satu tarif yaitu Rp 10.000.

Kemudian dokumen yang semula dikenai bea meterai dengan memuat jumlah uang bernilai di atas Rp 250 ribu sampai Rp 5 juta menjadi tidak dikenai bea meterai.

Selanjutnya, UU Bea Meterai juga berisi mengenai penyetaraan pengenaan pajak atas dokumen baik dalam bentuk kertas maupun digital dan penambahan objek berupa dokumen lelang dan dokumen transaksi surat berharga.

Penjelasan Sri Mulyani

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati Sri Mulyani menegaskan setiap transaksi jual beli saham tidak dikenakan bea meterai Rp 10.000, namun merupakan pajak atas dokumen yang diterbitkan secara periodik.

“Jadi bea meterai tidak dikenakan per transaksi jual beli saham seperti yang muncul di berbagai media sosial,” kata Sri Mulyani dalam jumpa pers virtual realisasi APBN beberapa waktu sebelumnya.

Ia menjelaskan bea materai Rp 10.000 itu bukan merupakan pajak atas transaksi namun pajak atas dokumen atau menyangkut keperdataan.

Dalam bursa saham, kata dia, bea meterai dikenakan atas konfirmasi perdagangan yang merupakan dokumen elektronik diterbitkan periodik yaitu harian atas keseluruhan transaksi jual beli.

Saat ini, Direktorat Jenderal Pajak sedang melakukan penyusunan peraturan atas bea meterai termasuk skema pengenaannya atas dokumen elektronik yang menggunakan meterai elektronik.

Namun, mengingat meterai elektronik belum ada, lanjut dia, maka Kementerian Keuangan sedang melakukan persiapan dalam infrastruktur pembuatan meterai elektronik, distribusi hingga penjualannya.

Dengan begitu, kata dia, pada 1 Januari 2021, pengenaan bea meterai untuk dokumen elektronik belum akan diterapkan karena masih membutuhkan beberapa persiapan.

“Trade confirmation ini adalah dokumen elektronik maka bea meterainya nanti juga harus bea meterai yang sifatnya elektronik. Saat ini kita masih mempersiapkan keseluruhan infrastruktur jadi tidak berlaku 1 Januari 2021,” imbuh dia.

Pemerintah, lanjut dia, tidak memiliki tujuan menghilangkan minat yang tinggi dari generasi milenial yang saat ini semakin sadar berinvestasi termasuk investasi saham.

Untuk itu, pengenaan bea meterai akan dilakukan terhadap dokumen dengan mempertimbangkan batas kewajaran nilainya.

“Pemerintah pasti akan mempertimbangkan batas kewajaran yang tercantum di dalam dokumen dan dalam UU juga diperhatikan kemampuan masyarakat. Saya berharap ini akan mengakhiri spekulasi dan berbagai pertanyaan akhir-akhir ini,” kata dia.

Petisi penolakan

Sebelumnya di media sosial, sejumlah investor ritel menyatakan penolakannya atas rencana pengenaan bea materai Rp 10.000 pada transaksi saham. Penolakan ini tak hanya disampaikan melalui akun media sosial di Twitter dan Instagram, namun juga dilayangkan dengan membuat petisi.

Petisi ini sendiri ditujukan kepada Kementerian Keuangan, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Presiden Joko Widodo dan Bursa Efek Indonesia.

"Sebagai Investor Ritel yang bermodal sedikit. Tentunya biaya materai sangat memberatkan kami. Potensi investor ritel di masa depan sangatlah menjanjikan. Banyak rakyat yang sudah mulai sadar untuk mengalihkan dananya untuk investasi di Pasar Modal Indonesia," tulis Inan Sulaiman, salah investor saham yang memulai petisi.

"Tolong kami Bapak-Ibu Pejabat di Indonesia ! Kami rakyat kecil yang berusaha mengubah nasib kami melalui Pasar Modal di Indonesia. Alangkah lebih baiknya peraturan terkait biaya Materai per trade confirmation di evaluasi dan revisi. Paling tidak diberikan batas bawah materai senilai Rp. 100.000.000 per TC supaya tidak memberatkan kami ritel kecil yang berusaha berjuang di Pasar Modal Indonesia ini," kata dia lagi.

Pengenaan bea materai diatur dalam Undang-undang No 10 Tahun 2020 dan berlaku mulai 1 Januari 2021. Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai (UU Bea Meterai) pada 26 Oktober 2020 yang lalu, terdapat ketentuan yang patut diperhatikan investor terkait dengan Transaksi Surat Berharga di Bursa.

Investor lainnya, Lukman Fahd, mengeluhkan hal yang sama. Ia menyebut, pengenaan bea meterai Rp 10.000 sangat memberatkan investor ritel karena besaran nominal transaksinya terbilang kecil.

"Saya investor retail dan jumlah transaksinya kecil-kecil, kalau dikenai 10 ribu per TC dirasa cukup memberatkan," kata dia di laman Change.org.

https://money.kompas.com/read/2020/12/26/134154926/kata-ksei-soal-polemik-transaksi-saham-dikenai-bea-materai-rp-10000

Terkini Lainnya

Bank DKI Sumbang Dividen Rp 326,44 Miliar ke Pemprov DKI Jakarta

Bank DKI Sumbang Dividen Rp 326,44 Miliar ke Pemprov DKI Jakarta

Whats New
OASA Bangun Pabrik Biomasa di Blora

OASA Bangun Pabrik Biomasa di Blora

Rilis
Pengumpulan Data Tersendat, BTN Belum Ambil Keputusan Akuisisi Bank Muamalat

Pengumpulan Data Tersendat, BTN Belum Ambil Keputusan Akuisisi Bank Muamalat

Whats New
Cara Hapus Daftar Transfer di Aplikasi myBCA

Cara Hapus Daftar Transfer di Aplikasi myBCA

Work Smart
INA Digital Bakal Diluncurkan, Urus KTP hingga Bayar BPJS Jadi Lebih Mudah

INA Digital Bakal Diluncurkan, Urus KTP hingga Bayar BPJS Jadi Lebih Mudah

Whats New
Suku Bunga Acuan BI Naik, Anak Buah Sri Mulyani: Memang Kondisi Global Harus Diantisipasi

Suku Bunga Acuan BI Naik, Anak Buah Sri Mulyani: Memang Kondisi Global Harus Diantisipasi

Whats New
Ekonom: Kenaikan BI Rate Bakal 'Jangkar' Inflasi di Tengah Pelemahan Rupiah

Ekonom: Kenaikan BI Rate Bakal "Jangkar" Inflasi di Tengah Pelemahan Rupiah

Whats New
Menpan-RB: ASN yang Pindah ke IKN Bakal Diseleksi Ketat

Menpan-RB: ASN yang Pindah ke IKN Bakal Diseleksi Ketat

Whats New
Lebaran 2024, KAI Sebut 'Suite Class Compartment' dan 'Luxury'  Laris Manis

Lebaran 2024, KAI Sebut "Suite Class Compartment" dan "Luxury" Laris Manis

Whats New
Rupiah Melemah Sentuh Rp 16.200, Mendag: Cadangan Divisa RI Kuat, Tidak Perlu Khawatir

Rupiah Melemah Sentuh Rp 16.200, Mendag: Cadangan Divisa RI Kuat, Tidak Perlu Khawatir

Whats New
Rasio Utang Pemerintahan Prabowo Ditarget Naik hingga 40 Persen, Kemenkeu: Kita Enggak Ada Masalah...

Rasio Utang Pemerintahan Prabowo Ditarget Naik hingga 40 Persen, Kemenkeu: Kita Enggak Ada Masalah...

Whats New
Giatkan Pompanisasi, Kementan Konsisten Beri Bantuan Pompa untuk Petani

Giatkan Pompanisasi, Kementan Konsisten Beri Bantuan Pompa untuk Petani

Whats New
IHSG Turun 19,2 Poin, Rupiah Melemah

IHSG Turun 19,2 Poin, Rupiah Melemah

Whats New
Catat, Ini Jadwal Perjalanan Ibadah Haji Indonesia 2024

Catat, Ini Jadwal Perjalanan Ibadah Haji Indonesia 2024

Whats New
Pada Liburan ke Luar Negeri, Peruri Sebut Permintaan Paspor Naik 2,5 Lipat Pasca Pandemi

Pada Liburan ke Luar Negeri, Peruri Sebut Permintaan Paspor Naik 2,5 Lipat Pasca Pandemi

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke