Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Ironi Subsidi Energi dan Candu Impor

Sebagai Ketua Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), ia meminta agar kebijakan energi harus berpihak kepada masyarakat miskin dan rentan. Keberpihakan tersebut dimaksudkan untuk mendorong keadilan terhadap akses energi dan pada akhirnya mendorong ketahanan energi nasional.

“Dalam konteks energi untuk memasak misalnya, meskipun pemerintah pada tahun 2021 mengalokasikan anggaran sekitar Rp 54 triliun untuk subsidi elpiji dan menyediakan elpiji sampai 7,5 juta metrik ton untuk masyarakat, masih terdapat lebih dari 12,51 juta rumah tangga miskin dan rentan di Indonesia yang memasak menggunakan kayu bakar,” ujarnya dalam orasi ilmiah Dies Natalies ke-5 Universitas Pertamina secara virtual dari Kediaman Resmi Wapres, Jalan Diponegoro No. 2, Jakarta, (01/02/2021).

Ia menilai kebijakan subsidi energi di Indonesia harus diperbaiki. Warpes mengatakan, subsidi elpiji hanya dinikmati oleh 35 persen kelompok masyarakat miskin dan rentan.

“Sisanya dinikmati kelompok masyarakat dengan tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi. Tentu ini ironis, karena alokasi subsidi elpiji jumlahnya sangat besar dan cenderung meningkat,” sesal mantan Ketua MUI tersebut.

Ia menyatakan, ketahanan energi merupakan salah satu fokus kerja Pemerintah dalam mewujudkan visi pembangunan Indonesia 2045. Ketahanan energi, lanjutnya, harus dijadikan sebagai prioritas pembangunan nasional untuk mewujudkan kemandirian pengelolaan energi, menjamin ketersediaan energi dan terpenuhinya kebutuhan sumber energi dalam negeri, serta mengoptimalkan pengelolaan sumber daya energi secara terpadu dan berkelanjutan.

Menurut Wapres, sebagai negara berkembang, Indonesia memiliki kebutuhan energi yang terus meningkat dari tahun ke tahun, seiring dengan pertumbuhan penduduk, kebutuhan industri, dan kemajuan pembanguan nasional.

“Dalam mendorong perbaikan kebijakan subsidi energi saya telah menugaskan Kementerian/Lembaga terkait untuk terus mengkaji kebijakan subsidi energi yang lebih berpihak pada kelompok masyarkat miskin tetapi pada saat yang sama juga mampu mendorong penghematan anggaran pemerintah serta memperkuat ketahanan energi nasional,” kata dia.


Sebaran Listrik Belum Merata

Ia kembali menggarisbawahi, faktor penting dalam ketahanan energi adalah keadilan terhadap akses energi. Karena itu, menurutnya persoalan energi sesungguhnya juga sangat terkait dengan persoalan kemiskinan.

“Sebagai contoh, sekalipun tingkat elektrifikasi sudah mencapai 99 persen, tetap saja masih banyak wilayah yang belum mendapatkan akses listrik. Sementara banyak rumah tangga miskin yang meskipun tersedia infrastruktur listrik di wilayahnya tetap tidak mendapatkan akses karena terdapat entry barrier untuk membayar biaya pemasangan listrik dan membeli perlengkapan terkait,” ucapnya.

Khusus untuk subsidi listrik, ia melanjutkan, upaya untuk mendorong keadilan memang telah dimulai sejak tahun 2017 sejak pemerintah memberlakukan kebijakan subsidi listrik tepat sasaran untuk kelompok daya 900 VA.

“Jumlah masyarakat miskin yang menikmati subsidi listrik meningkat dari hanya 26 persen sebelum 2017 menjadi 44 persen pada tahun 2018. Akan tetapi penerima subsidi listrik saat ini masih didominasi oleh kelompok dengan tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi,” kata dia.

Kecanduan Impor 

Ma’ruf Amin mengakui, Indonesia masih sangat tergantung pada energi fosil yang sebagian besar justru diimpor.

“Ketergantungan kita terhadap energi fosil yang diimpor harus secara bertahap diganti dengan energi yang bersumber dari energi terbarukan yang tersedia secara lokal,” ucapnya.

Menurut data Dewan Energi Nasional (DEN), bauran energi primer nasional tahun 2019 sebesar 37,15 persen dari batubara; 33,58 persen dari minyak bumi; 20,13 persen dari gas bumi dan 9,15 persen dari Energi Baru Terbarukan (EBT).

Ia menegaskan, pemanfaatan EBT menjadi salah satu program prioritas untuk mengurangi ketergantungan negara terhadap energi fosil. Pemerintah menargetkan bauran energi terbarukan pada tahun 2025 sebesar 23 persen dan terus ditingkatkan sampai 31 persen tahun 2050.

Namun saat ini Indonesia masih jauh dari target tersebut, karena pemanfaatan energi baru terbarukan saat ini masih berada di kisaran 9,15 persen.

“Kita perlu belajar dari beberapa negara yang telah sukses dalam pemanfaatan energi baru terbarukan seperti Jerman, di mana bauran energi primer dari Energi Baru Terbarukan telah mencapai 85 persen dari energi nasionalnya,” paparnya.

“Sebagian besar Energi Baru Terbarukan di Jerman merupakan energi dari Tenaga Surya, angin, sampah biomassa, dan hidro-elektrik. Hal ini tentunya tidak lepas dari riset, inovasi dan investasi dari Pemerintah Jerman yang menyatakan bahwa tahun 2050 semua energi berasal dari energi hijau dan bersih,” lanjutnya.

https://money.kompas.com/read/2021/02/01/125922126/ironi-subsidi-energi-dan-candu-impor

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke