Mengutip dari keterbukaan informasi, Pengadilan Federal Australia telah menjatuhkan putusan denda kepada perusahaan maskapai dengan kode emiten GIAA ini sebesar 19 juta dollar Australia (AUD) atau setara Rp 214 miliar (kurs Rp 11.300) kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Australia.
Perseroan mengajukan banding terkait putusan tersebut pada tahun 2019. Namun pada akhirnya Garuda memilih untuk membayar denda itu disertai biaya perkara dari ACCC dengan cara diangsur selama 5 tahun, mulai Desember 2021.
Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko PT Garuda Indonesia Prasetio menjelaskan, gugatan dari ACCC ini telah berlangsung sejak 2014 silam.
"Sesuai penjelasan sebagaimana kami sampaikan di atas maka perkara hukum terkait bukan merupakan perkara baru. Melainkan telah berlangsung sejak 2014 dan Perseroan secara rutin telah menyampaikan kewajiban keterbukaan informasi terhadap perkembangannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku," katanya dalam prospektus tersebut, Selasa (20/4/2021).
Awalnya, GIAA dinyatakan tidak bersalah pada tahu 2014 oleh Pengadilan Negeri Australia atas kasus penetapan biaya harga fuel surcharge cargo. KPPU Australia ini kemudian mengajukan banding dan kasasi ke Pengadilan Tinggi Australia.
Pada 2017, Garuda dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Tinggi di sana. Selanjutnya, kasus tersebut diserahkan kembali ke Pengadilan Negeri New South Wales.
Tahun 2019, Pengadilan Negeri New South Wales akhirnya memutuskan agar Garuda Indonesia membayar denda yang disebut.
Kemudian pada 15 April 2021, Garuda menyatakan siap membayar denda sebesar Rp 241 miliar sebagai tanda perdamaian dan mencabut banding yang telah diajukan sebelumnya. Sementara, adanya gugatan dan perdamaian itu, saham GIAA di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada penutupan perdagangan hari ini, melemah 0,60 persen atau 2 poin menjadi 330.
https://money.kompas.com/read/2021/04/20/174927126/berdamai-dengan-kppu-australia-garuda-bayar-denda-rp-241-miliar