Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Pikir Ulang Target Pertumbuhan Ekonomi Triwulan Kedua 2021

PERTUMBUHAN ekonomi triwulan I tahun 2021 tercatat sebesar minus 0,74 persen. Angka ini memang jauh lebih baik dibandingkan dengan tiga triwulan tahun 2020.

Pada Triwulan II/2020, misalnya, angka pertumbuhan menukik tajam minus 5,32 persen, namun kemudian membaik pada Triwulan III dan IV menjadi masing-masing sebesar minus 3,49 persen dan minus 2,19 persen.

Perekonomian nasional menjadi tersandera dengan adanya resesi ekonomi. Persentase penduduk miskin kembali dua digit (10,19 persen), pengangguran membengkak di atas 5,0 persen, dan ketimpangan makin melebar dengan Gini ratio 0,382.

Yang menarik, pemerintah pada Triwulan II/2021 mentargetkan pertumbuhan ekonomi mampu mencapai 7 persen. Optimisme pemerintah tersebut didasarkan pada membaiknya sejumlah indikator.

Pertama, indeks manajer pembelian (Purchasing Manager Index/PMI) per April 2021 yang mencapai 54,6. Dalam pengukuran PMI, nilai di atas 50 berarti sektor usaha berada dalam zona ekspansi, dan bukan kontraksi.

Kedua, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang diterbitkan Bank Indonesia (BI) juga berada dalam level optimistis. Ketiga, nilai ekspor dan impor dalam tren membaik. Begitu pula pembentukan modal tetap bruto (PMTB) mendekati positif (Kompas, 17/5/2021).

Optimisme pencapaian pertumbuhan ekonomi 7 persen pada triwulan II/2021 semestinya tidak sesederhana (bloodless) hanya dengan menunjuk indikator di atas sebagai pijakan penetapan target pertumbuhan.

Optimisme yang lebih penting untuk diyakinkan pemerintah yakni bagaimana mengupayakan kebjakan, program dan implementasinya dalam pemulihan ekonomi nasional (PEN) mampu meningkatkan kosumsi masyarakat, menarik investasi dan meningkatkan ekspor ditengah-tengah pandemi Covid-19 yang masih berkecamuk.

Dengan kata lain, tantangan pada sumber pertumbuhan konsumsi, investasi dan perdagangan berikut ini mutlak perlu diperhatikan.

Tantangan kebijakan

Untuk kebijakan dan program peningkatan konsumsi, misalnya, pemerintah antara lain harus mampu meyakinkan stimulus dana PEN dalam menangani kemiskinan, pengangguran dan UMKM benar-benar efektif diterima oleh masyarakat yang menjadi target. Apalagi peran UMKM khususnya sangat besar terhadap perekonomian nasional.

Sebanyak 64,2 juta unit UMKM perlu diberdayakan secara optimal. Pasalnya, bisnis UMKM melibatkan 97 persen tenaga kerja nasional dan berkontribusi terhadap PDB sekitar 61 persen dan ekspor sebesar 14 persen.

Untuk kebijakan dan program menarik investasi, pemerintah harus meyakinkan kemampuan mengatasi berbagai tantangan masuknya investasi baik PMA dan PMDN.

Alasannya, pandemi Covid-19 telah memberikan dampak negatif signifikan pada investasi asing yang masuk ke Indonesia sebesar 9,2 persen secara tahunan. Adapun realisasi PMDN hanya naik 29,3 persen dari periode sama tahun lalu.

Pada tahun 2021, geliat pertumbuhan investasi dipastikan menghadapi tatangan berat berikut ini. Pertama terkait terbatasnya modal investasi pemerintah.

BKPM (2020) memperkirakan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 6 persen pada tahun 2021 dibutuhkan dana investasi sebesar Rp 5.817,3 triliun sampai Rp 5.912,1 triliun.

Dari jumlah tersebut, sebesar 84,7 persen sampai 90,1 persen diharapkan dapat dipenuhi dari sumber sektor swasta, sementara sisanya sebesar 5,0 persen sampai 7,1 persen diharapkan dari sumber dana pemerintah dan sebesar 4,9 persen sampai 8,1 persen dari sumber BUMN.

Kedua, tantangan terkait masih tingginya indeks restriksi masuknya PMA (FDI Restrictiveness Index).

OECD (2019) mencatat indeks restriksi masuknya PMA Indonesia sebesar 0,32. Indeks ini hanya lebih baik dibandingkan dengan Filipina (0,37), namun lebih tinggi dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya seperti Thailand (0,27), Malaysia (0,25), Laos (0,19), Brunei Darussalam (0,15), Vietnam (0,13), Myanmar (0,11), Singapura (0,06) dan Kamboja (0,05).

Ketiga, tantangan terkait tingginya ICOR (Incremental Capital Output Ratio) Indonesia. ICOR Indonesia tahun 2020 menurut BKPM tercatat sebesar 6,8. ICOR tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan Vietnam (3,7), Filipina (4,1), dan Malaysia (5,4).

Ini artinya produktivitas modal atau efisiensi marjinal modal atau the cost of investment di Indonesia relatif rendah di bandingkan dengan negara-negara di atas.

Keempat, tatangan terkait kemudahan berbisnis (Ease of Doing Business-EODB). EODB score Indonesia pada tahun 2020 berada di urutan 73 dari 190 negara.

EODB skor Indonesia ini jauh lebih buruk dibandingkan dengan Singapura (2), Malaysia (12), Thailand (21), Brunei Darussalam (66), and Vietnam (70). EODB ranking Indonesia hanya lebih baik dibandingkan Filipina (95), Kambodia (144), Laos (154), and Myanmar (165).

Dari 10 aspek skor EODB, Indonesia hanya memiliki skor kemudahan berbisnis yang relatif baik yaitu dalam melakukan kontrak bisnis (enforcing contracts) dan registrasi properti (Bank Dunia, 2020).

Kebijakan dan program menarik investasi dengan mewujudkan PTSP/online service tentu merupakan satu langkah yang tepat. Namun, tuntutan persaingan memperebutkan investasi baik asing maupun domestik tidak hanya sekedar pelayanan PTSP yang hanya menyangkut izin investasi, tetapi lebih dari itu.

Kemudahan dalam proses perizinan lain yang menjadikan suatu bisnis/usaha bisa dilakukan harus dipromosikan dan dijalankan dengan baik. Konsep PTSP harus mengarah pada paket keseluruhan Start Doing Business yang selama ini masih dikeluhkan oleh banyak investor.

Integrasi kelembagaan terkait dengan investasi harus menjadi prioritas. PTSP juga harus melibatkan berbagai institusi terkait bukan PTSP dalam satu lembaga saja, termasuk integrasi pelayanan dengan Pemerintah Daerah di mana suatu investasi itu dijalankan.

Selain tantangan di atas masih banyak lagi tantangan yang dihadapi dalam menarik invetasi seperti semakin tingginya tingkat persaigan global menarik PMA, rendahnya kualitas/produktivitas SDM, hambatan peraturan daerah, inefisiensi birokrasi, korupsi, mafia pertanahan, biaya logistik, infrastruktur termasuk pasokan listrik, akses pasar dan digitalisasi.

Begitu pula di sektor perdagangan, kebijakan dan program pemerintah harus mampu mengatasi berbagai tantangan perdagangan domestik dan internasional.

Tantangan perdagangan domestik, misalnya, menyangkut biaya logistik yang masih cukup tinggi yakni mencapai 24 persen dari PDB, padahal idealnya pada kisaran 10-14 persen.

Hal ini menyebabkan Logistics Performance Index (LPI) Indonesia pada tahun 2019 berada pada peringkat 46 dari 160 negara. Posisi Indonesia masih tertinggal dari Singapura (7), Thailand (32), Vietnam (39) dan Malaysia (41).

Tantangan perdagangan domestik lain yakni informasi, promosi dan branding. Produk unggulan Indonesia banyak yang masih belum memiliki branding yang kuat di pasar domestik dan internasional. Sehingga brand and quality oriented consumers belum tercapai.

Sebagai contoh, Indonesia yang dulu dikenal sebagai produsen kopi nomor dua di dunia, saat ini turun peringkat lima dan posisinya digantikan oleh Vietnam yang berhasil membranding produk kopi menjadi salah satu produk unggulan globalnya.

Belum lagi terkait tantangan dalam hal pelibatan UMKM di pasar ekspor yang relatif juga masih kecil terhadap total ekspor Indonesia.

UKM hanya berkontribusi 14,17 persen terhadap total ekspor non-migas Indonesia, sisanya sebesar 85,83 persen merupakan ekspor oleh perusahaan besar (Kemenkop dan UKM, 2017).

Adapun tantangan sektor perdagangan internasional antara lain mengguritanya proteksionisme yang dilakukan berbagai negara belakangan ini (WTO, 2020).

Dengan tersisanya waktu selama 1,5 bulan menuju Triwulan II/2021 dan belum adanya tanda-tanda pandemi Covid-19 berakhir serta banyaknya tantangan yang dihadapi dalam implementasi kebijakan dan program PEN di atas, optimisme untuk mencapai target pertumbuhan triwulan II/2021 sebesar 7,0 persen jangan hanya digantungkan demgan indikator atau angka-angka statis.

Namun, mutlak perlu memperhatikan dinamika dan keberhasilan implementasi kebijakan dan program PEN, perilaku pelaku usaha domestik dan masyarakat maupun perekonomian global.

Jika tidak, target pertumbuhan ekonomi 7 persen menjadi nyaris mustahil dicapai. Bahkan besar kemungkinan target pertumbuhan tahun 2021 sebesar 4,5 persen sampai 5,3 persen pun meleset. Pemerintah dengan legowo harus pikir ulang target pertumbuhan ekonomi Indonesia 2021. Semoga.

Carunia Mulya Firdausy
Guru Besar Ilmu Ekonomi dan Bisnis serta Dosen Pasca Sarjana Magister Manajemen Universitas Tarumanagara dan Profesor Riset Pusat Penelitian Ekonomi-LIPI

https://money.kompas.com/read/2021/05/22/061400126/pikir-ulang-target-pertumbuhan-ekonomi-triwulan-kedua-2021

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke