Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Perjalanan Kasus BLBI Sjamsul Nursalim yang Rugikan Negara Rp 4,5 Triliun

JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengeluarkan SP3 alias Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang menyeret nama konglomerat, Sjamsul Nursalim. 

KPK beralasan, SP3 diterbuitkan untuk memberikan kepastian hukum. Apalagi, salah satu terdakwa kasus yang sama yakni Syafruddin Temenggung, telah dinyatakan bebas di tingkat kasasi Mahkamah Agung (MA).

Penerbitan SP3 atas perkara Sjamsul Nursalim itu diklaim sesuai dengan Pasal 40 UU KPK. Kasus BLBI sendiri merupakan kasus korupsi yang cukup lama namun belum juga tuntas.

Sebelumnya, Sjamsul Nursalim (SN) dan istrinya, Itjih Samsul Nursalim (ISN) sudah pernah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi BLBI.

Sjamsul Nursalim adalah pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonsia (BDNI), salah satu obligor BLBI. Dia bersama beberapa pemilik bank saat itu, dianggap bersekongkol dengan pejabat Bank Indonesia (BI) menggembosi uang negara lewat fasilitas BLBI.

Kerugian dalam kasus BLBI yang terkait Sjamsul Nursalim adalah sebesar Rp 4,58 triliun. Saat kasus tersebut dilimpahkan ke KPK, Sjamsul Nursalim dan istrinya ditetapkan sebagai buron yang masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO).

Mereka diketahui bersembunyi di Singapura. KPK pun beberapa kali melakukan pemanggilan kepada keduanya. Namun, pasangan suami istri itu tak pernah memenuhi panggilan KPK sebagai saksi maupun tersangka.

Dikutip dari Forbes, kekayaan Sjamsul Nursalim pada tahun lalu mencapai sebesar 755 juta dollar AS atau sekitar Rp 11,25 triliun.

Selain kaya raya dengan kepemilikan harta di Singapura, ia juga diketahui memiliki saham di beberapa perusahaan besar di Indonesia.

Kekayaan terbesarnya dikontribusi dari bisnis ritel, properti, dan batu bara. Masih menurut laporan Forbes, di Indonesia, perusahaan yang terafiliasi dengan Sjamsul Nursalim adalah PT Mitra Adiperkasa Tbk dan PT Gajah Tunggal Tbk.

Kronologi kasus

1998

Dikutip dari pemberitaan Harian Kompas, saat krisis ekonomi 1998, banyak bank-bank di Indonesia mengalami kesulitan likuiditas. Pemerintah lewat Bank Indonesia (BI) kemudian mengucurkan uang negara sebagai pinjaman ke bank-bank tersebut, kredit ini kemudian disebut dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).


BI telah menyalurkan BLBI sebesar Rp 147,7 triliun kepada 48 bank. Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) milik Sjamsul Nursalim merupakan salah satu bank yang mendapatkan kucuan uang rakyat tersebut, yakni senilai Rp 47 triliun.

Kucuran dana dilakukan lewat Master Settlement Acquisition Agreement (MSAA), di mana BPPN mengambil alih saham dan pengelolaan BDNI.

Dalam MSAA tersebut, jumlah utang BDNI kepada pemerintah adalah sebesar Rp 47,2 triliun, dikurangi aset BDNI sebesar Rp 18,85 triliun, termasuk di dalamnya pinjaman (piutang) BDNI kepada petampak udang Dipasena Lampung sebesar Rp 4,8 triliun.

Aset BDNI dalam bentuk piutang ke petambak udang Dipasena tersebut, diklaim Sjamsul Nursalim sebagai aset lancar yang seolah tidak bermasalah.

Dalam investigasi BPPN, ditemukan bahwa aset piutang petambak Dipasena tersebut merupakan kredit macet sehingga Sjamsul Nursalim dianggap melakukan misrepresentasi.

BPPN kemudian melayangkan surat yang menyatakan Sjamsul Nursalim melakukan misrepresentasi dan memintanya untuk menggantinya dengan aset lain untuk membayar utang BLBI, namun Sjamsul Nursalim menolak.

Selain itu, dalam penggunaannya dana BLBI, BDNI melakukan penyimpangan sehingga BPPN mengkategorikannya sebagai bank yang melanggar hukum atau bertransaksi tidak wajar yang menguntungkan pemegang saham.

2003

Dikutip dari Antara, BPPN kemudian menggelar rapat dengan pihak Sjamsul Nursalim yang diwakili istrinya, Itjih Nursalim, guna menyelesaikan masalah piutang petambak Dipasena.

Namun Itjih Nursalim berkukuh bahwa aset tersebut tak bermasalah dan pihaknya tidak melakukan misrepresentasi.

2004

Masalah BDNI ini yang kemudian jadi polemik dan kemudian jadi penyelidikan kasus korupsi di kemudian hari, adalah pemerintah saat itu yang mengeluarkan Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim.

Megawati Soekarnoputri sewaktu menjabat presiden, menyetujui pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada debitur penerima BLBI.

SKL tersebut ditandatangani oleh Ketua BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung lewat surat nomor SKL-22/PKPS-BPPN/0404 perihal pemenuhan kewajiban pemegang saham BDNI yang membuat hak tagih atas petambak udang Dipasena menjadi hilang.

Belakangan karena penerbitan SKL tersebut, Syafruddin kemudian divonis 15 tahun penjara oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Putusan itu memperberat hukuman 13 tahun penjara di tingkat Pengadilan Tipikor.

2004

Masih dikutip dari Antara, BPPN kemudian menyerahkan petanggungjawaban aset hak tagih Dipasena kepada Kementerian Keuangan yang kemudian diserahkan ke PT Perusahaan Pengelola Aset (PT PPA).

PPA melakukan penjualan hak tagih piutang Dipasena sebesar Rp 220 miliar, padahal kewajiban atau utang Sjamsul Nursalim yang seharusnya diterima negara adalah sebesar Rp 4,8 triliun.

Selisih kekurangan inilah yang kemudian dianggap sebagai kerugian negara sebesar Rp 4,58 triliun.

2019

Dalam putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) Syafruddin sebagai penerbit SKL kemudian dinyatakan bebas alias tidak bersalah. Majelis hakim menilai tidak ada tindak pidana yang dilakukan Syafruddin dalam menerbitkan SKL BLBI.

2021

KPK sempat mengajukan Peninjauan Kembali vonis lepas Syafruddin ke MA pada 17 Desember 2019. Namun, MA menolak upaya hukum luar biasa tersebut pada Juli 2020.

Karena dianggap tidak ada upaya hukum lain, maka KPK memutuskan mengeluarkan penghentian penyidikan (SP3) atas kasus BLBI Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim.

https://money.kompas.com/read/2021/04/09/071630926/perjalanan-kasus-blbi-sjamsul-nursalim-yang-rugikan-negara-rp-45-triliun

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke