JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi mengatakan, energi baru terbarukan (EBT) pengganti PLTU batu bara harus lebih murah.
Sebab berdasarkan survei yang dilakukan YLKI, 79,31 persen masyarakat enggan beralih ke listrik dengan energi terbarukan jika harganya mahal.
Hanya sekitar 20-21 persen yang mau beralih ke energi terbarukan meski harganya lebih mahal dibanding PLTU batu bara.
"Kesediaan itu akan menurun ketika harganya mahal. yang mau pindah hanya 20 persen, yang tidak mau berpindah itu 80 persen. Jadi faktor harga menjadi penting ketika masyarakat dihadapkan pada pilihan energi EBT dengan fosil," kata Tulus dalam Kompas Talks, Kamis (21/10/2021).
Jika tidak dihadapkan pada harga, ada sekitar 72,41 persen masyarakat yang ingin beralih. Mereka beranggapan, energi fosil berdampak sangat buruk terhadap lingkungan secara jangka menengah hingga panjang.
Hanya sekitar 20,69 persen yang enggan pindah. Di sisi lain, listrik masih menjadi 5 pengaduan terbesar yang diterima YLKI.
"Permasalahannya adalah dominan adalah masalah sengketa dengan PLN, tapi sejak pandemi di awal 2020 ada tagihan melonjak melambung karena pemakaian cukup tinggi dan mereka tidak sadar harganya melambung," ucap dia.
Untuk itu, kata Tulus, pemerintah perlu mempertimbangkan masalah harga sebelum mengganti EBT secara penuh.
Menurut UU Energi, produk listrik yang disalurkan kepada masyarakat harus meliputi aspek kualitas, aspek afordabilitas, dan aspek aksesibilitas.
Aspek afordabilitas sendiri mengacu pada harga yang terjangkau oleh semua kelompok masyarakat, khususnya masyarakat rentan. Hal ini diatur dalam pasal 7 ayat 1 UU tentang Energi.
"Aspek aksesibilitas, aspek afordabilitas, dan aspek kualitas. Ketiganya harus hadir dan juga aspek pemerataan. Mendapatkan produk energi adalah hak asasi masyarakat yang wajib disediakan oleh negara," pungkas Tulus.
https://money.kompas.com/read/2021/10/21/195037026/ykli-kalau-mahal-masyarakat-enggan-pakai-ebt