Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa mengatakan, saat ini pemerintah dari berbagai negara perlu untuk mengurangi penggunaan energi fosil dan mempercepat pelaksanaan transisi menuju energi baru terbarukan (EBT) yang jauh lebih ramah lingkungan.
"Kita sedang menghadapi satu kondisi yang menjadi persoalan global, yaitu krisis iklim, di mana semua negara berlomba atau didorong untuk menurunkan emisi gas rumah kaca secara besar-besaran," ujarnya dalam diskusi Kompas Talks, Selasa (2/3/2021).
Ia mengakui, untuk mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca hingga 0 persen bukanlah suatu hal yang mudah. Sebab, perlu dilakukan langkah-langkah yang signifikan dalam pengurangan penggunaan energi fosil.
Sebuah hasil studi menunjukkan, apabila target 0 emisi gas rumah kaca dan menjaga suhu bumi di bawah 2 derajat celsius ingin direalisasikan maka dua pertiga dari sumber energi fosil yang ada saat ini sudah tidak boleh lagi digunakan.
Selain itu, Badan Energi Internasional atau International Energy Agency (IEA) menyatakan, untuk mencapai target yang tercantum dalam Perjanjian Paris atau Paris Agreement itu, semua pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang memiliki tingkat produksi emisi gas rumah kaca yang tinggi sudah tidak boleh lagi beroperasi pada 2030.
"Kita punya waktu yang sangat pendek untuk melakukan transformasi sistem energi kita," kata Fabby.
Meskipun tidak mudah, Fabby menekankan perlunya perencanaan yang matang terkait pemanfaatan sumber energi baru terbarukan demi memangkas penggunaan energi fosil.
"Pada intinya transisi energi memerlukan perencanaan, persiapan karena ada dampak dan konsekuensi merubah sistem energi untu bisa mencapai net zero emission," ucapnya.
Sebagai informasi, Indonesia menargetkan penurunan produksi emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen dengan usaha sendiri dan 41 persen dengan bantuan internasional pada 2030.
https://money.kompas.com/read/2021/03/02/153900626/pengamat-ini-sarankan-pltu-sudah-harus-berhenti-beroperasi-pada-2030