Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Investor Receh, Bandar Besar, dan "Connected Society"

Para hedge fund yang bertaruh lewat short selling pada saham Gamestop dibuat misuh-misuh karena mereka menelan kerugian yang tak kecil saat saham dari perusahaan game yang sebenarnya tak menghasilkan keuntungan itu, justru melonjak cukup tinggi.

Short selling sendiri merupakan transaksi yang sebenarnya banyak dilakukan dalam perdagangan saham.

Dalam hal ini, investor tersebut meminjam saham ke pihak lain untuk kemudian dijual di pasar. Berbarengan dengan itu, trader berharap saham yang dijual harganya turun, sehingga bisa menebus saham yang dipinjam itu dengan harga murah untuk selanjutnya dikembalikan ke pemilik awal.

Namun jika harganya justru melambung tinggi, investor harus menebus dengan harga yang lebih mahal. Yang berarti si investor akan mengalami kerugian.

Kurang lebih seperti itulah short selling bekerja. Dibutuhkan keberanian dan perhitungan yang matang untuk melakukannya. Karena itu, hanya pemain besar dan berpengalaman yang selama ini banyak melakukannya.

Namun, dominasi pemain besar itu belakangan mulai terganggu oleh pemain-pemain kecil. Seperti di Wall Street, investor receh berhasil membalikkan permainan yang mengakibatkan bandar-bandar besar kalah taruhan.

Dalam kasus Gamestop. Di awal permainan, bandar besar memasang harga Gamestop di kisaran 17 dollar AS per saham. Para bandar berpikir, aksi short selling akan menguntungkan mereka karena saham Gamestop kecil kemungkinannya naik.

Sementara di forum Reddit, netizen menghimpun kekuatan untuk melawan aksi bandar-bandar besar tersebut. Ini karena para bandar dinilai akan mengacaukan rencana bisnis yang akan dijalankan untuk memperbaiki performa perusahaan yang terseok-seok.

Dalam sebuah gerakan yang bernama “short squeeze”, anggota forum yang notabene berisi investor ritel sepakat memborong saham perusahaan game itu.

Atas aksi beli investor ritel itu, dalam sehari harga saham Gamestop naik hingga tembus 150 dollar AS per saham. Tak berhenti sampai di situ, saham tersebut terus melaju hingga melampaui 400 dollar AS per sahamnya.

Bisa ditebak, banyak hedge fund yang menderita kerugian karena harus menebus saham pinjaman tersebut menjadi jauh lebih mahal.

Dari berbagai laporan yang ada, total kerugian hedge fund dan pemain besar di Wall Street mencapai 5 miliar dollar AS atau sekitar Rp 70 triliun.

Masyarakat yang saling terhubung

Medsos awalnya hadir sebagai sarana untuk berbagi kabar dan hiburan. Saling menyapa dan menanyakan kabar.

Semakin ke sini, peran yang dibawa medsos semakin signifikan. Tak cuma sebatas untuk hiburan dan lucu-lucuan. Lebih dari itu, platform ini perlahan dituding ikut bertanggung jawab terhadap berbagai aksi. Baik yang berorientasi sosial, maupun yang bertendensi politik.

Melalui medsos, berbagai kalangan yang masing-masing terpisah berkilo-kilometer bisa disatukan ketika ada satu isu bersama yang menjadi perhatian di setiap kepala orang-orang tersebut.

Isu hewan telantar misalnya. Kita bisa melihat bagaimana kelompok penyayang binatang melakukan campaign untuk mengajak khalayak memberikan perhatian dan mau mengadopsi hewan-hewan yang tak punya majikan tersebut.

Pun dengan kelompok sedekah untuk kucing yang getol melakukan kampanye agar publik mau memberi perhatian kepada kucing-kucing liar yang ada di jalanan Jakarta. Caranya, dengan memberinya makanan yang layak.

Karena kampanye itulah, kucing-kucing yang hidup di jalanan Jakarta belakangan ini terlihat lebih sejahtera. Coba lihat di sekitaran Stasiun Sudirman, puluhan ekor kucing yang ada di tempat tersebut terlihat gendut-gendut karena makanan tersedia di banyak sudut.

Masuk ke ruang-ruang baru

Dalam era connected society seperti sekarang, medsos memegang peran yang tak lagi bisa diremehkan. Dan peran itu mulai masuk ke ruang-ruang yang tak pernah diperkirakan sebelumnya.

Mobilisasi yang dilakukan di medsos tak lagi sekedar membentuk opini dan ajakan untuk melakukan aksi sosial. Lebih dari itu, mobilisasi tersebut belakangan juga mulai mengarah ke ajakan untuk ambil bagian pada aksi-aksi yang berisiko secara finansial, namun bukan dalam rangka penipuan.

Kejadian di Wall Street menunjukkan bagaimana investor ritel berhasil dimobilisasi untuk membeli saham yang sebenarnya tidak punya fundamental bagus, hanya untuk melawan aksi para hedge fund yang ingin bermain short selling saham Gamestop.

Apa yang dilakukan oleh investor ritel tersebut mungkin belum pernah terjadi sebelumnya ketika pengaruh medsos dan forum diskusi seperti Reddit belum masif seperti saat ini.

Sebelumnya, aksi-aksi tersebut hanya bisa dilakukan oleh para pemain besar yang sebagian dari mereka kerap mendapat julukan activist investor.

Sedikit menyinggung mengenai activist investor, mereka adalah orang-orang yang bermodal besar dan melakukan transaksi saham untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

Aktivisme tak jarang dilakukan dengan melaui hostile takeover agar investor itu bisa memasukkan perwakilannya ke jajaran direksi agar bisa menyetir bisnis yang dijalankan.

Beberapa orang yang terkenal sebagai investor aktivis ini adalah Carl Icahn dan Nelson Peltz. Mereka menggunakan perusahaan investasi sebagai sarana untuk melakukan aksi tersebut.

Carl Icahn misalnya. Pada 22 Agustus 2015, Icahn melalui Icahn Enterprises LP telah mengakuisisi 8,8 persen saham Freeport McMoRan yang terdaftar di bursa efek New York.

Ketika berhasil masuk Freeport, Icahn mempermasalahkan besarnya belanja modal yang dialokasikan, struktur keuangan perusahaan yang jelek, serta tingginya bayaran direksi perusahaan di tengah harga komoditas yang rendah. Akibatnya, James R. Moffett yang saat itu menjabat sebagai Chairman of the Board Freeport McMoRan Inc terpental dari posisinya.

Begitulah investor aktivis bekerja. Namun seiring dengan besarnya peran medsos, aktivisme di bursa saham mungkin tak lagi hanya menjadi monopoli mereka yang bermodal besar.

Investor ritel akan sangat mungkin melakukan aksi-aksi “penyelamatan” saham atau perusahaan, sepanjang ada isu yang bisa menggerakkan mereka. Dan itu seperti yang terlihat di Wall Street pekan lalu.

Investor ritel di antara influencer dan bandar besar

Menarik sebenarnya mencermati perkembangan di Indonesia. Mengutip laporan BEI dan OJK, belakangan ini pertumbuhan investor ritel di bursa naik signifikan. Mereka adalah kelas menengah yang sangat akrab dengan medsos.

Saat pandemi ini, uang mereka idle karena tak bisa travelling. Sehingga, tidak sedikit dari mereka yang memilih menginvestasikan dananya ke saham.

Pada saat yang sama, muncul pula influencer dan public figure yang belakangan ini ikut nimbrung soal saham. Apa yang diomongkan, sedikit banyak berpengaruh ke pergerakan saham tertentu dan tak sedikit investor ritel yang ikut-ikutan melakukan aksi beli.

Para trader senior yang sudah lama berkecimpung di bursa, kerap dibuat pusing oleh para influencer dan public figure tersebut. Ini karena rekomendasi dari influencer itu dianggap sering mengacaukan perhitungan pergerakan saham, baik secara fundamental maupun teknikal.

Selain itu, apa yang dilakukan para influencer itu dikhawatirkan bisa menjerumuskan investor-investor pemula yang tak paham cara bermain saham.

Hingga akhirnya, influencer dan public figure tersebut mendapat julukan baru: juru pom pom saham. Bahkan ada pula yang berinisiatif membuat petisi agar aksi-aksi public figure itu distop oleh otoritas terkait.

Ya, apapun julukan dan upaya yang dilakukan untuk menghentikan mereka, tren seperti itu menjadi sesuatu yang tak terelakkan ketika media sosial hadir begitu masifnya dan influencer menjadi panutannya.

Sekaligus, banyaknya kelas menengah yang menjadi investor saham bisa saja mengubah lanskap permainan di pasar modal dengan melakukan “aksi-aksi heroik” saat ada isu bersama yang menggerakkan.

Ini sekaligus bisa menjadi warning bagi para bandar besar, bahwa sewaktu-waktu permainan mereka bisa saja dibalikkan sebagaimana yang terjadi di bursa AS.

Namun demikian, investor ritel tetaplah mereka yang mencoba mengais-ngais peruntungan dengan modal terbatas. Tak sedikit pula dari mereka yang kurang memiliki pemahaman mengenai portofolio investasi yang dibelinya.

Terlepas dari motif yang melatari investor ritel melakukan trading saham, edukasi tentang risiko investasi oleh pihak terkait sangat diperlukan. Ini agar investor kelas menengah tersebut tetap paham dengan keputusan yang diambil, di tengah semakin kuatnya influencer berebut pengaruh dengan bandar-bandar besar di lantai bursa.

https://money.kompas.com/read/2021/02/04/070700926/investor-receh-bandar-besar-dan-connected-society-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke