KOLOM BIZ
Konten ini merupakan kerja sama Kompas.com dengan Experd Consultant
Salin Artikel

Menunda, Apakah Disengaja?

Ada pimpinan yang punya banyak pekerjaan rumah (PR) sehingga ia sudah tidak tahu lagi ada berapa keputusan atau tugas yang sedang menunggu komandonya untuk dilakukan.

Apakah ia sendirian? Tidak. Di sekitar kita, banyak orang yang menunda memutuskan suatu hal, padahal keputusan tersebut bisa jadi sangat penting. Bahkan tidak hanya menyangkut dirinya saja, tetapi juga kepentingan orang lain. Artinya, kebiasaan menunda ini lebih banyak sisi tidak menguntungkannya.

Joseph R Ferrari, seorang profesor psikologi dari DePaul University, berusaha mendalami kebiasaan menunda atau diistilahkan sebagai gejala prokrastinasi ini.

Ia menemukan, 20 persen dari populasi orang dewasa memang memiliki kebiasaan menunda. Angka ini lebih tinggi daripada angka depresi, fobia, gangguan panik, dan bahkan ketergantungan terhadap alkohol.

Namun, di mata masyarakat, mereka yang memiliki kebiasaan menunda ini tidak dianggap aneh. Bahkan, mungkin kita yang dianggap aneh bila membahasnya. Jadi, apa yang dimaksud dengan prokrastinasi?

Prokastinasi bukanlah penundaan sesaat suatu pembicaraan karena kebetulan orang yang diajak bicara tidak ada, melainkan penundaan yang dilakukan secara sengaja. Individu yang bersangkutan menyadari tindakan itu harus dilakukan segera.

Terkadang, kita bisa mengategorikan kebiasaan menunda ini sebagai tindakan yang irasional. Mengapa orang itu harus menunda sesuatu sampai menit terakhir atau bahkan melanggar tenggat?

Padahal, tindakan tersebut tidak hanya berdampak pada orang lain, tetapi juga organisasinya dan kemudian memunculkan rasa bersalah yang lebih dalam lagi?

Terkait hal tersebut, Profesor Ferrari mengategorikan prokrastinator ke dalam tiga tipe. Pertama, thrill seeker yang memang suka dengan keadaan mepet dan tegang.

Kedua adalah avoiders, yaitu mereka yang menunda karena menghindari penilaian orang.

Ketiga, indecisive yang memiliki kesulitan untuk mengambil keputusan-keputusan rumit dan berpotensi menimbulkan konflik.

Ada beberapa hal yang harus kita ingat mengenai gejala menunda ini. Pertama, prokrastinasi sama sekali tidak berkaitan dengan time management.

Jadi, kalau kita menasihati seorang prokrastinator untuk just do it, itu sama saja dengan menyuruh orang yang depresi untuk cheer up.

Prokrastinasi ini juga bukan sekadar masalah kemalasan atau keengganan untuk bergerak karena masalahnya lebih dalam daripada sekadar bertindak atau tidak.

Menurut para psikolog, masalah prokrastinasi lebih mengacu pada masalah mekanisme coping.

Prokrastinator merasa tugas tersebut memberikan beban mental yang sangat besar baginya sehingga ia memutuskan untuk menundanya. Untuk melupakan tugas tersebut, dia bahkan lebih memilih untuk melakukan hal lain yang bisa memperbaiki mood.

Padahal, penundaan tidak membuat tugas tersebut hilang. Tugas itu tetap menunggu untuk ditindaklanjutkan dan pada akhirnya membuat tingkat stres semakin besar. Bukan rahasia lagi, masalah yang ditunda semakin lama akan menumpuk dan bagaikan jalinan benang kusut yang semakin susah untuk diurai.

Dalam satu kasus, prokrastinasi bisa mendatangkan bahaya jika sudah menjadi kebiasaan individu. Sayangnya, proses tumbuh dan melekatnya sering tidak disadari oleh individu yang bersangkutan.

Kita tidak menyadari tahap-tahap awal pembentukannya, tahu-tahu sudah menjadi bagian dari diri kita.

Berita baiknya adalah karena kebiasaan itu merupakan hasil dari sebuah proses pembentukan, artinya ia pun dapat dihilangkan.

Kita dapat menggunakan rasio untuk mengendalikannya. Kita dapat berlatih untuk mengatur emosi agar prokrastinasi tidak lagi memiliki kekuatan besar untuk mengatur tindakan diri dan membuat kita terpuruk dalam stres yang lebih besar.

Emotional regulation

Sebenarnya, setiap orang yang sehat dan dewasa memang harus terampil mengatur emosinya.

Otak kita bekerja seperti sebuah sistem navigasi. Bila tujuan tidak tergambar dengan jelas, sistemnya pun bekerja ekstra keras untuk mencapainya.

Bayangkan, ia harus melalui perjalanan yang berputar-putar pada beberapa tujuan semu sebelum akhirnya sampai ke tujuan yang sebenarnya.

Jadi, kita perlu membiasakan diri untuk memulai hari dengan memprioritaskan hal-hal yang sangat penting untuk dilakukan. Tanpa prioritas, otak kita akan tersesat.

Nah, seorang prokrastinator justru melihatnya dengan terbalik. Ia hanya melihat hutannya, tanpa bisa melihat pohonnya.

Otak kita memiliki mekanisme fight or flight. Mekanisme ini merupakan reaksi alamiah yang dimiliki manusia bila ada bahaya yang mengancam.

Dalam kegiatan emotional regulation, kita perlu membantu otak untuk memperjelas musuh yang mengancam ini.

Dalam situasi yang kompleks, apalagi dalam kasus prokrastinasi seperti ini, “musuh” emosinya tidak jelas terlihat.

Untuk itu, kita perlu memberi nama pada rasa atau emosi yang kita khawatirkan dan membuat kita melakukan penundaan tersebut.

Misalnya, takut dianggap bodoh, takut salah, atau juga takut kalah. Bila individu dapat memahami dengan jelas apa sumber ketakutannya, otak dapat menyusun strategi mekanisme pertahanan dengan lebih fokus dan terarah.

Kejelasan seperti itu otomatis membuat kerja otak lebih ringan sehingga dengan sendirinya stres individu akan berkurang.

Kita juga perlu mendera diri kita untuk melihat kenyataan. Seorang prokrastinator sering enggan melihat proses kerja atau tugas yang perlu ia kerjakan karena khawatir keterlibatan yang mendalam akan membawa masalah yang lebih besar lagi.

Bila ingin mendewasakan diri, kita harus belajar menghadapi kenyataan yang ada, salah satunya dengan turun meninjau lapangan secara langsung.

Dengan begitu, kita benar-benar tahu dengan pasti apa yang dihadapi ketimbang hanya meraba-raba di dalam gelap.

Semua ini tentunya membutuhkan disiplin dan komitmen yang perlu dilakukan secara konsisten untuk merekonstruksi ulang kebiasaan yang sudah menetap ini. Karenanya, jangan lagi menunda.

https://money.kompas.com/read/2021/08/21/080300726/menunda-apakah-disengaja-

Bagikan artikel ini melalui
Oke