Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Senja Kala BUMN Kita

Kabar buruk kinerja Badan Usaha Milik Negara memang datang susul-menyusul, seperti berita longsor dan banjir di musim hujan. Beberapa bulan lalu, di depan Komisi VI DPR, Menteri BUMN Erick Thohir mengungkapkan bahwa utang PT PLN (Persero) mencapai Rp 500 triliun.

Sebelumnya, dari maskapai penerbangan nasional Garuda Indonesia juga beredar rekaman terkait rencana perusahaan itu menawarkan program pensiun dini kepada karyawan dan rencana memangkas jumlah armada yang beredar di publik. Garuda juga dikabarkan memiliki utang sebesar Rp 70 triliun.

Perusahaan lain setali tiga uang. Laporan keuangan tahunan yang dirilis perusahaan konstruksi pelat merah, BUMN-BUMN Karya menunjukkan tren rugi. Dari Waskita Karya, Adhi Karya, Wijaya Karya, semua lesu darah. Dan banyak lagi.

Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah ini semata-mata dampak pandemi yang menghentak dunia, karena salah pengelolaan, asumsi perekonomian yang tidak sesuai, atau ada tren lain? Pandemi tentu saja memiliki kontribusi, tetapi bukan satu-satunya. Masalahnya, sebelum pandemi datang mengguntur, kisah kinerja buruk BUMN kita sudah jamak diketahui. Ini bukan hal baru. Menteri Erick Thohir hanya mewarisi carut marut. Ia datang untuk mencuci piring belaka.

Apa yang salah

Pengalaman empirik yang saya miliki selaku pihak swasta, bergandeng tangan dengan BUMN, menunjukkan bahwa memang serenceng masalah internal yang azasi dalam tubuh BUMN, harus diperbaiki secara fundamental dan sistematis.

Pertama, jajaran direksi yang memegang BUMN kita, memiliki persepsi bahwa apa pun yang terjadi dengan lembaga yang mereka kelola, toh negara ikut bertanggung jawab. Suntikan dana setiap saat bisa dikucurkan demi menjaga harga diri bangsa. Persepsi inilah yang menjadi panduan kerja pengelola BUMN kita. Rasa superior sebagai pebisnis pelat merah, membuat mereka memandang mitra bisnisnya (swasta) hanya pelengkap penderita. Ya, BUMN.

Kedua, dengan perasaan superior itulah mengapa banyak BUMN kita tidak honoring the contract. Bermitra dengan BUMN di negeri ini, adalah keribetan dan keributan tersendiri. Kontrak yang menjadi alas hak dan kewajiban dalam berbisnis, bisa dengan mudah diketepikan oleh BUMN dengan berbagai dalih.

Mari kita lihat sejumlah kasus. Bila BUMN tidak menjalankan kewajibannya sesuai kontrak dan harus membayar denda, maka BUMN tersebut bukannya patuh dan mendiskusikannya, malah justru melaporkan mitra bisnisnya ke aparat hukum dengan dalih pencemaran nama baik. Ketakmampuan memenuhi kontrak didalihkan dengan kata provokatif: “Negara dizolimi oleh swasta.” Ya, BUMN.

Ketiga, rasa superior tadi membangun sikap hendak dilayani, bukan melayani. BUMN kita tidak memiliki courtesy. Sangat jamak kita dengar, partner bisnis (swasta) memohon pemenuhan hak-hak mereka sesuai yang diperjanjikan. Namun, BUMN kita bukannya berniat menunaikan kewajiban kontraknya, tetapi permohonan mitra bisnisnya sama sekali tidak dihiraukan. Surat bisa tidak dijawab hingga setahun atau dua tahun. Sengaja digantung sedemikian rupa agar tidak ada diskusi tentang pemenuhan kewajiban BUMN.

Percaya atau tidak, mengambil keputusan untuk suatu hal yang menjadi kewajiban BUMN sesuai kontrak, bisa berpuluh-puluh kali rapay, dan tetap belum ada keputusan. Selalu membangun alibi, keputusan harus kolektif kolegial. Ya, BUMN.

Yang lebih menarik, tatkala pihak swasta menuntut haknya sesuai jalur hukum, dengan enteng BUMN mengingatkan, boleh saja menempuh jalur hukum, tetapi tidak boleh lagi mendapatkan kerjaan di BUMN tersebut. Karena, katanya, ada aturan internal yang mengatur bahwa semua mitra kerja tidak boleh memiliki dispute dengan BUMN. Maka, daripada masuk dalam daftar hitam, hak-hak mitra kerja BUMN dilepaskan begitu saja. Ya, BUMN.

Dengan rasa superior tadi, saya pernah melihat draf peraturan direksi sebuah BUMN, yang sungguh-sungguh bertentangan dengan peraturan pemerintah (PP). Bila ada yang menyoal, BUMN dengan gampang menyilahkan pihak yang tidak setuju, untuk membawanya ke Mahkamah Agung untuk diuji. BUMN lupa, berperkara di pengadilan sangat butuh waktu dan energi ekstra. Dalam konteks seperti ini, BUMN sebenarnya sudah seharusnya faham bahwa peraturan direksi tidak boleh bertentangan dengan peraturan pemerintah (PP). Ya, BUMN.

Daftar praktek bisnis yang tak professional ini, masih bisa ditarik labih panjang. Yang pasti, status pebisnis pelat merah adalah hulu dari segala ihwal yang melilit BUMN kita sekarang. Rasa seperior itulah yang tidak melahirkan etos kerja yang dibutuhkan dalam dunia usaha, yang penuh inisiatif, keputusan dan tindakan cepat, fair play, honoring the contract, inovasi, dan adaptasi dengan perkembangan teknologi, dan sebagainya. Simpul kata, corporate culture yang ada di BUMN kita harus diubah total.

Mencari solusi

Pemerintah harus sangat selektif menalangi BUMN yang dililit utang. Jika prospeknya tidak menjanjikan ke depan, jauh lebih baik dilikuidasi saja. Apalagi, jika BUMN tersebut memiliki rekor panjang yang membebani keuangan negara.

Sebaiknya pemerintah, dalam pengangkatan dewan komisaris, selektif dan professional. Boleh saja mengangkat siapa pun, tetapi begitu diangkat sebagai komisaris BUMN, pemerintah harus membekali mereka dengan pengetahuan yang berkaitan dengan misi intitusi tempat mereka jadi komisaris.

Pengetahuan technical how mutlak dimiliki oleh para komisaris BUMN. Dewan komisaris adalah pengawas, tetapi bagaimana mengawasi bila pengawas tidak memahami apa yang harus diawasi. Tanpa pengetahuan yang dalam dan detail, jajaran direksi bisa dengan mudah mempecundangi para komisaris.

Langkah berikutnya, sebaiknya sesegera mungkin mengaudit biaya perjalanan para karyawan BUMN kita. Saya yakin, salah satu beban BUMN kita, adalah biaya perjalanan para pengurusnya. Fakta yang ada menunjukkan, seorang anggota direksi, misalnya, datang ke sebuah daerah, maka semua jajaran pejabat di daerah atau kawasan tersebut, berbondong-bondong datang, tanpa tujuan yang jelas. Mereka hanya datang setor muka kepada pejabat BUMN yang datang itu.

Belakangan ini, dengan isu mafia tanah yang kian berkecambah, serangkaian kejadian di berbagai tempat, tanah dan bangunan BUMN, semisal PLN, diklaim orang, bahkan sudah dimenangkan di pengadilan. BUMN kita terkesan tidak serius mengurusi miliknya yang hendak diambil orang lain. Mereka hanya mengandalkan jaksa sebagai advokat negara yang bekerja untuk mereka.

Para jaksa yang menangani perkara-perkara tersebut acapkali bingung sendiri, karena pihak yang dibela ogah-ogahan terhadap propertinya sendiri. Tidak menunjukkan keseriusan dan fokus untu pro-aktif. Ya, itu tadi, ingin dilayani.

Saya juga membayangkan, ada investigasi serius dilakukan terhadap BUMN yang bermasalah tersebut, terutama yang berkaitan dengan penyalahgunaan keuangan. Kita harus melihat masalahnya mulai tahun berapa.

Setelah itu, menteri yang menangani BUMN ketika masalah mulai muncul, harus dimintai pertanggungjawaban. Apalagi, bila menteri tersebut acapkali mengiklankan diri di media massa bersama BUMN yang bermasalah, seolah BUMN tersebut sukses gilang gemilang.

Ini yang disebut kebohongan publik (public deception). Caranya gampang, kumpulkan semua iklan yang berkaitan dengan menteri dan BUMN, lalu periksa BUMN yang bersangkutan. Bila bermasalah, menterinya juga mutlak dimintai pertanggungjawaban hukum. Ini baru fair.

https://money.kompas.com/read/2021/10/20/112021826/senja-kala-bumn-kita

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke