Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Profil William Tanuwijaya, Dulu Penjaga Warnet, Kini Bos Tokopedia

JAKARTA, KOMPAS.com - Startup e-commerce Tokopedia tengah jadi sorotan usai melakukan aksi korporasi dengan membentuk holding company bernama GoTo bersama dengan Gojek, raksasa transportasi daring.

Tokopedia sendiri selama ini dikenal sebagai marketplace terkemuka di Indonesia. Posisinya silih berganti salip menyalip dengan kompetitornya, Shopee Indonesia, memperebutkan peringkat teratas.

Nama Tokopedia tak bisa dilepaskan dari William Tanuwijaya. Sosoknya mulai sering diperbincangkan setelah perusahaan rintisannya itu masuk sebagai salah satu unicorn Indonesia.

Unicorn adalah istilah usaha rintisan yang memiliki valuasi di atas 1 miliar dollar AS atau sekitar Rp 13,3 triliun. Tokopedia makin menjulang setelah pada Agustus tahun 2020 lalu mendapat pendanaan dari Alibaba sebesar Rp 14,7 triliun.

Diberitakan Harian Kompas, 16 Oktober 2017, profil William Tanuwijaya adalah anak perantauan yang lahir dan besar di Pematang Siantar, Sumatera Utara.

Ia mengaku berasal dari keluarga sederhana dan tidak memiliki latar belakang berwirausaha. Setelah lulus SMA, ayah dan pamannya memberi kesempatan untuk merantau ke Jakarta.

”Sampai di Jakarta, saya melihat beberapa ketimpangan. Masalah ketimpangan benar-benar suatu hal yang nyata. Contohnya, keberadaan toko buku karena saya senang membaca. Di Pematang Siantar tidak ada toko buku besar, cuma toko kecil dan harganya lebih mahal, sementara di Jakarta adalah sebaliknya,” kisahnya.

Jaga warnet

Tahun 1999, ketika tiba di Jakarta, ia kuliah di Jurusan Teknik Informatika, Universitas Bina Nusantara. Namun, baru dua tahun kuliah, ayahnya mulai sakit sehingga ia harus mencari pekerjaan sampingan.

Pekerjaan ini, di satu sisi adalah beban, tetapi di sisi lain adalah berkah terselubung. Wiliam menjadi penjaga warung internet (penjaga warnet) di sekitar kampus dari pukul 21.00 sampai pukul 09.00 atau jam kalong.

”Dari sini saya bisa belajar internet secara gratis. Pada 2003 saya lulus, tapi tidak pernah mempunyai cita-cita atau impian sebagai pengusaha. Empat tahun sebagai pekerja kantoran di beberapa perusahaan berbeda," cerita William Tanuwijaya.

"Lalu, pada 2007, saya melihat peluang membangun Tokopedia setelah saya berkilas balik dengan melihat ketimpangan di kampung halaman itu, namun saya tidak punya modal,” kata dia lagi.

Ia terinspirasi dari pendiri perusahaan teknologi Google dan Facebook yang mendapatkan modal dari pemodal ventura. Akan tetapi, waktu itu ia belum kenal siapa pun. Ia datangi bos tempatnya bekerja.

Ia mengemukakan ide untuk membangun Tokopedia. Bosnya yang tergolong visioner kemudian memperkenalkan William Tanuwijaya kepada teman-temannya yang mempunyai uang.

”Dua tahun kami mencari modal, tetapi gagal. Kalau dirangkum, waktu itu kami gagal karena orang bertanya tentang siapa yang sudah berhasil karena bisnis teknologi?" kata William Tanuwijaya.

Menurut dia, pertanyaan kedua mengenai kekhawatiran akan kompetisi. Indonesia merupakan pasar yang begitu luas, bagaimana kalau pemain besar dunia datang ke Indonesia dan bagaimana melawan mereka.

Salah satu titik yang mengubah hidupnya adalah ketika salah satu calon pemodal malam pesimis pada rencana bisnisnya.

”Wiliam kamu masih muda. Jangan sia-siakan masa muda kamu. Kamu itu membawa mimpi yang muluk-muluk. Model kamu semua dari Lembah Silicon. Mereka ini lahir spesial, kamu tidak seperti itu. Sudahlah cari yang lebih realistis,” kata William menirukan ucapan temannya tersebut.

Berkali-kali ditolak, Wiliam mengaku modalnya adalah kegigihan. Akhirnya, pada 2009 mantan bosnya menjadi pemodal pertama. Meski demikian. jalannya tetap tidak mudah.

Ia kemudian kembali ke kampus dengan mengikuti pameran peluang kerja. Sebab, untuk membangun perusahaan teknologi, ia membutuhkan sumber daya manusia. Sejak pertama ia percaya dengan hal itu. Tak ada aset dan tak ada sumber daya lain yang lebih penting selain manusia.

”Saya berdiri dua hari di pameran itu untuk mencari kandidat. Tidak satu pun yang melamar di pameran itu. Sementara, di depan saya adalah satu stan sebuah bank besar. Di stan bank itu ada ribuan mahasiswa yang mengantre. Di tempat saya cuma ada satu mahasiswi yang menjadi panitia dan dia bertanya ini perusahaan apa?" katanya.

Meski ia mengaku introvert, William Tanuwijaya mengubah strategi dengan berbicara dari kelas ke kelas sehingga pelan-pelan jumlah pelamar mulai bertambah. Tahun kelima mereka mendapat 85 orang. Namun, kemudian setelah itu berubah.

Tokopedia yang semula sedikit diminati orang, kini diminati puluhan ribu kandidat. Tahun lalu, dua anak Indonesia yang berkesempatan kuliah di Harvard Business School magang di Tokopedia.

Pemodal dari luar negeri pun terus berdatangan meski ia mengaku pada awalnya ia dan teman-temannya kerap ditolak dan disebut hanya membuang waktu mereka seusai presentasi.

Setelah lama bercerita, ia kembali menekankan bahwa Tokopedia baru menjalani fase permulaan. Melihat jumlah pelapak atau usaha kecil menengah (UKM) yang bergabung dengan Tokopedia, yaitu sekitar 2 juta orang, William juga mengaku jumlah ini masih harus terus ditambah sampai jumlah tak terbatas.

Ia berkali-kali mengatakan, modal dari semua itu adalah semangat bambu runcing. Ia belajar semangat bambu runcing dari kisah pejuang kemerdekaan yang memiliki modal sederhana itu melawan penjajah yang bersenjata canggih.

Tak hanya itu, mereka juga memiliki harapan bahwa perjuangan mereka tidak akan sia-sia karena akan mengantarkan Indonesia menjadi merdeka.

”Buat saya, harapan itulah yang selalu menjaga mimpi dan misi Tokopedia. Di kantor lama kami ada auditorium namanya The Founding Fathers. Ada lukisan Bung Karno dan tulisan titipan pendiri bangsa ini, yaitu bermimpilah setinggi langit, jika kau jatuh kau akan jatuh di antara bintang-bintang," ungkap dia.

https://money.kompas.com/read/2021/05/18/084344626/profil-william-tanuwijaya-dulu-penjaga-warnet-kini-bos-tokopedia

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke