Hal itu diungkapkan Djonny menanggapi adanya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 terkait Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik pada 30 Maret 2021 lalu.
“Masa tarif untuk bioskop dibandingkan radio besaran kita. Kalau menurut saya sih idealnya untuk bioskop Rp 600.000 satu layar menurut saya ideal,” ujar Djonny kepada Kontan.co.id, Selasa (13/4/2021).
Menurutnya, selain menyoroti soal besaran tarif, Djonny juga menilai bahwa pemungutan tarif royalti terhadap pelaku usaha bioskop sebaiknya dilakukan ketika kondisi bisnis membaik selepas pandemi Covid-19 usai kelak.
“Kalau bisa ya di tunda dulu lah pungutan royalti ini sampai pandemi ini berakhir. Kita tahu bioskop tengah dihadapkan pada situasi yang sulit. Orang-orang takut untuk ke bioskop. Bagaimana kita mau bayar, omzet aja hanya 15 persen sampai 20 persen dibandingkan kondisi normal,” tambahnya.
Ia mengatakan hal tersebut tercermin dari omzet harian para pengusaha bisnis bioskop yang menurun drastis.
“Dalam sehari itu bioskop biasanya dapat (omzet) Rp 40 juta-Rp 50 juta, sekarang ada pandemi untuk dapat Rp 1 juta-Rp 2 juta saja susah,” ujar Djonny
Adapun, ia juga mengatakan bahwa sampai saat ini Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) masih minim sosialisasi.
Hal ini terlihat dari sebelum PP 56/2021 tersebut di keluarkan, Djonny mengklaim LMKN tidak mengumpulkan stakeholder terkait untuk membahas bersama.
Berita ini telah tayang di Kontan.co.id dengan judul: GPBSI: Royalti lagu dan musik untuk bioskop idealnya Rp 600.000 per layar
https://money.kompas.com/read/2021/04/14/144756826/pengusaha-bioskop-sebut-royalti-yang-harus-dibayar-kemahalan