JAKARTA, KOMPAS.com - Kebijakan skema baru pemungutan pajak pulsa dan token listrik menuai polemik. Aturan baru ini diklaim menjadi kepastian hukum dan penyederhanaan atas pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh).
Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6/PMK.03/2021 tentang Penghitungan dan Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Serta Pajak Penghasilan (PPh) atas Penyerahan/Penghasilan Sehubungan Dengan Penjualan Pulsa, Kartu Perdana, Token, dan Voucer.
Staf Khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo menjelaskan, masyarakat seharusnya tak perlu kaget ataupun risau dengan pemberlakukan aturan baru pungutan PPN dan PPh.
Aturan pungutan pajak sudah keluar sejak era Presiden Soeharto. Artinya, tak ada pajak baru yang dipungut dari masyarakat.
“PPN atas jasa telekomunikasi yang kemudian sarana transmisinya berubah ke voucer pulsa dan pulsa elektrik, sudah terutang PPN sejak UU 8/1983, atau setidaknya dikenai pajak sejak PP 28/1988, yang mengatur secara spesifik tentang PPN Jasa Telekomunikasi,” ujar Yustinus seperti dikutip dari akun Twitternya @prastow, seperti dikutip pada Senin (1/2/2021).
“Jadi mestinya kebijakan ini disambut baik. PPN atas pulsa memang sudah lama terutang dan tak berubah, pedagang dipermudah, konsumen tidak dibebani pajak tambahan,” kata dia lagi.
Dirinya menegaskan, pengaturan pungutan pajak PPN dan PPh teranyar tersebut hanya berlaku bagi distributor besar. Bukan untuk menyasar pedagang pulsa atau token ritel dan konsumen.
“Pemungutan disederhanakan hanya sampai distributor besar, sehingga meringankan distributor biasa dan para pengecer pulsa. Enak kan?” ujar Yustinus.
Lanjut Yustinus, dengan skema pungutan baru, justru akan lebih disederhanakan dan memberi kepastian hukum yang lebih kuat. Ini karena pulsa atau token tak lagi hanya berbentuk fisik, namun saat ini juga berupa elektronik.
“PPh 0,5 persen ini ilustrasinya Rp 500 perak dari voucer pulsa Rp 100 ribu. Ini dipungut, tapi bisa dijadikan pengurang pajak di akhir tahun, ibarat cicilan pajak,” kata Yustinus.
“Bagi yang sudah WP (wajib pajak) UMKM dan punya Surat Keterangan, tinggal tunjukin dan tak perlu dipungut lagi. Adil dan setara bukan?,” tambah dia.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan tidak ada objek pajak baru, sehingga pengenaan PPN tersebut tidak akan mempengaruhi harga token listrik, voucer pulsa fisik, voucer pulsa elektronik, dan kartu perdana.
"Ketentuan tersebut tidak berpengaruh terhadap harga pulsa atau kartu perdana, token listrik, dan voucer (pajak pulsa)," tulis Sri Mulyani di akun Instagram miliknya.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu menegaskan, selama ini objek-objek pajak pulsa dan token sudah dikenakan PPN.
"Jadi tidak tidak ada pungutan pajak baru untuk pulsa token listrik dan voucer," terang Sri Mulyani.
Ia sekali lagi menegaskan, ketentuan itu bertujuan menyederhanakan pengenaan Pajak PPN dan PPh atas pulsa/kartu perdana, token listrik dan voucer serta untuk memberikan kepastian hukum.
Dengan penyederhanaan ini, pungutan PPN sebatas sampai pada distributor tingkat II (server). Untuk PPN token listrik, PPN tidak dikenakan atas nilai token, namun hanya dikenakan atas jasa penjualan/komisi yang diterima agen penjual.
Untuk voucher, PPN tidak dikenakan atas nilai voucer karena voucer adalah alat pembayaran setara dengan uang.
PPN lalu hanya dikenakan atas jasa penjualan/pemasaran berupa komisi atau selisih harga yang diperoleh agen penjual (pajak pulsa).
Sementara itu, untuk pemungutan PPh pasal 22 atas pembelian oleh distributor pulsa dan PPh pasal 23 atas jasa penjualan/pembayaran agen token listrik dan voucer merupakan pajak di muka bagi distributor/agen yang dapat dikreditkan atau dikurangkan dalam SPT tahunannya.
Sri Mulyani kembali menegaskan pajak yang masyarakat bayar juga kembali untuk rakyat dan pembangunan.
"Kalau jengkel sama korupsi, mari kita basmi bersama!,"seru Sri Mulyani dikutip dari Antara.
https://money.kompas.com/read/2021/02/01/093616326/berlaku-hari-ini-pajak-pulsa-untuk-distributor-besar-bukan-pengecer-dan