Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Pemulihan Ekonomi dan Vaksinasi: Indonesia di Persimpangan Jalan

PADA 9 Desember 2020 Indef mengadakan konferensi internasional secara virtual, bertema Sustainable development and its challenges in the changing world. Mantan Wapres Jusuf Kalla dan Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa memberikan sambutan utama.

Pembicaranya adalah tiga profesor dari Jepang, India, dan Inggris, seorang dosen dari Belanda, dan saya.

Sebagai anggota PEFC Board di Jenewa dan Ketum IFCC, tentu saya memaparkan tentang sertifikasi kelestarian menjadi alat pasar yang “berhasil memaksa” korporasi global memenuhi standar kelestarian dan membantu Indonesia memulihkan ekspor.

Selain isu tersebut, poin utama saya yang lain adalah tentang penanganan pandemi Covid-19 sebagai pemenuhan tujuan ketiga dari Sustainable Development Goals, yaitu good health and well-being.

Karena kita tidak disiplin menjalankan tindakan kesehatan publik (TKP), penanganan pandemi Indonesia banyak dinilai tidak memadai. Soal ini, majalah Forbes (5/6/2020) menempatkan Indonesia pada peringkat ke-97 dari 100 negara, jauh di bawah Vietnam (20); bahkan di bawah Myanmar (83) dan Bangladesh (84).

Sejak Maret 2020 saya sering menyuarakan bahwa pemulihan ekonomi itu tergantung pada penanganan pandemi. Karena itu, penanganan pandemi harus diutamakan.

Ini berarti, berbagai TKP perlu dijalankan dengan ketat dan disiplin, salah satunya adalah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Saya sering katakan “tangani pandeminya, ekonomi akan ikut”.

Argumen tersebut sekarang terbukti dengan keberhasilan Vietnam dan Taiwan, dua negara yang sering saya jadikan contoh. Mari kita lihat tabel berikut.

Kita tidak disiplin menjalankan TKP karena takut perekonomian terpuruk. Sebaliknya, Vietnam dan Taiwan sangat disiplin menjalankan TKP.

Hasilnya? Per 6 Desember 2020, jika dihitung per 100.000 penduduk, jumlah kasus Covid-19 di Indonesia adalah 72-149 kali lipat dari Vietnam dan Taiwan. Jumlah meninggal bahkan hingga 161-214 kali lipat dari mereka.

Bagaimana dengan pertumbuhan ekonomi? Vietnam tetap tumbuh positif di triwulan 1 hingga triwulan 3 pada 2020. Taiwan hanya terkontraksi -0,56 persen pada triwulan 2/2020, tapi sudah positif di triwulan 3/2020. Indonesia justru terkena resesi.

Kesimpulannya, kedisiplinan Vietnam dan Taiwan membuat pandemi terkendali. Ekonominya cepat pulih, malah bisa positif selama pandemi.

Ketidakdisiplinan Indonesia membuat pandemi sulit dikendalikan, ekonominya pun malah resesi. Bahasa awamnya, pandemi enggak dapet, ekonomi enggak dapet juga.

Vaksinasi

Dengan kinerja di atas, harus diakui kita salah memilih jalan. Ini kesalahan kolektif karena masyarakat juga susah berdisiplin menjalankan TKP. Namun, tanggung jawab terbesar tetap pada pemerintah yang mengambil kebijakan.

Karena itu, saya berharap pemerintah, khususnya Presiden, legawa mendengarkan opini kedua (second opinion) yang berbasis ilmiah. Legawa mengkaji ulang jalan mana yang terbaik, karena pandemi ini masalah bersama.

Ke-legawa-an di atas menjadi sangat penting dalam soal vaksinasi. Kenapa? Karena vaksin adalah harapan terbaik dunia untuk mengalahkan pandemi.

Bagi perekonomian Indonesia, vaksin juga harapan terbaik untuk pemulihan konsumsi rumah tangga, investasi, dan pertumbuhan ekonomi.

Kita tahu, pertumbuhan ekonomi dan konsumsi itu sangat erat hubungannya. Selama pandemi, ekonomi terkontraksi karena konsumsi tumbuh negatif.

Konsumsi terkontraksi karena rumah tangga atas dan menengah belum percaya diri. Mereka menahan pergerakan fisik dan daya belinya.

Padahal, rumah tangga atas itu menyumbang 45,36 persen konsumsi pada 2019. Sumbangan kelas menengah 36,93 persen dan bawah 17,71 persen.

Di sisi lain, pembentukan modal tetap bruto (PMTB) banyak tergantung kelas atas dan menengah sebagai pebisnis atau investor. Namun, mereka menahan dananya karena investasi pada saat pandemi masih tinggi risikonya.

Vaksinasi bisa memulihkan kepercayaan diri mereka, sehingga konsumsi dan investasinya pulih kembali. Karena itu, sangat penting bagi Indonesia untuk memilih jalan vaksinasi yang terbaik. Kata kuncinya adalah standar ilmiah dunia.

Standar ilmiah dunia

Saat ini, dua vaksin yang sudah memenuhi standar ilmiah dunia adalah Pfizer/BioNTech dan Moderna. Negara yang membeli vaksin Pfizer/BioNTech juga sudah memulai vaksinasi.

Selain Inggris, AS, dan Uni Eropa, pada 24 Desember 2020 juga ada Mexico, Chile, dan Kosta Rika yang telah memulai vaksinasi. 

Menyusul, Singapura akan melakukan vaksinasi pada 30 Desember 2020. Beberapa pekan ke depan, beberapa negara juga akan melakukannya dengan vaksin Moderna.

Sejak 6 Desember 2020, Indonesia sudah mempunyai stok 1,2 juta dosis vaksin Sinovac, yang disebut CoronaVac. Indonesia memang mengandalkan CoronaVac.

Masalahnya, data tentang efikasi, keamanan, dan efek samping CoronaVac berdasarkan uji klinis fase 3 masih belum diumumkan oleh Sinovac. Berita yang muncul justru secara ilmiah membingungkan.

Sebagai contoh, efikasi CoronaVac dilaporkan 50-90 persen di Brasil dan 91,25 persen di Turki. Jadi selang 95 persen confidence interval (95% CI) dari efikasi CoronaVac terlihat sangat lebar.

Di sisi lain, data Turki diperoleh hanya dari 1.332 peserta uji klinis. Jumlah ini relatif sedikit. Adapun di São Paulo, Brazil, jumlah pesertanya disebut 9.000, terakhir 13.000. Di Indonesia, pesertanya hanya 1.620.

Hal ini berbeda dengan vaksin Pfizer/BioNTech. Laporan uji klinis fase ke-3 nya dipublikasikan di the New England Journal of Medicine (NJEM), jurnal kedokteran ternama, pada 10 Desember 2020.

Datanya pun disajikan secara transparan. Jumlah peserta uji klinis vaksin Pfizer/BioNTech tercatat 43.448 orang, dengan 21.720 orang divaksinasi dan 21.728 orang mendapat plasebo.

Dari 36.523 peserta yang tidak terinfeksi SARS-CoV-2, baik sebelum maupun pada saat vaksinasi, minimal tujuh hari setelah dosis kedua terdapat delapan orang penerima vaksin dan 162 orang yang mendapat plasebo diketahui positif Covid-19. Efikasinya 95 persen dengan 95% CI pada selang [90,3-97,6].

Untuk vaksin Moderna, terdapat 30.400 peserta uji klinis fase 3. Dalam analisis interimnya, mulai 14 hari setelah dosis kedua, dari 27.817 peserta terdapat lima kasus Covid-19 di kelompok penerima vaksin dan 90 di plasebo. Efikasinya 94,5 persen dengan 95% CI pada selang [86,5-97,8].

Masih banyak lagi prosedur, data, dan analisis yang dilaporkan oleh Pfizer/BioNTech dan Moderna, termasuk efikasi pada beberapa kondisi.

Poin saya adalah, CoronaVac perlu memenuhi standar ilmiah dan transparansi yang sama dengan kedua vaksin di atas. Bahkan, data mentah pun harus diserahkan karena otoritas seperti FDA akan mengeceknya.

Pertanyaannya, kapankah hal ini bisa dipenuhi? Jika tidak, laporan uji klinisnya akan rendah kredibilitasnya.

Jangan lupa, risiko penerima vaksin terkena Covid-19 itu tetap ada meskipun kecil. Namun, di era medsos, berita tentang hal ini akan meledak dan bisa merusak kepercayaan terhadap vaksinasi.

Di sisi lain, jika standar ilmiah dan transparansi belum dipenuhi maka atas dasar apakah BPOM mengeluarkan Emergency Use Authorization (EUA)?

Indonesia memang memesan vaksin lain seperti Novavax. Namun, Novavax baru mulai uji klinis fase 3 pada 28 Desember 2020, melibatkan sekitar 30.000 relawan di AS dan Meksiko. Masih perlu beberapa bulan lagi untuk mengetahui hasilnya.

Rencana cadangan

Saya tidak ingin membahas kenapa kita memilih CoronaVac sebagai vaksin utama. Namun, mau tidak mau, Indonesia perlu punya “Rencana Cadangan”. Ini sebagai jaga-jaga jika Sinovac terlambat memenuhi standar ilmiah dan transparansi.

Jika ini terjadi, BPOM jangan memaksakan diri menerbitkan EUA. Pemerintah juga jangan intervensi politis ke BPOM. Karena, kesehatan dan nyawa rakyat yang jadi taruhannya, selain perekonomian.

Apa rencana cadangan itu? Walaupun sangat terlambat, tidak ada salahnya jika pemerintah melobby Pfizer dan Moderna.

Tidak usah beli banyak, cukup satu juta sampai dua juta juta dosis saja dulu untuk pengiriman segera. Syukur jika bisa mendapatkan lebih. Jika perlu, kita bayar lebih mahal. Pfizer Indonesia yang sudah berbisnis di sini sejak 1969 bisa diminta kerja samanya.

Saya tidak yakin apakah kita bisa membeli dari tangan kedua, yaitu Singapura. Mungkin saja Pfizer dan Moderna tidak mengizinkan re-ekspor.

Selain itu, bagi Singapura akan lebih menguntungkan jika orang kaya Indonesia yang datang ke Singapura untuk vaksinasi daripada menjual vaksinnya ke Indonesia.

Jika lobi berhasil, tentu tenaga kesehatan harus divaksin lebih awal. Namun, sebagian vaksinnya bisa dijual dengan harga mahal kepada pebisnis dan investor.

Jika perlu, buat persyaratan bahwa mereka harus melakukan perjalanan bisnis dan wisata domestik senilai Rp X puluh juta.

Bea masuk impor yang mahal, misalnya Rp 1-2 juta, juga bisa diterapkan, sehingga ada tambahan penerimaan negara. Saya yakin kelompok atas dan menengah mau membayar mahal untuk vaksin tersebut.

Program “Vaksinasi Bisnis” ini diharapkan bisa memulihkan konsumsi dan investasi rumah tangga atas dan menengah. Dengan demikian, pemulihan ekonomi bisa dipercepat.

https://money.kompas.com/read/2020/12/29/164949626/pemulihan-ekonomi-dan-vaksinasi-indonesia-di-persimpangan-jalan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke