Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

BPK Khawatir Pemerintah Tak Sanggup Bayar Utang, Ini Kata Stafsus Sri Mulyani

JAKARTA, KOMPAS.com - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menilai posisi utang dan beban bunga utang pemerintah cukup berisiko. Pemerintah diharapkan dapat mengerem laju utang dan beban bunga sembari meningkatkan penerimaan negara melalui reformasi perpajakan.

BPK menyatakan kekhawatiran kesanggupan pemerintah dalam melunasi utang plus bunga yang terus membengkak sejak beberapa waktu terakhir. Kekhawatiran lainnya, yakni rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) yang juga terus meningkat.

Sejumlah indikator menunjukkan tingginya risiko utang dan beban bunga utang pemerintah. Rasio pembayaran bunga utang terhadap penerimaan negara pada 2020 mencapai 19,06 persen.

Angka tersebut melampaui rekomendasi Dana Moneter Internasional (IMF) yang sebesar 7-10 persen dan standar International Debt Relief (IDR) sebesar 4,6-6,8 persen.

Adapun rasio utang terhadap penerimaan negara pada 2020 mencapai 369 persen, jauh di atas rekomendasi IMF yang sebesar 90-150 persen dan standar IDR sebesar 92-167 persen.

Selain itu, rasio pembayaran utang pokok dan bunga utang luar negeri (debt service ratio) terhadap penerimaan transaksi berjalan pemerintah pada tahun 2020 mencapai 46,77 persen.

Angka tersebut juga melampaui rekomendasi IMF yang sebesar 25-35 persen. Namun, nilai tersebut masih dalam rentang standar IDR yang sebesar 28-63 persen.

Stafsus Sri Mulyani tanggapi BPK

Dilansir dari Harian Kompas, Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo mengatakan, pemerintah berkomitmen untuk menjaga pengelolaan utang pemerintah dan pembiayaan APBN agar selalu dalam kondisi aman.

Terkait debt service ratio terhadap penerimaan transaksi berjalan, Yustinus mengatakan, hingga tahun 2019, pemerintah selalu menjaga rasio tersebut di rentang bawah rekomendasi IMF.

Sayangnya, saat pandemi terjadi pada 2020, rasio ini meningkat menjadi 39,39 persen. Kenaikan serupa juga terjadi di sejumlah negara, seperti Filipina (48,9 persen), Thailand (50,4 persen), China (61,7 persen), Korea Selatan (48,4 persen), dan Amerika Serikat (131,2 persen).

Yustinus mengatakan, pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk menekan beban bunga utang, antara lain lewat pembagian beban (burden sharing) dengan Bank Indonesia, konversi pinjaman luar negeri dengan suku bunga mendekati nol persen, hingga penurunan imbal hasil surat berharga negara (SBN) menjadi 5,85 persen.

Dengan berbagai strategi dan respons kebijakan tersebut, Yustinus mengatakan, stabilitas fiskal dan ekonomi relatif baik.

Terbukti, klaim dia, lembaga pemeringkat kredit internasional mengapresiasi dan mempertahankan peringkat Indonesia. Padahal, 124 negara mengalami penurunan, bahkan ada yang meminta pengampunan utang.

”Pemerintah sependapat untuk terus waspada. Kita mengajak semua pihak bekerja sama dalam mendukung pengelolaan pembiayaan negara agar hati-hati, kredibel, dan terukur," ungkap Yustinus.

"Reformasi pajak untuk optimalisasi pendapatan negara juga terus dilakukan agar kemampuan membayar utang juga terjaga,” ujar komisaris BUMN PT Adhi Karya (Persero) Tbk ini. 

Berdasarkan data Kementerian Keuangan, posisi utang pemerintah di akhir Mei 2021 mencapai Rp 6.418,5 triliun atau 40,49 persen dari PDB. Utang meningkat 22 persen dibandingkan dengan Mei 2020 yang senilai Rp 5.258,57 triliun.

Utang pemerintah berasal dari penerbitan SBN Rp 5.580,02 triliun dan pinjaman Rp 838,13 triliun. Utang dalam bentuk SBN meliputi SBN domestik Rp 4.353,56 triliun dan SBN valuta asing Rp 1.126,45 triliun.

Sementara pinjaman berasal dari dalam negeri Rp 12,32 triliun dan luar negeri Rp 828,51 triliun. Pinjaman dalam negeri terdiri dari pinjaman bilateral Rp 316,83 triliun, multilateral Rp 465,52 triliun, dan bank komersial Rp 43,46 triliun.

Pengelolaan utang pemerintah disorot

Sebelumnya BPK menilai pengelolaan utang pemerintah pusat kurang efektif dalam menjamin biaya minimal dan risiko terkendali, serta kesinambungan fiskal untuk periode 2018 hingga kuartal ketiga tahun lalu.

Dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II 2019, BPK menyatakan pengelolaan utang pemerintah pusat yang dilaksanakan oleh Kementerian Keuangan dan Kementerian PPN/Bappenas tidak efektif lantaran strategi pengembangan pasar Surat Berharga Negara (SBN) domestik belum meningkatkan likuiditas pasar SBN.

“Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa pengelolaan utang pemerintah pusat kurang efektif untuk menjamin biaya minimal dan risiko terkendali serta kesinambungan fiskal,” tulis BPK dalam laporannya.

BPK menilai penerapan kebijakan pengembangan pasar SBN serta dampaknya terhadap pencapaian pasar SBN yang dalam, aktif, dan likuid juga dinilai masih memiliki kelemahan dalam perencanaan maupun pelaksanaan untuk mencapai target atau arah kebijakan.

BPK juga menilai pemanfaatan utang untuk kegiatan produktif tidak memiliki parameter dan indikator pencapaiannya.

Kebijakan dan strategi pengelolaan utang pemerintah yang dituangkan dalam dokumen-dokumen perencanaan dan penganggaran belum dapat diukur pencapaiannya.

Hal tersebut karena pemerintah belum memiliki laporan pertanggungjawaban atas kebijakan pemanfaatan utang untuk kegiatan produktif.

Definisi dan indikator kegiatan produktif dalam pemanfaatan utang belum jelas diungkap dalam dokumen perencanaan pemerintah.

“Pertumbuhan PDB tidak selaras dengan pertumbuhan utang, mengindikasikan tujuan pemanfaatan utang untuk kegiatan produktif sesuai dengan Renstra DJPPR belum sepenuhnya tercapai,” ungkap BPK.

BPK juga menilai terdapat peningkatan belanja bunga utang dan pemanfaatan utang sebagian besar masih untuk pembiayaan utang jatuh tempo dan bunga utang (refinancing) sepanjang 2014–2019.

“Akibatnya, pencapaian pemanfaatan utang untuk kegiatan produktif tidak dapat diukur secara memadai, dan kesinambungan fiskal dan kemampuan membayar kembali utang pemerintah pada masa mendatang berpotensi terganggu,” tulisnya.

BPK pun memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk menyusun kerangka kerja mengenai manajemen risiko keuangan negara, parameter hingga indikator pembiayaan, menyempurnakan kebijakan dalam penetapan yield, dan menetapkan kebijakan monitoring dalam menetapkan estimasi yield surat utang.

Utang baru dari Bank Dunia

Bank Dunia atau World Bank beberapa waktu lalu menyetujui pinjaman baru sebesar 500 juta dollar AS yang diajukan pemerintah Indonesia. Utang baru dipakai untuk memperkuat sistem kesehatan nasional.

Beberapa di antaranya yakni penambahan tempat isolasi pasien virus corona, tempat tidur rumah sakit, penambahan tenaga medis, lab pengujian, serta peningkatan pengawasan dan kesiapsiagaan menghadapi pandemi.

Selain itu, pinjaman dari Bank Dunia juga akan dipakai pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk memperluas program vaksinasi Covid-19.

Pada 10 Juli 2021 lalu, Bank Dunia juga sudah menyetujui utang baru yang diajukan pemerintah Indonesia sebesar 400 juta dollar AS.

Sehingga total utang baru yang ditarik Indonesia selama bulan Juni 2021 yakni sudah mencapai sebesar 900 juta dollar AS atau setara dengan Rp 13,04 triliun (kurs Rp 14.480).

"Selain untuk mendukung vaksinasi gratis dari pemerintah, utang ini akan membantu sistem kesehatan Indonesia menjadi lebih baik dan memperkuat sistem pengawasan melalui pengujian dan pelacakan kasus-kasus baru Covid-19," jelas Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dikutip dari laman resmi Bank Dunia.

Lanjut Budi, dana pinjaman juga akan dialokasikan untuk penanganan dan pencegahan varian virus baru dari virus corona.

Masih dikutip dari laman Bank Dunia, pemerintah Indonesia menyebutkan bahwa program vaksinasi gratis akan menjangkau 181,5 juta orang berusia dewasa.

https://money.kompas.com/read/2021/06/26/141008726/bpk-khawatir-pemerintah-tak-sanggup-bayar-utang-ini-kata-stafsus-sri-mulyani

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke