Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Riset: Meski Pendapatan Turun, Intensitas Merokok Tak Berkurang Saat Pandemi

JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Pusat Kajian Jaminan Sosial (PKJS) Universitas Indonesia menemukan, intensitas merokok tidak berkurang selama pandemi Covid-19.

Peneliti PKJS UI Irfani Fithria mengatakan, intensitas merokok bahkan tidak berkurang di kalangan keluarga berpendapatan rendah, yang notabene terdampak pandemi Covid-19.

Secara umum konsumsi harian rata-rata rokok tidak berbeda antara pandemi dan sebelum pandemi.

"Pola konsumsi rokok pada rumah tangga pendapatan rendah meski kondisi ekonomi tidak cukup, mereka tetap merokok dengan intensitas relatif sama," kata Irfani dalam webinar Diseminasi Hasil Penelitian, Selasa (21/9/2021).

Hasil penelitian menemukan, 50,8 persen laki-laki dewasa atau suami responden yang mengikuti survei mengaku beralih (shifting) ke rokok dengan harga yang lebih murah alih-alih mengurangi intensitas.

Hal ini dipengaruhi oleh turunnya pendapatan selama pandemi.

Sementara itu, 23 persen lainnya mengaku mengurangi kebiasaan merokok karena pendapatan berkurang.

Irfani berpendapat, pengurangan intensitas ini terjadi karena ada peringatan bahwa perokok aktif memperparah keadaan jika terserang Covid-19.

Rumah tangga berpendapatan rendah di sini dikategorikan sebagai rumah tangga yang berpenghasilan sampai Rp 5 juta.

Sementara berpendapatan tinggi dikategorikan memiliki penghasilan Rp 10-20 juta per bulan.

"Padahal kalau kita tanyakan apakah kondisi keuangan selama pandemi cukup? Mayoritas (para istri yang disurvei menjawab) tidak cukup. Terlebih mereka beralih ke harga rokok yang jauh lebih murah," ucap Irfani.

Irfani menjelaskan, pemberlakuan Work From Home (WFH) membuat keluarga dengan suami perokok aktif di dalamnya lebih rentan.

Responden yang disurveinya menyebut, 31,71 persen suami sering merokok di dekat anggota keluarga. Sebanyak 44,29 persen responden menjawab kadang-kadang, dan 24,01 persen menjawab tidak pernah.

Padahal, kelompok responden yang mengakui suaminya merokok di dekat anggota keluarga memiliki balita hingga lansia di dalam rumah yang sama.

Sebanyak 41,7 persen responden mengaku memiliki balita di rumah, 19,8 persen memiliki lansia, dan 4,5 persen sedang hamil.

"Mayoritas responden merasa kebiasaan merokok suaminya, apalagi jika dilakukan di rumah, dapat mempengaruhi kesehatan keluarga dan anak. Kualitas udara di dalam rumah juga tercemar, ada bau tidak sedap, merasa lebih lembab, dan ada hal lainnya yang tidak nyaman," ucap Irfani.

Sebanyak, 63 responden ini merasa pengeluaran rokok pasangannya cukup besar sehingga mengurangi jatah kebutuhan lain.

Akibatnya, standar hidup keluarga tersebut menurun dan sulit mengatur keuangan, terutama saat pandemi Covid-19.

Mayoritas responden juga merasa tidak tenang dan tidak bahagia dengan kebiasaan merokok pasangan.

Mereka khawatir anak-anaknya mengikuti jejak orang tua merokok. Sebab tercatat, 6,14 persen anak dari responden adalah perokok aktif.

Ada sekitar 72 persen anak responden merokok karena meniru kebiasaan orang tua. Kemudian sisanya karena pergaulan.

"Ini menguatkan adanya apa yang disebut crowding out, pengeluaran membeli rokok dapat mengurangi jatah kebutuhan lain, tentunya akan bisa menghilangkan harapan dan peluang untuk mendapat ekonomi yang layak dengan standar ekonomi lebih baik," pungkas Irfani.

Sebagai informasi, survei diikuti oleh 779 responden perempuan yang memiliki suami perokok aktif.

Metode sampling yang digunakan adalah metode purposive non-probability sampling dengan penyebaran kuisioner melalui survei online dari 20 Agustus - 6 September 2021.

https://money.kompas.com/read/2021/09/21/121457726/riset-meski-pendapatan-turun-intensitas-merokok-tak-berkurang-saat-pandemi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke