Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Sebuah Rekam Jejak Vaksinasi Covid-19: Tulisan Kedua dari Seri Pemulihan Ekonomi dan Vaksinasi

SAYA mengetahui betul seseorang yang sudah dua kali disuntik vaksin CoronaVac dari Sinovac. Atas ijin yang bersangkutan, dengan tetap menjaga privasi, rekam jejak vaksinasinya saya tulis untuk edukasi publik.

Saya memang meneliti Covid-19 dari sisi ekonomi dan model matematikanya. Salah satu pracetak tulisan saya dimasukkan EuropePMC dan The World Pandemic Research Network. Karena itu, saya harus banyak membaca dan menulis riset tentang Covid-19.

Baca: Pemulihan Ekonomi dan Vaksinasi: Indonesia di Persimpangan Jalan

Awalnya orang tersebut ragu mengikuti program vaksinasi. Penyebabnya, Sinovac tidak transparan mengenai hasil uji klinis fase 3-nya. Saya kemudian merujuknya ke tulisan Prof Yanjun Zhang et al.

Judul tulisan itu, Safety, tolerability, and immunogenicity of an inactivated SARS-CoV-2 vaccine in healthy adults aged 18-59 years: a randomized, double-blind, placebo-controlled, phase 1/2 clinical trial. Artikel ini diterbitkan online oleh The Lancet Infectious Diseases pada 17 November 2020.

Ada sejumlah temuan penting artikel tersebut. Pertama, efek samping dari CoronaVac tergolong ringan dan hanya dialami oleh 13-35 persen penerima vaksin. Efek samping terbanyak adalah nyeri di sekitar titik penyuntikan.

Ada satu kasus urtikaria yang cukup berat, tapi sembuh setelah tiga hari diobati. Urtikaria itu ruam merah, gatal, disertai peninggian permukaan kulit.

Kedua, dalam uji klinis fase 2, laju serokonversi untuk neutralising antibodies (NAbs) bervariasi antara 92,4-100 persen. Adapun untuk immunoglobulin G (IgG) spesifik terhadap receptor binding domain (RBD), angkanya 96,5-100 persen.

Serokonversi adalah pengembangan antibodi dalam tubuh hingga mencapai jumlah yang terdeteksi. Antibodi jenis IgG mengikat virus pada RBD-nya.

NAbs adalah antibodi yang mengikat dan menetralisir virus sehingga tidak mampu menginfeksi sel tubuh. Dalam vaksinasi berinterval 14 hari, antibodi diukur 14 dan 28 hari pascasuntikan kedua (PSD). Dalam vaksinasi berinterval 28 hari, pengukurannya 28 hari PSD.

Jadi, menurut artikel tersebut, CoronaVac aman dan efektif. Orang tersebut akhirnya ikut vaksinasi dan melakukan sendiri beberapa prosedur.

Pertama, dia memonitor efek samping selama tujuh hari setelah disuntik. Kedua, dia jalankan prosedur kesehatan ekstra ketat untuk menjamin hanya vaksin, dan bukan infeksi, yang memicu antibodinya. Ketiga, dia lakukan uji serologi kualitatif (USK) 7-14 hari PSD, dan uji serologi kuantitatif (USKn) setelah 14 hari PSD.

Orang tersebut tidak mengalami efek samping yang serius. Hanya sedikit pegal di area penyuntikan selama 2-3 jam. Hasil USK-nya non-reaktif. Artinya, dia belum punya antibodi pada 7-14 hari PSD.

USKn dilakukan dengan metode electro chemiluminescence immunoassay (ECLIA), dengan target antigen S-RBD. Huruf S ini merujuk spike protein. Yang diukur adalah jumlah total antibodi. Hasilnya, antibodi dia di atas lima kali lipat ambang batas.

Singkat kata, vaksinasi dia berhasil.

Politik strategis

Saya tidak tahu berapa banyak penerima vaksin yang berhasil seperti orang tersebut. Seharusnya, pemerintah mendata semuanya, atau minimal meriset sampelnya.

Ini agar kita mempunyai data valid tentang perkembangan imunitas kawanan (herd immunity) dari vaksinasi. Data tersebut sangat berguna bagi penanganan pandemi dan pemulihan kepercayaan konsumen, bisnis, dan investor.

Vaksin memang menjadi harapan utama bagi pengendalian pandemi, selain obat dan tindakan medis. Vaksinasi semakin penting karena Indonesia tidak disiplin dengan tindakan kesehatan publik (TKP) seperti pembatasan sosial berskala besar (PSBB).

Sejak Maret 2020 saya sering sampaikan, pemulihan ekonomi itu tergantung pandemi. Karena itu, TKP harus dijalankan dengan disiplin. Tapi karena takut ekonomi merosot, kita tidak disiplin.

Dalam tulisan pertama saya tentang “Pemulihan ekonomi dan vaksinasi”, saya tunjukkan bagaimana kedisiplinan Vietnam dan Taiwan membuat pandemi terkendali dan ekonomi pulih. Sementara Indonesia, pandemi memburuk, ekonominya resesi.

Karena saya tidak yakin pemerintah dan rakyat bakal disiplin, mau tidak mau vaksin menjadi andalan. Soal vaksin, upaya pemerintah menjamin ketersediaannya patut diapresiasi.

Upaya ini tidak mudah karena vaksin dan obat Covid-19 sudah menjadi komoditas strategis seperti minyak. Negara-negara maju memborong vaksin untuk rakyatnya agar kehidupan ekonomi dan sehari-hari segera pulih. Akibatnya, nasionalisme vaksin pun bermunculan.

Karena itu, kerja sama pemerintah dengan Sinovac, Novavax, AstraZeneca/Oxford, dan Pfizer/BioNTech, serta COVAC yang difasilitasi WHO, GAVI dan CEPI adalah langkah yang tepat.

Kontrak dini dengan Sinovac dan peran Bio Farma sebagai pabrik fill finish membuat Indonesia mampu menghadapi nasionalisme vaksin.

Namun, kita tidak boleh hanya tergantung pada Sinovac. Vaksin Covid-19 ini diduga mirip dengan vaksin flu, imunitasnya tidak bertahan multi-tahun. Jadi, setiap tahun Indonesia bakal butuh ratusan juta vaksin.

Karena itu, pengembangan vaksin Merah Putih bukan lagi hanya prioritas kesehatan. Dia sudah menjadi prioritas politik, pertahanan, keamanan, dan ekonomi nasional.

Kebijakan ekonomi

Terus terang saya sulit memahami kebijakan ekonomi pemerintah. Yang sering saya kritik adalah lemahnya pengendalian pandemi sebagai kunci utama pemulihan ekonomi. Tapi ada juga beberapa hal lain.

Contohnya, harapan yang tidak realistis terhadap serapan anggaran. Presiden Jokowi beberapa kali marah tentang ini.

Di Bandung, Jawa Barat, pada Selasa (11/8/2020), misalnya, Presiden menyebutkan bahwa kecepatan penyerapan anggaran Juli-September 2020 menjadi kunci agar kita tidak masuk resesi.

 Kontribusi pengeluaran pemerintah terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto itu hanya sekitar 9 persen secara tahunan. Rinciannya 9,53 persen (2016), 9,12 persen (2017), 9,02 persen (2018), 8,81 persen (2019), dan 9,29 persen (2020).

Angka ini naik ke sekitar 12 persen pada setiap kuartal ke-4 karena biasanya serapan melonjak di akhir tahun. Untuk Q4/2020, kontribusinya 12,26 persen.

Karena itu, mau digenjot berapa pun serapan anggaran sulit menjadi andalan mencegah resesi. Kecuali, jika dia mampu memicu konsumsi rumah tangga dan pembentukan modal tetap bruto (investasi).

Sayangnya, saya melihat pengeluaran pemerintah 2020 tidak mampu. Buktinya, saat pengeluaran pemerintah tumbuh 9,76 persen pada Q3/2020, konsumsi tetap terkontraksi -4,05 persen (Q3) dan -3,61 persen (Q4).

Dua pos konsumsi terbesar, yaitu makanan/minuman dan transportasi/komunikasi, terus terkontraksi. Konsumsi makanan/minuman bahkan makin besar anjloknya, dari -0,69 persen (Q3) menjadi -1,39 persen (Q4).

Konsumsi perumahan dan perlengkapan rumah tangga justru turun pertumbuhannya dari 2,36 persen (Q2) menjadi 1,82 persen (Q3) dan 0,71 persen (Q4).

Pengaruh belanja pemerintah terhadap investasi juga sama. Investasi tetap terkontraksi lebih dari -6 persen pada Q3-Q4/2020.

Bangunan justru membesar anjloknya, dari -5,26 persen (Q2) menjadi -5,60 persen (Q3) dan -6,63 persen (Q4). Padahal, bangunan adalah pos terbesar dari investasi (76 persen).

Pos kedua terbesar investasi, yaitu mesin dan perlengkapan (9,74 persen), lebih drastis anjloknya, dari -12,86 persen (Q2) menjadi -21,01 persen (Q3), meski lalu membaik ke -7,57 persen (Q4).

Saya juga tidak habis pikir melihat sisa lebih pembiayaan anggaran (Silpa) 2020 sampai Rp 234,7 triliun, sementara utang pemerintah bertambah Rp 1.257 triliun pada 2020.

Penghentian Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik juga aneh, mengingat pada awal tahun konstruksi sudah terlihat melemah. Sinyal ini terkonfirmasi oleh data pertumbuhan 2,90 persen (Q1), atau setengah dari tahun 2019.

Selama Q2-Q4/2020 sektor konstruksi anjlok -4,5 persen sampai -5,7 persen. Saya tidak tahu berapa kontribusi dari penghentian DAK Fisik. Yang jelas, DAK Fisik sangat membantu konstruksi di daerah. Banyak rakyat yang bisa makan darinya.

Wacana pengendalian BI dan OJK oleh Kementerian Keuangan lebih aneh lagi. Memangnya wacana ini bisa mengatasi pandemi dan mencegah resesi?

Saran

Ada beberapa hal lain lagi sebenarnya. Namun, mari bicara perbaikan ke depan. Saran saya, pertama, jadikan vaksinasi dan pengendalian pandemi sebagai motor pemulihan ekonomi.

Untuk itu kita perlu riset dan edukasi publik besar-besaran. Riset tentang imunitas kawanan hasil vaksinasi, efektifitas vaksin terhadap berbagai varian, serta pengembangan vaksin dan obat, mutlak kita butuhkan.

Rakyat juga perlu dididik bahwa setelah divaksin, mereka masih mungkin sakit selama antibodi belum muncul dan atau ada varian yang baru. Selain itu, perlu edukasi melawan bualan anti-vaksinasi.

Rakyat perlu diberi tahu, sekitar 136 tahun yang lalu di tengah epidemi cacar, dokter Alexander M Ross dari Montreal menyebar pamflet anti-vaksinasi.

Argumennya mirip dengan sekarang. Itu mulai dari konspirasi Rusia hingga menganggap remeh cacar meski mortalitasnya 30-40 persen, jauh di atas Covid-19.

Faktanya, dengan vaksinasi umat manusia akhirnya berhasil membasmi epidemi cacar. Satu lagi, Ross ternyata ikut divaksin.

Kedua, pulihkan kepercayaan konsumen, bisnis, dan investasi. Salah satunya adalah melalui program vaksinasi bisnis berbayar mahal. Targetnya kelas menengah atas, karena mereka menyumbang 82 persen lebih dari konsumsi.

Sepintas ini seperti tidak adil. Tapi jika mereka sudah imun dan pede, konsumsi dan investasi bisa lebih cepat pulih. Bio Farma juga untung karena ada pemasukan triliunan rupiah.

Ketiga, ubah bauran anggaran dalam APBN 2021 dengan mengutamakan program dan proyek yang memicu konsumsi dan investasi. Banyak rinciannya, yang tidak mungkin ditulis di sini.

Sebagai penutup, ada catatan kecil. Meski saya unsur pimpinan parpol, sejak muda saya adalah peneliti. Karena itu, sains, riset, data dan dokumen—bukan politik—yang menjadi basis saya dalam mengritik atau mendukung sebuah kebijakan.

https://money.kompas.com/read/2021/02/18/132824426/sebuah-rekam-jejak-vaksinasi-covid-19-tulisan-kedua-dari-seri-pemulihan

Terkini Lainnya

Survei Prudential: 68 Persen Warga RI Pertimbangkan Proteksi dari Risiko Kesehatan

Survei Prudential: 68 Persen Warga RI Pertimbangkan Proteksi dari Risiko Kesehatan

Earn Smart
7 Contoh Kebijakan Fiskal di Indonesia, dari Subsidi hingga Pajak

7 Contoh Kebijakan Fiskal di Indonesia, dari Subsidi hingga Pajak

Whats New
'Regulatory Sandbox' Jadi Ruang untuk Perkembangan Industri Kripto

"Regulatory Sandbox" Jadi Ruang untuk Perkembangan Industri Kripto

Whats New
IHSG Melemah 0,83 Persen dalam Sepekan, Kapitalisasi Pasar Susut

IHSG Melemah 0,83 Persen dalam Sepekan, Kapitalisasi Pasar Susut

Whats New
Nasabah Bank DKI Bisa Tarik Tunai Tanpa Kartu di Seluruh ATM BRI

Nasabah Bank DKI Bisa Tarik Tunai Tanpa Kartu di Seluruh ATM BRI

Whats New
Genjot Layanan Kesehatan, Grup Siloam Tingkatkan Digitalisasi

Genjot Layanan Kesehatan, Grup Siloam Tingkatkan Digitalisasi

Whats New
Pelita Air Siapkan 273.000 Kursi Selama Periode Angkutan Lebaran 2024

Pelita Air Siapkan 273.000 Kursi Selama Periode Angkutan Lebaran 2024

Whats New
Puji Gebrakan Mentan Amran, Perpadi: Penambahan Alokasi Pupuk Prestasi Luar Biasa

Puji Gebrakan Mentan Amran, Perpadi: Penambahan Alokasi Pupuk Prestasi Luar Biasa

Whats New
Pengertian Kebijakan Fiskal, Instrumen, Fungsi, Tujuan, dan Contohnya

Pengertian Kebijakan Fiskal, Instrumen, Fungsi, Tujuan, dan Contohnya

Whats New
Ekspor CPO Naik 14,63 Persen pada Januari 2024, Tertinggi ke Uni Eropa

Ekspor CPO Naik 14,63 Persen pada Januari 2024, Tertinggi ke Uni Eropa

Whats New
Tebar Sukacita di Bulan Ramadhan, Sido Muncul Beri Santunan untuk 1.000 Anak Yatim di Jakarta

Tebar Sukacita di Bulan Ramadhan, Sido Muncul Beri Santunan untuk 1.000 Anak Yatim di Jakarta

BrandzView
Chandra Asri Bukukan Pendapatan Bersih 2,15 Miliar Dollar AS pada 2023

Chandra Asri Bukukan Pendapatan Bersih 2,15 Miliar Dollar AS pada 2023

Whats New
Tinjau Panen Raya, Mentan Pastikan Pemerintah Kawal Stok Pangan Nasional

Tinjau Panen Raya, Mentan Pastikan Pemerintah Kawal Stok Pangan Nasional

Whats New
Kenaikan Tarif Dinilai Jadi Pemicu Setoran Cukai Rokok Lesu

Kenaikan Tarif Dinilai Jadi Pemicu Setoran Cukai Rokok Lesu

Whats New
Puasa Itu Berhemat atau Boros?

Puasa Itu Berhemat atau Boros?

Spend Smart
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke