Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Banyak Orang yang Diet Keto, Mengapa Pemerintah Tetap Impor Beras?

Dia bilang, langkah pemerintah itu selain tidak populis, juga nggak kekinian.

Selain menekan harga gabah di tingkat petani, impor beras juga menyebabkan komoditas yang diimpor mungkin tidak terlalu berguna.

 “Banyak orang yang mengurangi makan nasi karena diet, eh, pemerintah malah impor beras,” kelakarnya.

Sementara, seorang teman yang lain berpendapat bahwa impor beras bisa saja menjadi salah satu metode political financing bagi pihak-pihak yang selama ini mendukung pemerintah.

Caranya, yakni dengan mengambil margin beras yang didatangkan ke Indonesia, tanpa memedulikan apakah komoditas itu benar-benar dibutuhkan atau tidak.

Dengan dalih akan muncul gejolak sosial-politik jika pasokan pangan tak terjamin, pemerintah melalui Kemenko Perekonomian dan Kementerian Perdagangan memutuskan untuk melakukan impor beras hingga 1 juta ton.

Sebuah keputusan yang pada akhirnya justru menimbulkan gejolak di masyarakat, sebelum asumsi gejolak akibat naiknya harga pangan benar-benar terjadi.

Kebijakan-kebijakan yang Ajaib

Ya, apapun itu asumsinya, tak dimungkiri bahwa banyak hal yang ajaib yang sering terjadi di negeri kita ini.

Mulai dari keputusan yang tidak memerhatikan kebutuhan, hingga kebijakan impulsif yang tidak didasari oleh pertimbangan data serta opini publik yang matang.

Seperti halnya rencana impor beras hingga 1 juta ton.

Kebijakan itu dicetuskan hanya beberapa pekan setelah Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan produksi beras lokal sepanjang Januari-April 2021 mencapai 14,54 juta ton, naik 26,84 persen atau 3,08 juta ton dari periode sama di tahun lalu yang sebesar 11,46 juta ton.

Proyeksi kenaikan produksi beras nasional oleh BPS tersebut didukung oleh panen raya yang menunjukkan tren positif di awal tahun.

Sementara itu, Dirut Perum Bulog Budi Waseso menyatakan kesulitan dalam menyalurkan beras yang ada di gudang milik perseroan.

Apalagi, jika Bulog harus melakukan penugasan impor beras sebesar 1 juta ton sebagaimana yang telah direncanakan pemerintah.

Dengan mengacu pada dua hal tersebut, setidaknya bisa disimpulkan bahwa Indonesia saat ini tak butuh impor beras.

Stok bahan pokok paling tidak telah terpenuhi oleh produksi dari dalam negeri.

Meski demikian, Kementerian Perdagangan tetap bersikukuh bahwa kebijakan impor beras diperlukan. Alasannya, impor akan mampu meredam gejolak sosial-politik jika harga pangan terutama beras mengalami kenaikan saat Puasa dan Lebaran.

Masyarakat yang Kebanyakan Makan

Pada 1789, pakar demografi dan ekonom politik Inggris Thomas Malthus mencetuskan sebuah teori yang dikenal dengan Teori Malthus.

Dalam teorinya, Malthus menyatakan bahwa laju pertambahan penduduk mengikuti hukum deret ukur, sedangkan pertambahan produksi pangan mengikuti hukum deret hitung.

Berangkat dari teori itu, Malthus memprediksi bahwa ke depan akan terjadi bencana krisis pangan.

Ini akibat dari jumlah pertambahan jumlah penduduk yang melampaui laju pertambahan produksi pangan.

Sempat membuat khawatir banyak pihak, namun dalam kenyataannya hingga lebih dari 200 tahun sejak dicetuskan, Teori Malthus itu tidak pernah terwujud.

Teknologi pangan telah berhasil mematahkan teori tersebut, setidaknya sampai saat ini.

Tak hanya tercukupi, pasokan makan bahkan berlebih.

Hingga kemudian sejarawan Israel, Yuval Noah Harari (2015) menyebut bahwa masalah baru yang dihadapi dunia saat ini adalah persoalan kelebihan makanan.

Beragam penyakit hingga kematian yang ditimbulkan oleh kelebihan asupan karbohidrat jumlahnya jauh lebih banyak ketimbang masalah-masalah yang diakibatkan oleh kelaparan.

Sebut saja jumlah penderita diabetes, obesitas, serangan jantung, dan sebagainya, jumlahnya lebih masif ketimbang mereka yang menderita busung lapar dan kekurangan gizi.

Dan, hal itu tidak hanya terjadi di negara-negara maju, namun juga di negara berkembang termasuk Indonesia.

Saya sendiri lebih setuju dengan pendapat yang dikemukakan oleh Harari, bahwa saat ini masyarakat dunia, termasuk Indonesia, tengah menghadapi persoalan kelebihan pasokan makanan.

Dan, beras hanyalah bagian dari sekian banyak pilihan makanan yang bisa dikonsumsi.

Pergeseran mindset untuk hidup lebih sehat juga berkembang belakangan ini, terutama di kalangan kelas menengah yang merupakan kelompok konsumen terbesar.

Alih-alih memperbesar porsi konsumsi beras, banyak dari kalangan kelas menengah yang mulai sadar kesehatan dengan mengurangi asupan bahan makanan tersebut.

Narasi yang Membosankan

Kembali ke persoalan impor beras, untuk memuluskan rencana itu, pihak-pihak yang berkepentingan membungkusnya dengan narasi-narasi yang membosankan: terjadi gejolak sosial-politik jika harga beras naik, karenanya harus impor.

Ya, itu adalah narasi yang selalu diulang-ulang dari waktu ke waktu agar impor beras bisa mendapatkan legitimasi dari publik.

Terlepas dari kepentingan ekonomi-politik yang melatari impor tersebut, pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apakah selama ini benar-benar pernah terjadi gejolak sosial-politik akibat kenaikan harga beras?

Saya sendiri ragu bahwa pernah ada gejolak sosial-politik yang sedemikian besar akibat dari kenaikan harga beras.

Kalaupun ada, itu karena kenaikan harga tak cuma terjadi pada komoditas beras, tetapi juga harga barang/jasa yang lain, misalnya transportasi, BBM, dan sebagainya secara bersamaan.

Di era kekinian, isu kenaikan harga pangan utamanya beras mungkin bukan lagi menjadi pemantik utama gejolak di masyarakat.

Sebaliknya, pemerintah harus lebih sensitif untuk mengidentifikasi isu-isu kecil yang justru bisa memunculkan kemarahan publik.

https://money.kompas.com/read/2021/03/19/055036826/banyak-orang-yang-diet-keto-mengapa-pemerintah-tetap-impor-beras

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke