Teten menjelaskan, selama ini data statistik menunjukkan hampir 99,9 persen, pelaku usaha di Indonesia merupakan pelaku UMKM.
Kontribusi UMKM di sektor UMKM kepada PDB sebesar 61 persen, begitu juga di sektor investasi yang hampir sama angkanya dan yang terpenting adalah penyerapan tenaga kerja 97 persen terserap di UMKM.
“Kita ketahui bersama amanat PP 7 Tahun 2021, UMKM dalam melakukan kegiatan usahanya harus memiliki Perizinan Berusaha namun dari 64,2 juta UMKM, 99,62 persen adalah usaha mikro yang sebagian besar berada di sektor informal, sehingga perlu didorong untuk bertranformasi menjadi formal,” kata Teten dalam siaran resminya, dikutip Kompas.com, Kamis (4/11/2021).
Pemerintah pun kemudian menerbitkan aturan turunan UU Cipta Kerja yang diyakini bisa mendongkrak peringkat Easy of Doing Business (EoDB) Indonesia ke posisi 40 pada 2024. Namun implementasi aturan tersebut masih belum bisa teraplikasikan dengan baik.
Ombudsman menginformasikan terkait penerimaan sejumlah keluhan di tingkat daerah terkait sistem perizinan berusaha berbasis risiko ini.
Masalah yang dikeluhkan di antaranya belum terintegrasinya sistem yang terdapat pada suatu Kementerian yang merupakan rangkaian proses perizinan dan ternyata juga tidak dapat diakses oleh pemerintah daerah serta ketidaksiapan OSS-RBA mengindikasikan ketidakpastian urusan perizinan di seluruh wilayah NKRI yang bisa merugikan investasi nasional.
Selain itu isu sertifikasi produk yang viral akhir-akhir ini yakni ancaman denda Rp 4 miliar bagi UMKM yang tidak memiliki Izin dari BPOM. Padahal hal ini telah diklarifikasi oleh BPOM dalam rangka mendukung kemudahan berusaha, untuk kegiatan Usaha Mikro dan Kecil mengedepankan pembinaan.
https://money.kompas.com/read/2021/11/04/102900326/kemenkop-ukm-percepat-penerbitan-izin-berusaha-dan-sertifikasi-produk-umkm