Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mau Kredit Mobil atau Rumah Tanpa DP? Cek Dulu Angsuran Bulanannya

Kebijakan ini diterapkan untuk menggenjot pertumbuhan kredit perbankan dan kembali menggeliatkan perekonomian Indonesia. Namun sebelum memproses pengajuan kredit, ada sejumlah hal yang perlu dipikirkan.

Jika pengajuan kredit kamu disetujui, memang benar kamu langsung punya motor, mobil, atau rumah. Tapi jangan lupa ada angsuran yang tetap harus dibayar tiap bulannya.

Umumnya, besaran angsuran per bulan dipengaruhi oleh besarnya DP, nilai pokok pinjaman, suku bunga kredit, dan lamanya tenor pinjaman. Dengan mengajukan kredit tanpa DP, praktis besaran angsuran per bulan akan semakin mahal.

Hal tersebut juga akan berdampak pada melambungnya total bunga yang harus dibayarkan per bulannya bersamaan dengan nilai pokok pinjaman.

Tingginya suku bunga kredit inilah yang diketahui banyak membuat orang masih terkesan malas mengajukan pembiayaan atau kredit. Hal ini tercermin dari Survei Permintaan dan Penawaran Pembiayaan Perbankan Januari 2021 yang baru saja dirilis Bank Indonesia.

Dari survei itu terungkap bahwa penambahan pembiayaan rumah tangga pada 3 dan 6 bulan ke depan diproyeksi masih terbatas. Persentase responden rumah tangga yang menyatakan melakukan penambahan utang pada Januari 2021 tercatat sebanyak 13,4 persen dari total responden, naik sedikit dari 10,3 persen pada bulan sebelumnya.

“Sementara itu, responden rumah tangga yang menyatakan tidak melakukan penambahan pembiayaan tercatat sebesar 86,6 persen dari total responden,” bunyi hasil survei itu, dikutip ulang pada Minggu (21/2/2021).

Dari terbatasnya porsi permintaan pembiayaan itu, jenis Kredit Multi Guna (KMG) paling banyak diajukan, dengan pangsa sebesar 35,8 persen dari total pengajuan pembiayaan. Selanjutnya pengajuan Kredit Kendaraan Bermotor (KKB) dan Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) masing-masing sebesar 23,8 persen dan 11,5 persen dari total pengajuan kredit pada Januari 2021.

Ditinjau menurut tingkat pengeluaran responden, pengajuan pembiayaan pada Januari 2021 paling banyak diajukan oleh rumah tangga dengan tingkat pengeluaran Rp 1-3 juta per bulan (49,9 persen), diikuti oleh rumah tangga dengan pengeluaran di atas Rp 5 juta per bulan.

Pengajuan dari kedua kelompok tingkat pengeluaran tersebut meningkat dibandingkan pengajuan pada Desember. Di sisi lain, pangsa pengajuan pembiayaan pada rumah tangga dengan pengeluaran Rp 3-5 juta per bulan menurun dari 41,1 persen menjadi 35,5 persen.

“Menurut responden rumah tangga, tingkat suku bunga masih menjadi aspek pertimbangan utama dalam pengajuan pembiayaan pada Januari 2021 (pangsa 48 persen). Faktor lainnya yang berpengaruh antara lain faktor persetujuan dari lembaga peminjam (pangsa 13,8 persen) serta administrasi (pangsa 13,0 persen),” tulis hasil survei itu.


Berapa besaran bunga kredit bank?

Belum lama ini, BI merilis publikasi bertajuk “Asesmen Transmisi Suku Bunga Acuan kepada Suku Bunga Kredit Perbankan”, yang bertujuan untuk memperkuat dan mempercepat transmisi kebijakan moneter dan makroprudensial BI.

Dari publikasi itu terungkap Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) masih cenderung lambat turun mendekati suku bunga acuan bank sentral. SBDK ini digunakan sebagai dasar penetapan suku bunga kredit yang akan dikenakan pada nasabah.

Hanya saja, penetapan suku bunga kredit juga memperhitungkan estimasi premi risiko. Dengan demikian, besarnya suku bunga kredit yang dikenakan kepada debitur belum tentu sama dengan SBDK.

BI mengungkapkan, respons suku bunga kredit terhadap penurunan suku bunga kebijakan dan tingginya likuiditas perbankan masih terbatas. Hal ini tecermin dari pergerakan SBDK yang masih sangat rigid dalam merespons penurunan suku bunga kebijakan.

“Penurunan suku bunga BI7DRR sebesar 225 bps sejak bulan Juni 2019 baru direspons dengan penurunan SBDK yang hanya sebesar 116 bps. Hal ini menyebabkan spread SBDK terhadap BI7DRR cenderung melebar dari sebesar 5,27 persen pada Juni 2019 menjadi sebesar 6,36 persen pada Desember 2020,” tulis BI, dikutip ulang pada Minggu (21/2/2021).

Dilihat dari kelompok bank, bank BUMN terpantau paling lelet menurunkan SBDK dibandingkan kelompok bank lainnya. Berdasarkan kelompok bank, respons SBDK dari bank BUMN terhadap BI7DRR tercatat lebih rigid dibandingkan dengan kelompok bank BUSN, BPD dan KCBA.

“Sementara SBDK KCBA paling responsif terhadap penurunan suku bunga kebijakan. Dengan perkembangan tersebut, SBDK bank BUMN relatif tinggi (10,79 persen) dibandingkan dengan kelompok bank lainnya,” bunyi publikasi BI.

Kurangnya respons bank untuk menurunkan SBDK ini terjadi di hampir semua segmen kredit. Rigiditas SBDK terjadi terutama pada segmen kredit konsumsi, korporasi, dan ritel. Respons terbatas oleh perbankan, yang tercermin pada penurunan SBDK yang rendah, terjadi pada segmen kredit Konsumsi Non KPR sebesar 67 bps maupun kredit konsumsi KPR sebesar 57 bps sejak Juni 2019.

“Untuk KPR, hal tersebut antara lain disebabkan faktor tenor pinjaman KPR yang bersifat menengah-panjang,” bebernya.

Faktor penyebab tingginya SBDK BI menjelaskan, terdapat berbagai faktor yang memengaruhi pembentukan SBDK masing-masing bank. Komponen ini bersifat spesifik untuk tiap bank, antara lain harga pokok dana untuk kredit, biaya overhead, dan marjin keuntungan.

“Meskipun faktor-faktor tersebut cukup beragam, publikasi ini diharapkan dapat memberikan pemahaman kepada publik mengenai gambaran atas suku bunga dasar kredit perbankan Indonesia, termasuk informasi statistik distribusi suku bunga dasar kredit,” tandasnya.


Daftar SBDK Bank BUMN

Dikutip dari laman resmi OJK berdasarkan data posisi akhir Desember 2020, SBDK bank-bank pelat merah memang tergolong masih tinggi.

PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau Bank BRI mematok SBDK korporasi sebesar 9,95 persen, ritel 9,75 persen, mikro 16,50 persen, KPR 9,90 persen, dan non KPR 12,00 persen.

Selanjutnya PT Bank Mandiri (Persero) Tbk menetapkan SBDK korporasi sebesar 9,85 persen, ritel 9,80 persen, mikro 11,50 persen, KPR 9,75, dan non KPR 10,95 persen.

Adapun PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk alias BNI membanderol SBDK korporasi 9,64 persen, ritel 9,64 persen, KPR 9,99 persen, dan Non KPR 11,82 persen.

Kemudian PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk atau BTN memutuskan SBDK korporasi senilai 9,90 persen, ritel 9,90 persen, KPR 9,95 persen, dan non KPR 11,25 persen.

Perlu dicatat, SBDK belum memperhitungkan komponen estimasi premi risiko yang besarnya tergantung dari penilaian bank terhadap risiko masing-masing debitur atau kelompok debitur. Dengan demikian, besarnya suku bunga kredit yang dikenakan kepada debitur belum tentu sama dengan SBDK.

https://money.kompas.com/read/2021/02/21/095255126/mau-kredit-mobil-atau-rumah-tanpa-dp-cek-dulu-angsuran-bulanannya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke