Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Garuda Indonesia dan Sengkarut Problematika di Dalamnya

JAKARTA, KOMPAS.com - Kondisi PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk tengah menjadi sorotan publik. Kondisi keuangan maskapai pelat merah itu kian terpuruk akibat hantaman pandemi Covid-19.

Sebab, krisis tersebut membuat anjloknya jumlah penumpang. Di sisi lain, utang perseroan terus menumpuk hingga mencapai Rp 70 triliun dan diperkirakan terus bertambah Rp 1 triliun tiap bulannya.

Mengutip pemberitaan di Kompas.com, terkait permasalahan utang, saat ini manajemen Garuda Indonesia terus melakukan upaya-upaya dalam rangka memastikan risiko solvabilitas dapat dimitigasi dengan sebaik-baiknya. Manajemen maskapai tersebut saat ini tengah melakukan upaya renegosiasi dengan lessor pesawat.

Selain itu, perseroan melakukan restrukturisasi utang usaha termasuk terhadap BUMN dan mitra usaha lainnya. Serta melakukan negosiasi langkah restrukturisasi pinjaman perbankan dan lembaga keuangan lainnya.

4 Opsi Penyelamatan

Di sisi lain, Kementerian BUMN tengah mengkaji empat opsi penyelamatan Garuda Indonesia. Opsi tersebut didapat dari hasil tolak ukur (benchmarking) dengan yang dilakukan oleh pemerintah di negara-negara lainnya.

Adapun opsi pertama penyelamatan Garuda Indonesia yakni pemerintah terus mendukung dengan memberikan pinjaman atau suntikan ekuitas. Hal ini berkaca dari kasus pada Singapore Airlines asal Singapura, Cathay Pacific asal Hong Kong, dan Air China Airlines asal China.
Namun catatan dalam opsi adalah berpotensi meninggalkan Garuda Indonesia dengan utang warisan yang besar yang akan membuat situasi menantang bagi perusahaan di masa depan.

Kedua, menggunakan hukum perlindungan kebangkrutan untuk merestrukturisasi Garuda Indonesia. Hal ini dilakukan dengan menggunakan legal bankruptcy process untuk merestrukturisasi kewajiban mencakup utang, sewa, dan kontrak kerja.

Pilihan yurisdiksi yang akan digunakan dalam opsi ini yakni U.S. Chapter 11 yang merupakan Undang-Undang Kepailitan Amerika Serikat, maupun yurisdiksi kepailitan negara lain. Selain itu, mempertimbangkan opsi pengajuan Penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU).

Opsi ini merujuk pada contoh kasus Thai Airways International dan Malaysia Airlines. Namun catatannya yakni masih belum jelas apakah undang-undang kepalilitan Indonesia mengizinkan restrukturisasi.

Lalu opsi ini juga berisiko restrukturisasi berhasil memperbaiki sebagian masalah (debt, lease), tetapi tidak memperbaiki masalah yang mendasarinya (culture, legacy).

Kemudian ketiga, merestrukturisasi Garuda Indonesia dan mendirikan perusahaan maskapai nasional baru. Opsi ini mencontoh dari kasus yang terjadi pada Sabena Airlines asal Belgia dan Swissair asal Swiss.

Nantinya Garuda Indonesia akan dibiarkan melalui restrukturisasi, namun di saat bersamaan mulai didirikan perusahaan maskapai penerbangan domestik baru. Maskapai baru ini akan mengambil alih sebagian besar rute domestik Garuda Indonesia dan menjadi national carrier di pasar domestik.

Opsi ini dimaksudkan untuk tetap menjaga Indonesia memiliki national flag carrier, tetapi tentu perlu eksplorasi lebih lanjut. Adapun estimasi modal yang dibutuhkan untuk pembuatan maskapai baru ini mencapai 1,2 miliar dollar AS.

Keempat, Garuda Indonesia dilikuidasi dan sektor swasta dibiarkan mengisi kekosongan. Lewat opsi melikuidasi Garuda Indonesia, maka pemerintah akan mendorong sektor swasta untuk meningkarkan layanan udara, misalnya dengan pajak bandara atau subsidi rute yang lebih rendah.

Opsi ini mencontoh dari kasus yang terjadi pada Varig Airlines asal Brasil dan Malev Hungarian Airlines asal Hongaria. Namun catatan pada opsi ini adalah artinya Indonesia tidak lagi memiliki national flag carrier.

Empat opsi ini pun telah dibenarkan oleh Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir

"Garuda kita ada purpose empat tahapan, saya enggak mau berdebat tahapan itu ya, karena teman-teman media juga sudah dapat. Kita justru ini tahapannya, satu, dua, tiga, empat," ujar Erick di Kementerian BUMN, Rabu (2/6/2021) kemarin.

Menurut dia, saat ini bukan hanya Garuda Indonesia saja yang tengah kesulitan di tengah pandemi Covid-19 ini. Semua industri penerbangan di seluruh dunia pun terkena dampaknya.

"Saya rasa ini eranya sudah sangat terbuka, industri penerbangan di seluruh dunia terdampak dan sangat parah. Tidak mungkin dengan penurunan jumlah travel di seluruh dunia, kita lihat airport di Indonesia sekarang kapasitasnya paling 15 persen, kemarin sempat naik 32 persen, belum 100 persen. Industri penerbangan mau yang punya pemerintah atau yang punya swasta sangat terdampak," kata dia.

Kendati begitu, mantan Bos Inter Milan ini tak mau berdiam diri pasrah dengan keadaan yang terjadi. Dia mau manajemen Garuda Indonesia melakukan terobosan dan perbaikan agar bisa bangkit dalam kondisi sulit ini.

Salah satu terobosan yang dilakukan adalah melakukan negoisasi ulang dengan para lessor. Hal ini perlu dilakukan untuk mengurangi beban maskapai kebanggan Indonesia itu.

"Ingat ada dua kategori lessor. Lessor yang sudah terbukti bekerja sama dengan direksi Garuda melakukan tindak pidana korupsi, sudah ada catatan hukumnya. Tetapi ada juga lessor yang baik, ketika kita melakukan kerja sama tanpa kickback. Tapi itu pun dengan kondisi hari ini itu kemahalan, nah kita harus negoisasi ulang. Nah ini yang sedang kita jajaki opsi satu, dua, tiga empat," ungkapnya.

Kembalikan 12 Pesawat CRJ1000 ke Leasing

Manajemen Garuda Indonesia sendiri beberapa waktu lalu memutuskan mengembalikan 12 pesawat Bombardier CRJ 1.000 kepada pihak leasing, yakni Nordict Aviation Capital (NAC).

Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mengatakan, keputusan ini diambil setelah melihat adanya dugaan tindak pidana dalam pengadaan pesawat jenis tersebut pada 2011 lalu. Diduga pihak pabrikan memberikan suap kepada pimpinan Garuda Indonesia di masa itu dalam rangka pengadaan pesawat.

“Kami memutuskan mengembalikan 12 pesawat Bombardier CRJ 1.000 untuk mengakhiri kontrak kepada Nordict Aviation Capital (NAC) yang memang jatuh temponya 2027,” ujar Erick dalam konferensi pers virtual, Rabu (10/2/2021).

Selain itu, lanjut Erick, manajemen Garuda Indonesia juga tengah melakukan negoisasi terkait early payment sattlement contract financial enam pesawat jenis Bombardier CRJ 1000 dari Export Development Canada (EDC) yang jatuh tempo pada 2024 mendatang.

“Proses negoisasi ini tentu sudah terjadi berulang-ulang kali antara Garuda dan NAC dan tentu ini niat baik kami. Tapi sayangnya early termination ini belum mendapatkan respon dari mereka. Sementara proses negoisasi dengan EDC masih terus berlangsung,” kata mantan bos Inter Milan ini.

Pendiri Mahaka Media ini mengaku mempunyai alasan yang kuat dalam mengambil keputusan ini. Dia ingin menjadikan Garuda Indonesia menjadi perusahaan yang memiliki tata kelola perusahaan yang baik, transparan, akuntabilitas, dan profesional.

“Melihat keputusan KPK dan juga penyelidikan SFO dari Inggris terhadap indikasi pidana suap dari pihak pabrikan kepada oknum pimpinan Garuda saat proses pengadaan pesawat tahun 2011. Jadi tiga, empat point ini menjadi landasan,” ungkapnya.

Sementara itu, Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra menyebutkan penghentian tersebut menjadi salah satu upaya untuk mengurangi kerugian Garuda di masa mendatang.

“Kami menyadari bahwa penghentian secara sepihak akan menciptakan konsekuensi terpisah namun secara profesional kami siap menghadapi konsekuensi tersebut,” ujar dia.

Irfan pun menambahkan, selama tujuh tahun mengoperasikan pesawat CRJ 1.000, secara rata-rata setiap tahun justru menimbulkan kerugian dengan lebih dari 30 juta dollar AS per tahun. Sementara biaya penyewaan pesawat tersebut mencapai 27 juta dollar AS.

“Jadi kami sudah setiap tahun mengeluarkan biaya sewa pesawat 27 juta dollar AS untuk 12 pesawat CRJ 1.000 tapi kita malah mengalami kerugian lebih dari 30 juta dollar AS,” ungkap Irfan.

Sehingga, apabila Garuda melakukan terminasi pada 1 Febuari 2021 lalu sampai akhir masa kontraknya, maka proyeksinya Garuda akan hemat lebih dari 200 juta dollar AS.

“Ini sebuah upaya kami untuk minimal mengurangi kerugian dari penggunaan 12 pesawat tersebut di Garuda,” kata Irfan.

Pensiun Dini

Manajemen Garuda Indonesia juga menawarkan program pensiun dini kepada para karyawannya. Perusahaan penerbangan pelat merah ini menyebut keputusan diambil untuk kembali menyehatkan perusahaan.

Irfan mengatakan, penawaran program ini dilakukan sejalan dengan upaya pemulihan kinerja perusahaan yang tengah dijalankan pihaknya.

Hal itu untuk menjadikan Garuda Indonesia sebagai perusahaan yang lebih sehat dan adaptif menjawab tantangan kinerja usaha di era kenormalan baru.

Menurut Irfan, dalam situasi pandemi yang masih berlangsung ini, mengharuskan perusahaan melakukan langkah penyesuaian aspek supply and demand.

Hal ini seiring dengan penurunan kinerja operasi imbas penurunan trafik penerbangan yang terjadi secara signifikan.

“Perlu kiranya kami sampaikan program pensiun dipercepat ini ditawarkan secara sukarela terhadap karyawan yang telah memenuhi kriteria,” sebut Irfan beberapa waktu lalu.

Pangkas Jumlah Komisaris


Erick Thohir berencana akan memangkas jumlah komisaris PT Garuda Indonesia Tbk sebagai salah satu langkah efisiensi. Hal ini menindaklanjuti usul Anggota Dewan Komisaris Garuda Indonesia Peter Gontha.

Dalam surat kepada Direktur Keuangan Garuda Indonesia Prasetio bertanggal 2 Juni 2021, Peter minta memberhentikan pembayaran gaji dewan komisaris sampai rapat pemegang saham mendatang.

"Saya rasa yang diusulkan Pak Peter sangat bagus, bahkan saya ingin usulkan, kalau bisa komisaris Garuda Indonesia 2 atau 3 saja," ujar Erick.

Erick mengatakan, ketika perusahaan berusaha untuk melakukan efisiensi dengan menawarkan pensiun dini kepada karyawan, maka langkah efisiensi perlu juga dilakukan di jajaran atas, seperti komisaris.

"Jangan yang tadi misalnya ada pensiun dini tapi komisarisnya enggak dikurangin. Nah nanti kita akan kurangi, kecilin jumlahnya, itu bagian dari efisiensi, jadi benar-benar mencerminkan (upaya dari) komisaris dan direksi Garuda," jelas dia.

Erick mengatakan, butuh waktu setidaknya dua minggu untuk memproses pengurangan jumlah komisaris Garuda Indonesia. Selain itu, harus melalui tahap Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) mengingat maskapai pelat merah ini juga merupakan perusahaan terbuka.

"Ini kita akan lakukan sesegara mungkin, kasih waktu dua minggu lah, ada RUPS-nya tapi, mesti berdasarkan RUPS, nanti kita kecilkan jumlah komisarisnya," kata Erick.

https://money.kompas.com/read/2021/06/03/103000026/garuda-indonesia-dan-sengkarut-problematika-di-dalamnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke