Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Isu Kelestarian dan Ekspor Andalan Indonesia

PANDEMI Covid-19 membuat perekonomian Indonesia menghadapi tantangan yang sangat berat. Pertumbuhan ekonomi pada 2020 terkontraksi sebesar -2,1 persen.

Seluruh komponen pengeluaran dalam Produk Domestik Bruto (PDB), kecuali belanja pemerintah, mengalami pertumbuhan negatif. Konsumsi rumah tangga tumbuh -2,6 persen, investasi swasta -4,9 persen, ekspor -7,7 persen, dan impor -14,7 persen.

Dari sisi ekspor, industri pengolahan masih menunjukkan kinerja ekspor yang positif. Pada 2020, nilai ekspor industri pengolahan mencapai 131,1 miliar dollar AS, atau 80,3 persen dari ekspor Indonesia.

Minyak sawit menjadi salah satu komoditas ekspor terbesar dengan nilai 18,5 miliar dollar AS, atau 14,1 persen dari ekspor industri pengolahan, naik 2,8 miliar dollar AS dibanding pada 2019.

Dua komoditas ekspor terbesar lainnya adalah kertas dan barang dari kertas dengan nilai 6,8 miliar dollar AS (5,2 persen) dan karet remah dengan nilai 2,9 miliar dollar AS (2,2 persen).

Kinerja ketiga komoditas tersebut pada kuartal pertama 2021 bahkan meningkat, di mana ekspor minyak sawit mencapai 6,2 miliar dollar AS, naik 44,2 persen dibandingkan kuartal pertama 2020. Nilai ekspor kertas dan barang dari kertas meningkat 9,4 persen dan karet remah naik 14,4 persen.

Dari sisi produksi sektoral, sektor primer seperti pertanian, kehutanan, dan perikanan adalah sektor yang mampu tumbuh positif pada 2020, yaitu sebesar 1,75 persen. Sektor primer memang menjadi bantalan yang menahan agar perekonomian tidak terkena resesi lebih dalam.

Sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan juga tetap menjadi andalan dengan kontribusi terbesar kedua terhadap PDB, yaitu 13,7 persen pada 2020. Namun, subsektor yang menjadi sumber produksi bagi ketiga komoditas ekspor andalan di atas justru mengalami penurunan pertumbuhan bahkan terkontraksi.

Subsektor tanaman perkebunan hanya tumbuh 0,05 persen, jauh di bawah kinerja pada 2019 sebesar 4,56 persen. Subsektor kehutanan dan penebangan kayu bahkan tumbuh -1,62 persen dan -5,42 persen pada triwulan ketiga dan keempat 2020.

Melihat peranannya terhadap ekspor Indonesia, kinerja industri pengolahan hasil perkebunan dan kehutanan jelas harus dijaga dengan baik. Jangan sampai di tengah pandemi, kinerja ini justru terganggu oleh berbagai permasalahan.

Salah satunya adalah isu kelestarian dan perubahan iklim yang sekarang menjadi prioritas global. Isu ini terbukti menyebabkan minyak sawit Indonesia mengalami hambatan akses pasar di Eropa Barat dan Amerika Utara.

Kritik dan advokasi dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) baik global maupun nasional juga dapat menimbulkan persepsi negatif terhadap Indonesia, jika isu tersebut tidak ditangani dengan baik.

Isu kelestarian

Salah satu contoh dari kritik dalam konteks di atas adalah laporan Greenpeace pada Maret 2021 yang berjudul Destruction Certified: Certification, not a solution to deforestation, forest degradation and other ecosystem conversion.

Laporan ini sangat keras mengkritik kinerja kelestarian dan sertifikasi kelestarian di seluruh dunia untuk produk biofuel, coklat dan kopi, minyak sawit, kedelai, serta kayu dan olahan hasil hutan lainnya.

Intinya, sertifikat kelestarian yang menjadi bukti bahwa pelaku bisnis memenuhi syarat kelestarian dianggap cacat oleh Greenpeace dan justru menjadi “pencucian” dari perusakan hutan.

Memang laporan itu tidak spesifik tentang Indonesia. Namun, di dalamnya terdapat berbagai contoh kasus Indonesia, khususnya terkait minyak sawit dan kayu atau olahan hasil hutan lainnya.

Sebagai contoh, sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) yang menjadi upaya Indonesia mengoptimalkan produksi, hilirisasi, dan ekspor produk kelapa sawit dinilai lemah di banyak hal.

Itu mulai dari terbatasnya peran LSM, problem transparansi, hingga dalam persyaratan tidak ada deforestasi, lahan gambut, kebakaran, hak pekebun rakyat, hak masyarakat adat dan banyak hal lainnya.

Padahal, ISPO sebenarnya telah mengakomodasi berbagai prinsip bisnis perkebunan yang berkelanjutan mulai dari legalitas lahan, penanganan limbah, hingga kesejahteraan petani.

Di bidang kehutanan, produk olahan hasil hutan Indonesia yang sudah mendapat sertifikat Programme for the Endorsement of Forest Certification (PEFC) dan Forest Stewardship Council (FSC) juga “divonis” tidak benar-benar lestari.

Berbagai tudingan ketidakpatuhan ditunjukkan, mulai dari High Conservation Value (HCV) hingga pelanggaran hak masyarakat adat.

Kritik dan tudingan Greenpeace di atas, ditambah gencarnya kampanye anti-minyak sawit yang bahkan sudah masuk Parlemen Uni Eropa, jelas dapat mengganggu ekspor komoditas andalan Indonesia.

Jangan lupa, Indonesia pernah terkena boikot produk kertas dan bubur kertas pada awal dekade 2010-an oleh berbagai korporasi besar dunia. Akibatnya, ekspor kertas dan bubur kertas yang mencapai 7,12 miliar dollar AS (2010) anjlok sekitar 1,6 miliar dollar AS pada 2012, atau lebih dari seperlimanya. Tentu kita tidak ingin kejadian seperti ini berulang.

Kelestarian dan komunikasi

Situasi di atas jelas perlu disikapi dengan komitmen dan kinerja kelestarian yang memang kredibel. Namun, hal ini tidak cukup.

Indonesia juga harus mampu mengkomunikasikan kinerja tersebut dengan gencar ke pasar global, serta berani mengoreksi tudingan yang lemah dasarnya.

Sebagai contoh adalah komitmen dan kinerja pengelolaan hutan lestari. Selama lebih dari 20 tahun, hutan tanaman industri (HTI) serta kertas dan bubur kertas Indonesia menjadi sasaran kampanye negatif global. Krisis kebakaran besar dan asap pada 2015 pun menambah buruk citra Indonesia.

Akan tetapi, belajar dari hal tersebut, pemerintah, para pemangku kepentingan, dan para pelaku usaha HTI dan kertas atau bubur kertas bekerja semakin keras mewujudkan pengelolaan hutan lestari.

HTI akhirnya berhasil mendapatkan sertifikat lestari dari PEFC. Pada 2015, luas HTI yang bersertifikat baru sebesar 727.000 hektar. Pada 2016 dan 2017 luasnya naik drastis menjadi 2,4 juta hektar dan 3,7 juta hektar.

Keberhasilan pengelolaan hutan lestari ini ternyata berdampak terhadap pulihnya ekspor. Ekspor yang turun terus sejak 2010, bahkan hanya menjadi sekitar 5 miliar dollar AS pada 2016, akhirnya pulih ke level 7,15 miliar dollar AS pada 2019.

Pada 2020, akibat pandemi, ekspor turun sedikit menjadi 6,8 miliar dollar AS. Dampak positif ini harus dijaga dengan komitmen dan kinerja kelestarian yang lebih baik.

Karena itu, terhadap kritik Greenpeace yang didukung oleh data valid, Indonesia mau tidak mau harus melakukan berbagai perbaikan. Contohnya, dalam hal pencegahan kebakaran hutan dan lahan ataupun peningkatan transparansi.

Namun, jika ada tudingan yang lemah, tentu Indonesia berhak mempertanyakan. Misalnya, laporan Greenpeace menyebut adanya deforestasi di dalam hutan bersertifikat sebagai salah satu contoh kasus.

Sayangnya, artikel yang menjadi dasar tudingan ini tidak menyebut koordinat wilayah deforestasi agar areal dan luasnya bisa ditentukan secara akurat. Akibatnya, sumber dan pelaku deforestasinya tidak bisa diketahui dengan kredibel.

Itu sebabnya, komunikasi menjadi sama pentingnya dengan komitmen dan kinerja kelestarian Indonesia. Jika tidak, Indonesia bisa terus terkena persepsi negatif, yang terbukti pernah dan masih merugikan ekspor andalan seperti minyak sawit dan kertas/bubur kertas.

Insentif kelestarian

Dengan berbagai tantangan yang mendera sektor primer dan industri pengolahannya, diperlukan dukungan penuh dari pemerintah untuk meningkatkan produktivitas dan ekspor mereka.

Beberapa strategi yang saat ini tengah dioptimalkan pemerintah antara lain adalah pembangunan pertanian dan perkebunan yang berkelanjutan, pengelolaan hutan produksi dengan pendekatan landscape, analisis spasial untuk mengidentifikasi area rawan karhutla, penyelesaian konflik tenurial, integrasi sektor hulu-hilir, dan pendalaman pasar ekspor.

Saat ini isu kelestarian telah menjadi prioritas global yang tidak terelakkan lagi. Banyak sekali korporasi besar dunia yang mewajibkan sertifikat kelestarian sebagai salah satu syarat dalam pengadaan barangnya.

Ke depan, diharapkan pemerintah—khususnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Pertanian, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, serta Kementerian Koperasi dan UMKM—dapat meningkatkan kinerja terkait kelestarian.

Terlebih lagi, pemerintah memasang target pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi pada 2022, yaitu 5.0-5,8 persen. Untuk bisa mencapainya jelas tidak mudah.

Karena itu, mengingat resiliensinya selama pandemi, sektor primer dan pengolahannya perlu lebih didukung oleh pemerintah agar menjadi salah satu motor pemulihan ekonomi. Bentuk dukungan tersebut bisa berupa insentif kelestarian, baik dalam hal dukungan kampanye global, maupun insentif perizinan, perpajakan, pertanahan, dan sosial.

Insentif di atas akan sangat membantu pelaku ekonomi karena mencapai kelestarian itu memerlukan dana investasi yang besar, transformasi budaya dan manajemen perusahaan yang signifikan, serta kerja keras dari banyak pihak.

https://money.kompas.com/read/2021/07/14/192323126/isu-kelestarian-dan-ekspor-andalan-indonesia

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke