Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Menimbang Risiko dan Manfaat Utang Pemerintah di Era Pandemi

Beberapa isu yang muncul antara lain ketimpangan akses belajar daring yang berisiko learning loss, ancaman malnutrisi dan stunting di kalangan anak-anak yang rentan (UNICEF, 2020), hingga tren naiknya ketimpangan pengeluaran penduduk.

Masalah ini dikhawatirkan mengubah segmen usia produktif sebagai beban, alih-alih menjadi dividen demografi dalam dekade ke depan.

Pada Rapat Paripurna DPR akhir Mei lalu, Menteri Keuangan menegaskan peran APBN 2020 bekerja sangat keras melindungi keselamatan rakyat dan memitigasi goncangan ekonomi melalui kebijakan counter cyclical.

Belanja Negara TA 2020 (audited) tercatat Rp 2.595,5 triliun (tn), atau melonjak 12,4 persen dari realisasi tahun 2019; bandingkan dengan kenaikan belanja TA 2019 yang hanya 4,3 persen dari tahun sebelumnya.

Melalui belanja yang ditujukan untuk menangani dampak pandemi tersebut, efek negatif pada kondisi sosial ekonomi masyarakat diharapkan dapat ditekan.

Pengucuran stimulus nyaris tak terelakkan di berbagai negara maju maupun berkembang.

Sebagai contoh, di awal 2021, Presiden Biden menandatangani UU “The American Rescue Plan” senilai 1,9 triliun dollar AS yang diharapkan men-jump start ekonomi AS.

Sementara itu, jiran kita Malaysia di tahun ini tercatat telah empat kali mengesahkan paket stimulus sekitar Rp 784 triliun yang digunakan antara lain untuk hibah UKM dan transfer tunai bagi golongan rentan.

Sebenarnya apa dampak stimulus jumbo bagi perekonomian di masa resesi? Mengutip Canagarajah dan Brownbridge dari Bank Dunia (2021), kebijakan counter cyclical yang efektif diharapkan memperpendek periode resesi.

Bahkan, kebijakan stimulus dapat berdampak positif bagi kesinambungan fiskal di masa depan.

Pengucuran stimulus fiskal saat resesi akan memperbaiki posisi rasio utang pemerintah dalam jangka panjang. Ini dapat terjadi dengan catatan stimulus memiliki efek multiplier signfikan sehingga akan menekan efek hysteresis dan memperbaiki output riil yang akhirnya memperbaiki kinerja penerimaan dalam jangka panjang.

Bagaimana Indonesia?

Sejauh ini program stimulus berada dalam koridor melindungi masyarakat dari wabah sekaligus memperbaiki fundamental ekonomi yang terganggu akibat pandemi.

Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) TA 2020 untuk kesehatan terealisasi Rp 62 triliun. Ini adalah komitmen Pemerintah untuk memberikan insentif bagi tenaga kesehatan, menanggung biaya perawatan pasien Covid-19, dan menyediakan vaksin gratis.

Tercatat telah diberikan insentif bagi lebih dari satu juta tenaga kesehatan, biaya perawatan 184 ribu pasien Covid-19, dan pengadaan 37,78 juta dosis vaksin, bahkan telah pecah rekor pemberian lebih dari satu juta vaksin sehari.

Sebagai gambaran, kajian Kemenkes menunjukkan rata-rata biaya perawatan pasien Covid-19 mencapai Rp 184 juta dengan rata-rata lama perawatan 16 hari. Jumlah ini dapat membengkak seiring penambahan lama masa perawatan.

Pemerintah juga telah mengeluarkan nominal cukup besar untuk menciptakan efek multiplier dan menjaga momentum pemulihan ekonomi.

Dana sebesar Rp 216 triliun telah dikucurkan tahun lalu untuk program perlindungan sosial yang bertujuan menjaga daya beli kelompok rentan.

Estimasi Bank Dunia menunjukkan bahwa tanpa program bantuan sosial, 8,5 juta penduduk Indonesia di tahun 2020 dapat jatuh miskin akibat pandemi.

Di sisi dukungan bagi dunia usaha, Pemerintah telah menyalurkan masing-masing sebesar Rp 112 triliun dan Rp 60 triliun untuk UMKM dan korporasi dalam bentuk bantuan modal dan penjaminan modal kerja.

Sementara itu, insentif perpajakan senilai Rp 58 triliun telah diberikan untuk menjaga kelangsungan dunia usaha dan daya beli masyarakat.

Komitmen Pemerintah untuk melanjutkan program PEN di tahun 2021 naik menjadi Rp 699 triliun dibanding Rp 695 triliun di 2020. Namun, efek kebijakan stimulus pada risiko pembiayaan terus menjadi perhatian mengingat sebagian besar tambahan belanja tersebut dibiayai oleh utang Pemerintah.

Per akhir 2020, utang Pemerintah tercatat sebesar Rp 6.079,2 triliun. Sementara itu, APBN TA 2021 menargetkan defisit 5,07 persen atau sebesar Rp 1.006,4 triliun, dimana hal ini diprediksi akan mengerek rasio utang pemerintah sedikit di atas 40 persen PDB.

Debat Lama

Peningkatan utang Pemerintah di masa pandemi yang sedang ramai saat ini seakan memperbarui debat lama tentang kemampuan Pemerintah membayar kewajibannya.

Namun, ada beberapa hal yang dapat menjadi pijakan bersama dalam dialektika tersebut.

Pertama, respon kebijakan Pemerintah untuk menangani pandemi bersifat sementara dan ditujukan sebagai jump start pemulihan ekonomi.

Pemerintah sendiri berkomitmen untuk mengembalikan rasio defisit pada level di bawah 3 persen PDB di tahun 2023 dan menjaga rasio utang per PDB di bawah batas 60 persen sesuai amanat UU Keuangan Negara.

Sebelum pandemi, Pemerintah-pun sebenarnya telah melakukan konsolidasi fiskal. Hal ini terlihat dari tren penurunan defisit keseimbangan primer, dimana tahun 2018 hampir mendekati nol dan tren penurunan defisit APBN, dimana APBN 2020 sebelum pandemi ditargetkan 1,76 persen PDB.

Kedua, kenaikan cukup signifikan utang Pemerintah di era pandemi menjadi langkah yang harus diambil oleh negara manapun. Semua seakan berkejaran dengan waktu untuk melindungi rakyatnya dan memulihkan ekonomi dengan berbagai stimulus.

Rasio utang Pemerintah Indonsia di akhir tahun 2020 tercatat 39,4 persen PDB, naik 9,4 percentage point (pp) dari tahun 2019. Angka ini lebih rendah dibandingkan negara peers seperti Filipina (47,07 persen, naik 10,10 pp), Malaysia (67,50 persen, naik 10,34 pp), Tiongkok (66,83 persen, naik 9,77 pp), dan Brazil (98,94 persen, naik 11,28 pp).

Bahkan jauh lebih rendah dari negara-negara maju yang menggelontorkan stimulus besar seperti Inggris (103,66 persen, naik 18,42 pp) dan Italia (155,56 persen, naik 21 pp).

Dari data tersebut, terlihat bahwa posisi utang Pemerintah relatif aman dan masih jauh dari ancaman kebangkrutan.

Pengelolaan fiskal Pemerintah dan pembiayaan utang di periode pandemi sendiri cukup diapresiasi lembaga pemeringkat kredit dengan dipertahankannya rating kredit sovereign Indonesia di level investment grade.

Ini menggambarkan persepsi positif pasar keuangan pada pengelolaan fiskal Pemerintah di tengah 124 pemangkasan rating tahun lalu dan maraknya permintaan restrukturisasi utang melalui skema Paris Club.

Capaian tersebut tidak terlepas pula dari manajemen portofolio utang Pemerintah dalam menjaga risiko utang selama ini, antara lain melalui debt switch atau menukar utang dengan suku bunga lebih rendah dan konversi pinjaman yang memperoleh suku bunga mendekati 0 persen.

Selain itu, Pemerintah bersinergi dengan otoritas moneter di masa pandemi, seperti melalui skema burden sharing dan Bank Indonesia sebagai standby buyer, yang mampu menekan biaya utang di tengah meningkatnya kebutuhan pembiayaan.

Selama satu dekade ini utang Pemerintah dalam valuta asing juga dalam tren menurun dari 45,1 persen menjadi 32,0 persen yang menunjukkan makin berkurangnya risiko kurs utang.

Demikian juga porsi pinjaman luar negeri menurun dibandingkan obligasi negara selama sepuluh tahun terakhir dari 34 persen menjadi 13 persen.

Penurunan ini diikuti kepemilikan asing atas obligasi negara yang cukup rendah, menurun dari 38,6 persen di akhir 2019 menjadi 22,8 persen di akhir Mei 2021. Kondisi ini menunjukkan semakin meningkatnya kemandirian pembiayaan APBN.

Tetap Berhati-hati

Kekhawatiran beberapa pihak atas risiko utang tentu harus menjadi catatan Pemerintah agar tetap berhati-hati dan terukur dalam mengelola pembiayaan.

Pemerintah diharapkan terus mengupayakan agar belanja yang dibiayai oleh utang memiliki efek pengganda untuk mendorong pertumbuhan penerimaan melebihi kenaikan biaya utang.

Selain itu, manajemen portofolio utang yang kredibel perlu tetap dijaga agar risiko refinancing dan suku bunga makin terkendali. Upaya menekan biaya utang juga membutuhkan sinergi berkelanjutan antara otoritas fiskal dan moneter.

Tak kalah pentingnya, Pemerintah diharapkan melanjutkan program pendalaman pasar keuangan dan pengembangan basis investor domestik untuk mendapatkan sumber pembiayaan dengan biaya efisien.

https://money.kompas.com/read/2021/08/02/120000726/menimbang-risiko-dan-manfaat-utang-pemerintah-di-era-pandemi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke