Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Seputar Pajak Sembako, Kekesalan Pedagang, dan Pembelaan Pemerintah

Salah satu reformasi yang dilakukan adalah mengenakan pajak pada barang-barang tertentu yang sebelumnya bebas tarif PPN, termasuk sembako dan jasa pendidikan. Niat ini sudah tercantum dalam draft Revisi UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).

Rencananya, RUU bakal dibahas bersama DPR RI tahun ini, mengingat agenda reformasi pajak sudah tercatat dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2021.

Jenis sembako yang dipajaki

Mengutip draft RUU, Kamis (10/6/2021), sembako yang akan dikenakan tarif PPN meliputi, beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, ubi-ubian, bumbu-bumbuan, dan gula konsumsi.

Semula, barang-barang itu dikecualikan dalam PPN yang diatur dalam aturan turunan, yakni Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 116/PMK.010/2017. Sedangkan dalam draft RUU pasal 4A, beleid tak lagi menyebutkan sembako termasuk dalam objek yang PPN-nya dikecualikan.

Dengan kata lain, sembako dihapus dalam kelompok barang yang tak dikenai PPN.

Apakah sekolah juga dipajaki?

Sekolah atau jasa pendidikan termasuk jasa yang akan dikenakan tarif PPN. Lebih rinci, beberapa jasa yang kena tarif adalah jasa pelayanan kesehatan medis, jasa pelayanan sosial, jasa pengiriman surat dengan perangko, jasa keuangan dan jasa asuransi.

Kemudian, jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan, jasa angkutan umum di darat dan di air, jasa angkutan udara dalam dan luar negeri, jasa tenaga kerja, jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam, serta jasa pengiriman uang dengan wesel pos.

Selain jasa, aturan baru menghapus beberapa barang hasil tambang maupun hasil pengeboran yang semula tak dikenai PPN, tak termasuk hasil tambang batubara.

Respon pedagang pasar

Tentu saja, wacana pajak sembako membuat pelaku usaha geram dan tak habis pikir. Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) termasuk salah satu yang melayangkan protes.

Ketua Umum IKAPPI Abdullah Mansuri meminta pemerintah menghentikan wacana ini. Mereka menilai, pengenaan PPN untuk barang pokok akan membebani masyarakat.

Saat ini saja, pedagang pasar kesulitan karena mengalami penurunan omzet sekitar 50 persen. Pemerintah pun dinilai belum mampu melakukan stabilitas bahan pangan dalam beberapa bulan terakhir.

Dia mengambil contoh beberapa bahan pangan, seperti cabai dan daging sapi. Belakangan, harga cabai naik mencapai Rp 100.000.

"Mau dibebani PPN lagi? Gila, kami kesulitan jual karena ekonomi menurun, dan daya beli masyarakat rendah. Ini malah mau ditambah PPN lagi, gimana enggak gulung tikar," katanya kesal.

Lebih jauh dari itu, sebetulnya apa untung rugi pajak sembako?

Selain pedagang pasar dan masyarakat, pajak sembako lantas disoroti ekonom. Direktur Riset CORE Indonesia, Piter Abdullah mengaku, sembako yang dijadikan objek pajak baru akan mengikis daya beli masyarakat.

Bagaimana tidak? Masyarakat begitu tergantung dengan sembako, khususnya ibu rumah tangga yang saban hari berkunjung ke warung dan tukar sayur untuk memenuhi pangan keluarga.

Namun demikian, masih ada kemungkinan pemerintah akan menurunkan pajak untuk barang-barang esensial yang banyak dibutuhkan, lantaran skema multitarif menjadi salah satu opsi yang digaungkan.

Dengan skema ini, barang kebutuhan masyarakat akan dipajaki lebih rendah, sedangkan barang mewah yang umumnya dikonsumsi masyarakat menengah atas bakal dipajaki lebih tinggi.

Staf khusus menteri keuangan Yustinus Prastowo dalam satu kesempatan sempat menyebut, barang yang banyak dibutuhkan warga bisa lebih rendah tarifnya, mungkin turun sekitar 5-7 persen dari yang saat ini 10 persen.


"Pemerintah pasti tahu bahwa kenaikan PPN akan menghantam daya beli dan konsumsi. Jadi bisa berdampak negatif ke pemulihan ekonomi. Tentunya ini dihindari," kata Piter saat dihubungi Kompas.com, Rabu (9/6/2021).

Untungnya sembako dipajaki

Beberapa pihak menilai, pemajakan sembako memiliki keuntungan. Pengamat Pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Darussalam mengatakan, salah satu keuntungannya adalah menurunnya belanja pajak (tax expenditure).

Berdasarkan laporan belanja pajak yang dirilis tahun 2020 lalu, belanja pajak dari kebijakan pengecualian PPN mencapai Rp 73,4 triliun (2019), atau sekitar 29 persen dari seluruh total belanja pajak Indonesia.

Lebih rinci, jumlah belanja pajak dari pengecualian PPN atas barang kebutuhan pokok adalah yang terbesar yakni sebesar Rp 29 triliun.

Artinya, penghapusan pengecualian tarif PPN untuk barang tertentu termasuk sembako mampu menurunkan belanja pajak nasional.

Lagipula kata Darussalam, pengecualian PPN bisa mendistorsi dan mengurangi netralitas dari sistem PPN. Selain itu, dapat berdampak bagi kinerja optimalisasi PPN.

"Oleh karena itu tidak mengherankan jika OECD, World Bank, dan IMF merekomendasikan Indonesia untuk bisa mengurangi jumlah barang/jasa yang dikecualikan dari PPN. Kebijakan ini juga menjadi bagian dari strategi broadening tax base," ucap Darussalam kepada Kompas.com.

Alih-alih mengecualikan pajak untuk sembako yang bisa dinikmati pula oleh kalangan masyarakat mampu, Darussalam lebih menyarankan pemerintah menggenjot ragam bantuan sosial (bansos) dan subsidi lain yang sudah eksplisit kepada wong cilik.

"Dengan demikian, kebijakannya lebih tepat sasaran sekaligus bisa mengendalikan belanja perpajakan yang polanya terus meningkat antarwaktu," sarannya.

Janji pemerintah banjiri bansos

Seolah satu garis, Yustinus menyampaikan, pemerintah akan memperkuat bantuan sosial (bansos) untuk masyarakat miskin dan rentan miskin bila sembako dikenakan tarif PPN.

Disebutnya, kebijakan penyaluran bansos lebih adil daripada mengecualikan tarif PPN untuk sembako yang bisa dinikmati semua kalangan. Penguatan bansos pun jadi lebih tepat sasaran, karena semakin banyak bantuan yang diarahkan ke orang yang berhak secara langsung.

"Maka jadi relevan: bandingkan potensi bertambahnya pengeluaran dengan PPN, dengan bansos yang diterima rumah tangga," kicau Yustinus dalam akun Twitternya dikutip Kompas, Kamis (10/6/2021).

Sejauh ini, pengecualian PPN untuk sembako dan jasa yang luar biasa banyak lainnya memang terbukti membuat penerimaan pajak negara jadi tak optimal.

Selain tak tepat sasaran, RI disebut-sebut menjadi negara dengan fasilitas pengecualian terbanyak. Kalau tak percaya, dia bilang, coba bandingkan dengan berbagai negara seperti Thailand, Singapura, India, dan China.

Di Singapura, pengecualian pajak hanya diberikan untuk properti tempat tinggal, logam berharga, barang untuk keperluan investasi, jasa keuangan, dan sewa properti tempat tinggal.

Sementara Thailand, barang pertanian, peternakan, perikanan, koran dan buku, pupuk, jasa kesehatan, angkutan umum, dan leasing properti.

Jika dibandingkan dengan negara yang disebutkan, China menjadi negara dengan pengecualian pajak paling sedikit, yakni hanya di Zona Ekonomi Spesial (Special Economic Zone).

"Pengaturan yang demikian justru menjadikan tujuan pemajakan tidak tercapai. Yang mampu membayar pajak tak membayar karena mengonsumsi barang/jasa yang tidak dikenai PPN. Ini fakta," jelas Yustinus.

Janji tak membabi buta

Selain menjanjikan bansos lebih optimal, Yustinus juga menjanjikan bahwa pemerintah tak akan membabi buta menambah objek pajak saat pemulihan ekonomi masih berlangsung.

Kebijakan pajak yang baru membuat orang yang mampu menyubsidi pajak orang yang kurang mampu sehingga terjadi gotong royong. Sebab bila pajak disamaratakan untuk semua warga, maka Indonesia menjadi terlalu baik.

Saking baiknya, banyak barang dan jasa yang dikecualikan atau mendapat fasilitas tanpa mempertimbangkan jenis, harga, dan kelompok yang mengonsumsi. Baik beras, minyak goreng, atau jasa kesehatan dan pendidikan, semua bebas tanpa pajak.

"Tapi kok sembako dipajaki? Pemerintah kalap butuh duit ya? Kembali ke awal, enggak ada yang tak butuh uang, apalagi akibat hantaman pandemi. Tapi dipastikan pemerintah tak akan membabi buta. Konyol kalau pemulihan ekonomi yang diperjuangkan mati-matian justru dibunuh sendiri," tandasnya.

Lalu, kapan pajak sembako mulai berlaku?

Pemerintah memastikan, penerapan kebijakan baru akan bertahap dan menunggu ekonomi pulih dari pandemi. Beberapa waktu lalu dia pernah berkata, kebijakan mungkin akan berlaku pada 1-2 tahun mendatang.

"Bukan berarti akan serta merta diterapkan di saat pandemi. Ini poin penting: timing. Bahwa penerapannya menunggu ekonomi pulih dan bertahap, itu cukup pasti. Pemerintah dan DPR memegang ini," tegas Yustinus.

https://money.kompas.com/read/2021/06/10/063000026/seputar-pajak-sembako-kekesalan-pedagang-dan-pembelaan-pemerintah

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke