Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Beli Mobil Baru Dapat Insentif Pajak, Belanja Sembako Bakal Kena Pajak

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah berencana akan mengatur ulang ketentuan tarif pajak pertambahan nilai (PPN), termasuk mengenakan pajak PPN sembako. Tujuannya untuk menyesuaikan tarif pajak dengan kemampuan membayar pajak atau ability to pay para pembayar pajak.

Rencana kebijakan tersebut diatur dalam perubahan kelima Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1993 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Bila tidak ada aral melintang, beleid tersebut akan dibahas oleh pemerintah dan parlemen di tahun ini sebab sudah ditetapkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2021.

Selain pengenaan objek PPN baru, pemerintah juga berencana menaikkan tarif PPN maksimum, dari yang semula sebesar 10 persen menjadi 12 persen.

Pengenaan tarif PPN sembako ini sejalan dengan penghapusan objek non-Barang Kena Pajak (BKP) antara lain kebutuhan pokok dan hasil pertambangan yang semula tidak dipungut PPN.

Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo menganggap, kebijakan tersebut lebih adil daripada mengecualikan tarif PPN untuk sembako yang bisa dinikmati semua kalangan.

"Kembali ke awal, nggak ada yang tak butuh uang, apalagi akibat hantaman pandemi. Tapi dipastikan pemerintah tak akan membabi buta. Konyol kalau pemulihan ekonomi yg diperjuangkan mati-matian justru dibunuh sendiri. Mustahil," ucap Yustinus seperti dikutip dari laman akun Twitternya, @prastow, Kamis (10/6/2021).

Yustinus mengatakan, meski revisi RUU KUP mulai dirancang tahun ini, bukan berarti pemungutan pajak sembako akan dilakukan di tahun yang sama.

Di masa pandemi, pajak diarahkan sebagai stimulus. Artinya, penerimaan negara tertekan, di sisi lain belanja negara meningkat tajam.

Untuk itu, secara bersamaan pemerintah pun mendesain kebijakan yang bisa menjamin keberlanjutan di masa yang datang.

Penerapan pungutan atas PPN Sembako untuk beberapa barang dan jasa yang sebelumnya dikecualikan pun menunggu ekonomi pulih secara bertahap.

"Di sisi lain pemerintah memperkuat perlindungan sosial. Semakin banyak keluarga mendapatkan bansos dan subsidi diarahkan ke orang. Maka jadi relevan: bandingkan potensi bertambahnya pengeluaran dengan PPN (misal 1 persen atau 5 persen), dengan bansos/subsidi yang diterima rumah tangga," jelas Yustinus.

"Di sisi lain pemerintah memperkuat perlindungan sosial. Semakin banyak keluarga mendapatkan bansos dan subsidi diarahkan ke orang. Maka jadi relevan: bandingkan potensi bertambahnya pengeluaran dengan PPN, dengan bansos yang diterima rumah tangga," kata dia lagi.

Yustinus menuturkan, pengecualian PPN yang terlalu banyak dan bisa dinikmati semua orang membuat penerimaan PPN tak optimal.

Menurut dia, Indonesia merupakan negara dengan fasilitas pengecualian terbanyak sehingga kadang distortif dan tidak tepat.

Ia pun membandingkan pengecualian pajak Indonesia dengan berbagai negara seperti Thailand, Singapura, India, dan China.

Di Thailand misalnya, pengecualian hanya diberikan untuk properti tempat tinggal, logam berharga, barang untuk keperluan investasi, jasa keuangan, dan sewa properti tempat tinggal.

Sementara Thailand, barang pertanian, peternakan, perikanan, koran dan buku, pupuk, jasa kesehatan, angkutan umum, dan leasing properti.

Beda lagi dengan China yang hanya memberikan pengecualian di Zona Ekonomi Spesial.

"Pengaturan yang demikian justru menjadikan tujuan pemajakan tidak tercapai. Yang mampu membayar pajak tak membayar karena mengonsumsi barang/jasa yang tidak dikenai PPN. Ini fakta," jelas Yustinus.

Berikut daftar sembako yang direncakan terkena PPN:

  • Beras dan gabah
  • Jagung
  • Sagu
  • Kedelai
  • Garam konsumsi
  • Daging
  • Telur
  • Susu
  • Buah-buahan
  • Sayur-sayuran
  • Ubi-ubian
  • Bumbu-bumbuan
  • gula konsumsi.

Insentif pajak mobil baru

Rencana pengenaan pajak ini diumumkan pemerintah tak lama setelah pemerintah merilis insentif pajak untuk pembelian kendaraan roda empat baru.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani menerbitkan aturan insentif pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) untuk mobil dengan kapasitas silinder lebih dari 1.500 cc sampai dengan 2.500 cc.

Melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 31/PMK.010/2021, pemerintah memberikan diskon PPnBM untuk pembelian mobil dengan spesifikasi mesin 1.500 cc sampai 2.500 cc.

“Pemerintah berharap kebijakan stimulus ini mampu merangsang konsumsi masyarakat khususnya pada produk-produk unggulan industri kendaraan bermotor dalam negeri,” ujar Sri Mulyani dalam keterangannya.

Diskon PPnBM mulai 0 persen ini menggunakan skema ditanggung pemerintah (DTP), dengan besaran diskon sebesar 100 persen di bulan pertama.

Artinya, pada tiga bulan pertama kebijakan ini berlaku, maka pada setiap pembelian mobil baru di bawah 1.500 cc akan digratiskan PPnBM-nya.

Untuk tiga bulan berikutnya, besaran diskon yang diberikan sebesar 70 persen, dan tiga bulan terakhir sebesar 50 persen.

Sebagai informasi, industri otomotif merupakan salah satu sektor manufaktur yang terkena dampak pandemi Covid-19 paling besar. Di sisi lain, sektor otomoif jadi salah satu industri yang paling banyak menyerap tenaga kerja.

Karena itu pemerintah memutuskan memberikan insentif fiskal berupa penurunan tarif PPnBM mobil. Pemerintah mengharapkan pemberian insentif berupa PPnBM 0 persen ini diharapkan mampu meningkatkan kembali pembelian dan produksi kendaraan bermotor.

https://money.kompas.com/read/2021/06/10/193501526/beli-mobil-baru-dapat-insentif-pajak-belanja-sembako-bakal-kena-pajak

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke