Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Belajar dari Blunder Fatal Iklan Parodi Gojek Somplak

PERUSAHAAN Gojek yang tersohor melakukan blunder fatal marketing dengan menampilkan iklan parodi yang mengasosiasikan brand besar dan terpercaya harian Kompas. Iklan tersebut tertulis: “ SOMPLAK” dengan tambahan tagline Amanat Ati Ampela Rakyat.

Melihat visual tampilan iklan tersebut, tidak butuh IQ tinggi dan tak perlu naik Gojek untuk bertanya kepada pakar bahasa untuk tahu ke mana tembakan iklan tersebut dan brand apa yang dibidik.

Kita sangat mudah menerkanya. Pertanyaannya, mungkinkah perusahaan yang distempel decacorn tersebut, yang bahkan berhasil mengangkat pendirinya menjadi menteri pendidikan, tidak merekrut tim marketing mumpuni yang bukan sekadar paham marketing tapi juga etika marketing?

Menurut saya, siapa saja yang menjadi bagian tim marketing tersebut, menyiratkan sesungguhnya tidak memiliki selera humor berkelas dan bukan pula pemasar sejati.

Bahkan, mungkin tidak sadar iklan tersebut akan menggerus branding Gojek karena terlalu dangkal dan naif.

Produk iklan, yang bolehlah kita katakan terlalu hijau dalam kreativitas, jangan-jangan diproduksi terburu-buru tanpa pertimbangan matang sekaligus tidak punya alternatif lain dan sibuk “burning money”?

Sekadar menghabiskan ongkos pemasaran perusahaan agar dianggap sudah bekerja. Padahal, kalau kita analisis lebih jauh, tindakan ini serupa Brutus yang menikam temannya sendiri, di mana kita tahu, harian Kompas dan grupnya juga memiliki andil besar mengenalkan brand lokal ride hailing tersebut dengan pemberitaannya.

Konsep yang dikenalkan Hermawan dalam rumusan marketingnya yaitu positioning, differentation, dan branding ( PDB ) bisa kita bedah tanpa perlu menjelimet.

Intinya, setiap perusahaan itu perlu membangun branding yang differentiation alias berbeda (unik). Benar-benar otentik.

Dalam artian, ketika orang melihat, membaca dan mendengar saja, asosiasi brand perusahaan akan melekat di benak pelanggan. Pelanggan tergerak untuk menggunakan bahkan merekomendasikannya.

Itu bukanlah hal yang enteng dibangun. Ada strategi khusus dalam mewujudkan reputasi terpercaya.

Perlu step by step terukur, jangka waktu yang panjang dan tidak jarang membutuhkan kapital besar agar menarik minat konsumen. Bukan sekadar narasi iklan gimmick agar menarik kontroversi publik.

Kabar baiknya, jika berhasil memformulasikan reputasi baik, inilah yang menjadi kunci mengapa brand ternama memiliki advokat (pembela merek) fanatik. Kita bisa menyoroti bagaimana merek Apple diasosiasikan sebagai inovasi teknologi yang benar-benar berbeda dengan produk lain sehingga memiliki jutaan fanboy.

Tesla dengan image kendaraan listrik revolusioner. Media Tempo dengan investigasinya. Program televisi Mata Najwa dengan wawancara yang tajam dan tanpa tedeng aling-aling menguliti narasumber, dan tentu saja brand Kompas sendiri memiliki reputasi sebagai referensi media terpercaya yang namanya diberikan oleh Si Bung Besar, Soekarno!

Andai saja iklan itu tak segera dicabut, sangat terbuka kemungkinan brand Gojek akan terdegradasi, yang ujung-ujungnya tidak dipercaya lagi oleh pengguna. Boleh jadi, akan ada gerakan uninstall aplikasi tersebut.

Kita tahu, pembaca media Kompas adalah pembaca dari semua kalangan mulai junior hingga senior, ditambah lagi sebagain besar mereka adalah kelas profesional.

Bisa dikatakan, saat ini para pembaca utama Kompas adalah kelompok orang yang menduduki posisi manajerial strategis di berbagai tempat kerjanya, di mana tingkat pendidikan dan pengetahuannya adalah warga melek informasi.

Boleh jadi, puluhan ribu keluarga besar media tersebut akan merasa rumahnya diledek, di mana ia hidup dan bekerja.

Besar kemungkinan, para jurnalis lapangan jika sedang membutuhkan transportasi akan beralih kepada saingan sekaligus berhenti memberitakan ride hailing tersebut.

Blunder fatal iklan Gojek bukan perihal sepele dan tak bisa diacuhkan saja bagi pucuk pimpinan perusahaan.

Andai saja manajemen Gojek tidak segera meminta maaf dan menganulir iklan tersebut, kita akan menyaksikan, bukan saja brand akan rontok di mata pengguna tapi juga menjatuhkan nilai saham perusahaan. 

Pada akhirnya, kita akan melihat perusahaan yang digembar-gemborkan menjadi pemimpin pasar Asia bisa saja jatuh terjerembab hanya karena kesalahan narasi iklan tim marketing yang terkesan masih hijau. Janganlah menjadi “Hulk”  hijau penghancur reputasi brand lain atas nama kreativitas.

Mungkin, pesan investor Warren Buffet ini perlu dibaca dan merasuk dalam pikiran tim pemasar si hijau atau bagai siapa saja yang berkecimpung dalam dunia pemasaran: price is what you pay , value is what you get! (Berry Manurung, hobi menulis di beberapa media massa dan penulis buku)

https://money.kompas.com/read/2021/11/01/083440626/belajar-dari-blunder-fatal-iklan-parodi-gojek-somplak

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke