Pakar Hukum Lingkungan dan Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Alam Wahyu Nugroho mengatakan untuk menghindari kekisruhan seperti kasus Tambang Sangihe, instrumen perizinan lingkungan hidup tidak dapat diabaikan, terutama dokumen AMDAL saat izin tambang disetujui pemerintah.
Pria yang juga Ketua Pusat Studi Hukum ESDM IKA FH Universitas Diponegoro menegaskan, pemerintah harus memastikan apakah izin tersebut sudah tersinkronisasi dengan Rencana Tata Ruang Wilayah dan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K).
“Mengingat 80 persen wilayah Indonesia adalah pesisir, dan sisanya adalah kehutanan. Sehingga penting dicermati aspek lingkungan hidup dan ekologisnya,” ujarnya dalam keterangan resmi yang dikutip pada Senin (28/6/2021).
Selain tu, pengawasan juga harus dipastikan berjalan termasuk soal reklamasi dan pasca tambang. Dalam evaluasi kegiatan usaha tambang, ia juga menekankan Asas Umum Pemerintahan yang Baik (GCG) yaitu dari sisi kemanfaatan, kecermatan, keterbukaan, dan kepentingan umum.
“Sisi manfaat misalnya, terutama di pulau-pulau kecil itu menjadi berkah atau musibah bagi masyarakat sekitar,” tambahnya.
Sejalan dengan itu, dari sisi sosiologis, perlu diperhatikan soal keikutsertaan masyarakat dalam proses wilayah penetapan pertambangan, AMDAL, dan lainnya.
Sebab, menurutnya masyarakat memiliki hak untuk mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat. Pemerintah juga harus memperhatikan aspek perlindungan wilayah, tanah, dan hutan adat.
“Kalau tidak ada partisipasi masyarakat, itu menjadi cacat formil izin pertambangannya,” tegas Wahyu.
Wahyu merekomendasikan evaluasi perizinan tambang bisa dilakukan secara komprehensif, tidak hanya dari sisi kewilayahan tapi juga masalah tumpang tindih wilayah IUP lain ataupun lahan adat, status kawasan, sosial budaya dan lingkungan.
Koordinasi lintas sektoral juga diperlukan, tidak hanya Kementerian ESDM tapi juga Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), KKP, Kementerian ATR/BPN, dan lainnya.
“Dan pastinya adalah harus ada ketegasan pemerintah baik dari sisi penciutan maupun pencabutan IUP/IUPK,” jelasnya.
Sementara itu, Pakar Hukum Pertambangan Dr Derita Prapti Rahayu menambahkan, polemik kasus Sangihe terjadi karena ada benturan regulasi, dalam hal ini UU Minerba Nomor 3 Tahun 2020 dan UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Masalah pertambangan yang timbul saat ini juga tak lepas sebagai efek domino terbitnya UU Minerba Nomor 3 Tahun 2020, yang dinilai oleh Derita Prapti lebih sentralistik, oligarki, dan berpihak pada perusahaan pertambangan.
“Saat ini seluruh kategori izin pertambangan ditarik ke pusat. Saya harap kekuasaan di pemerintah pusat yang menjadi legitimasi untuk izin-izin tidak boleh bertentangan dengan aturan yang ada,” ucapnya.
“Harus dilihat apakah relevan atau sinkron dengan undang lainnya, seperti UU tentang RTRW atau regulasi soal daerah pesisir,” sambungnya.
Adapun Pakar Hukum Pertambangan sekaligus Ketua IKA FH Universitas Diponegoro, Ahmad Redi, menambahkan bahwa izin pertambangan mesti dikaitkan dengan empat keseimbangan hak secara prioritas.
“Yaitu keseimbangan hak lingkungan hidup, keseimbangan hak masyarakat yang berada dalam dan sekitar kegiatan yang akan ditambang, keseimbangan hak pemerintah dan pemda, serta keseimbangan hak pelaku usaha," pungkasnya.
https://money.kompas.com/read/2021/06/28/202026126/ini-usul-para-pakar-soal-izin-tambang-emas-sangihe