Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Anak Buah Luhut Jelaskan Kronologi Keterkaitan Bosnya dengan Bisnis PCR PT GSI

Dalam tulisan yang dibagikan juru bicara Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Jodi Mahardi, Senin (7/11/20210), Seto menjelaskan panjang lebar kronologi keterlibatan pimpinannya dalam penyediaan tes Covid-19 tersebut.

Dalam tulisan yang sebanyak 23 poin itu, Seto menyebutkan bahwa hal itu bermula pada Maret 2020 ketika awal Covid-19 menyerang Indonesia. Dirinya baru diangkat sebagai komisaris BNI, mendapatkan fasilitas untuk tes PCR dari BNI. Bersama istrinya, Seto menuju salah satu rumah sakit di Jakarta untuk melakukan tes PCR ini.

"Belakangan saya ketahui, biayanya cukup mahal waktu itu, kalau tidak salah mencapai kisaran Rp 5-7 juta untuk satu orang. Hasilnya dijanjikan 3 hari, namun setelah 5 hari baru keluar. Alhamdulillah negatif hasilnya," sebut Deputi Koordinasi Bidang Investasi dan Pertambangan Kemenko Marves ini.

Kejadian itu membuat dirinya berpikir, bila kapasitas tes PCR ini terbatas dan orang harus menunggu berhari-hari sebelum tahu hasil tes mereka, hal ini akan membuat keteteran dalam menghadapi pandemi Covid-19 ini.  Dia pun langsung melapor ke Luhut mengenai situasi tersebut.

"Saya sampaikan, kita harus bantu soal tes PCR ini. Kalau mengandalkan anggaran pemerintah akan butuh waktu lama untuk bisa menambah kapasitas PCR ini, dari proses penganggaran, tender, sampai kemudian sampai pembayaran. Saya cukup yakin soal ini berdasarkan pengalaman 5 tahun lebih di pemerintahan," ujar Seto.

Luhut pun lanjut dia, akhirnya memerintahkan dirinya untuk mencari alat PCR ini. "Pak Luhut menyampaikan kita donasikan saja alat PCR ini ke Fakultas Kedokteran di beberapa kampus karena waktu itu mereka lah yang pasti memiliki skill untuk menjalankan tes PCR ini dan ke depannya bisa digunakan untuk penelitian yang lain," sebutnya.

"'Soal uang, nanti kita sumbang saja To', perintah Pak Luhut kepada saya pada waktu itu. Saya tahu kemudian Pak Luhut kontak teman-teman beliau untuk bersama-sama membantu membeli alat PCR ini," tambah Seto.

Dari situ, proses pencarian PCR dimula. Seto mengaku mengontak Dekan FK UI, Unpad, UGM, Unair, Undip, Udayana, dan USU.

"Saya mengirimkan WA kepada mereka dan menjelaskan maksud dan tujuan saya untuk mendonasikan alat PCR ini. Beberapa ada yang merespon dengan cepat, namun beberapa ada yang tidak merespons sama sekali, mungkin dianggapnya prank kali ya," katanya.

Menurut Seto, para dekan tersebut kemudian mengenalkan dirinya kepada PIC masing-masing. "Di sinilah kemudian saya mengenal Dokter Anis yang menjadi Wakil Dekan FKUI, Dokter Lia dari Unpad, Dokter Happy dari Undip, Profesor Inge dari Institute of Tropical Disease Unair, dr. Lia dari USU (ada dua Lia, satu dari USU, satu lagi dari Unpad), dan Prof. Ova dari UGM," ujar dia.

Dari mereka, Seto mendapatkan informasi lebih detail mengenai tes PCR ini, mulai dari alat-alat yang diperlukan hingga rekomendasi merek yang bagus. Berdasarkan diskusi dengan mereka, waktu itu diputuskan akan membeli alat PCR dari Roche.

"Order untuk alat PCR Roche kita lakukan di akhir Mret 2020. Dalam perjalanannya, saya kemudian bertemu dengan Pak Budi Sadikin, Wamen BUMN pada saat itu. Beliau rupanya juga diperintahkan Pak Erick untuk mencari alat PCR ini guna rumah sakit-rumah sakit BUMN. Jadi dibandingkan nanti kita rebutan alat PCR, saya menawarkan ke Pak Budi supaya kita pesan bareng-bareng ke Roche, sehingga ordernya bisa lebih besar dan harapannya tentu saja kita bisa nawar harga yang lebih baik," jelas dia.

Pada akhir April 2020 lanjut Seto, alat-alat PCR ini mulai datang. Pihaknya pun mendistribusikan ke fakultas-fakultas kedokteran yang telah dikontak tersebut.

"Itupun berkat lobi sana sini dari Kemenlu, Kementerian BUMN, dan berbagai pihak lain yang dilakukan untuk meminta Roche agar barang yang sudah kita pesan tidak direbut negara lain. Karena kita mendengar ada satu negara Timur Tengah yang sudah menyediakan 100 juta dollar AS dan bersedia membayar cash didepan untuk membeli alat-alat PCR yang tersedia di pasar saat itu," sebut Seto.

Setelah alat datang tulis dia, bukan berarti barang bisa langsung digunakan, karena harus menunggu reagen PCR-nya datang. Baru awal Mei, reagen datang. Namun ternyata hal itu belum selesai, karena lab kemudian menyampaikan bahwa mereka butuh VTM (Viral Transport Medium), yakni alat untuk menampung hasil swab yang akan mendeaktifkan virusnya sebelum kemudian bisa dilakukan ekstraksi RNA.

"Long story short, berbagai perintilan barang itu bisa kita dapatkan dan lab-lab di berbagai fakultas kedokteran itu bisa mulai melakukan tes. Namun karena proses ekstraksinya masih manual, masing-masing lab paling hanya bisa melakukan 100-200 tes per hari. Jauh dari target yang kita minta yaitu 700-1.000 tes per hari," paparnya.

Masalah kemudian muncul karena alat ekstraksi RNA yang dipesan dari Roche ternyata tidak bisa didapatkan karena suplai barangnya sangat terbatas dan diperebutkan oleh negara-negara lain juga.

"Kita waktu itu memutuskan untuk cari merek lain. Setelah tanya-tanya dari masing-masing lab, dapatlah rekomendasi merek Qiagen dari Jerman. Kita pesan barangnya, namun ternyata mereka tidak bisa memenuhi reagennya. Alat ekstraksi RNA ini memang menggunakan closed system, artinya hanya bisa digunakan dengan reagen yang diproduksi mereka sendiri," kata Seto.

Menurut dia, selama beberapa bulan, lab-lab itu masih menggunakan ekstraksi RNA secara manual untuk tes PCRnya. "Saya bersama beberapa teman akhirnya putar otak ke Tiongkok, kita carilah alat ekstraksi RNA dan reagennya. Setelah tanya sana sini, dapatlah satu perusahaan yang merupakan afiliasi salah satu universitas disana. Jadi semacam badan usahanya yang bergerak di bidang bioteknologi," ungkapnya.

Seto menyebutkan, alat ekstraksi RNA produk perusahaan China itu harganya lebih murah, kira-kira 1/10 dari harga alat ekstraksi yang diproduksi Qiagen, meskipun kapasitasnya 1/3.

"Begitu juga harga reagen untuk ekstraksi RNAnya. Yang lebih menarik, mereka juga memproduksi reagen untuk PCR yang bisa digunakan baik dari LC 96 dan LC480 (kedua alat ini adalah open system). Dengan suplai dari Tiongkok ini, kita bisa memberikan donasi lebih banyak alat PCR dan ekstraksi RNA kepada lab-lab kampus itu. Awal Juni, barang-barang ini mulai datang ke Indonesia," katanya.

Sebelum memutuskan beli sebut dia, pihaknya meminta FKUI untuk melakukan pengujian terhadap barang-barang ini. "Hasilnya di luar dugaan kami cukup baik. Alat ekstraksi RNAnya mudah digunakan, dan bisa melakukan ekstraksi dalam waktu 1 jam. Reagen PCRnya pun ternyata memiliki sensitivitas yang lebih baik dibandingkan yang beredar di pasaran pada waktu itu," sebut Seto.

Dengan suplai baru dari China tersebut, dari awalnya akan memberikan alat PCR dan alat ekstraksi RNA beserta reagen-reagennya untuk 10.000 tes buat masing-masing lab sesuai denan kecukupan donasi yang Luhut dan teman-temannya, pihaknya akhirnya bisa memberikan reagen yang lebih banyak.

"Pak Luhut kemudian juga menerima telepon dari teman-teman beliau di Tiongkok yang mau menyumbang untuk penanganan Covid-19 di Indonesia, sehingga kita bisa memperoleh lebih banyak reagen. Satu lab saat itu saya kira bisa menerima 30.000 sampai 50.000 reagen PCR dan ekstraksi RNA untuk melakukan tes ini. Setelahnya, kami minta lab-lab tersebut harus bisa mandiri. Kita tidak bisa mensupport seterusnya karena donasi yang terbatas," papar dia.

Lahirnya GSI

Seto mengaku bercerita panjang lebar mengenai hal itu karena ingin menginformasikan bagaimana susahnya situasi dan keterbatasan tes PCR saat itu. Kemudian banyak pihak yang bergotong royong untuk membantu pemerintah meningkatkan kapasitas PCR saat itu. Misalnya Kementerian BUMN, membeli cukup banyak alat PCR saat itu.

"Lalu Pak Luhut dan teman-temannya juga memberikan donasi yang nilainya cukup besar untuk meningkatkan kapasitas PCR di banyak fakultas kedokteran di Indonesia, dan saya yakin banyak pihak lain yang juga berusaha keras untuk membantu dengan berbagai cara supaya kapasitas tes Covid-19 melalui PCR di Indonesia pada waktu itu bisa ditingkatkan. Kami tidak ada memikirkan untung-rugi waktu itu," tegas dia.

Seto memaparkan, dalam perjalanan mencari alat PCR untuk donasi ke para lab di kampus-kampus saat itu, salah satu teman Luhut mengajak untuk ikut berpartisipasi dalam pendirian lab tes Covid-19 yang memiliki kapasitas tinggi (5.000 tes per hari) dan bisa melakukan genome sequencing (belakangan ini kemudian sangat berguna untuk mendeteksi varian delta dan layanan ini diberikan gratis kepada Kemenkes untuk mendeteksi varian baru).

"Usul saya ke Pak Luhut, 'kita ikut berpartisipasi untuk pendirian lab ini'. Maka tanpa pikir panjang, Pak Luhut menyampaikan ke saya, 'kita bantu lah to mereka ini'. Akhirnya melalui Toba Sejahtra (yang memiliki dana untuk kebutuhan ini), Pak Luhut ikut mendukung pendirian lab tersebut. Maka lahirlah GSI, setelah itu, kami tidak monitor lagi mengenai GSI ini," kata Seto.

Kewajiban tes PCR

Dalam tulisannya, Seto juga menjelaskan mengenai kewajiban tes PCR bagi penumpang pesawat di tengah kasus yang menurun.

Menurut dia, hal itu diusulkan dirinya berdasarkan data yang menunjukkan ada peningkatan risiko penularan. "Nah 1-2 minggu sebelum kebijakan PCR untuk penumpang pesawat ini diberlakukan, kita melihat ada peningkatan risiko tersebut. Indikator mobilitas yang kami gunakan menunjukkan peningkatan yang signifikan," sebut dia.

Dia membeberkan contoh di Bali. Bahwa data mobilitas minggu ketiga Oktober 2021 menunjukkan level yang sama dengan liburan Nataru (Natal dan Tahun Baru) tahun 2020.  Kemudian dari hasil pengecekan tim yang dikirimnya, terjadi penurunan disiplin protokol kesehatan.

"Peduli Lindungi hanya sebagai pajangan, terutama di tempat-tempat wisata dan bar. Bahkan salah satu tim saya berhasil memfoto pasangan yang bebas berciuman di dalam salah satu bar/kafe," sebutnya.

Pertimbangan lainnya, adanya peningkatan kasus yang luar biasa akibat varian Delta di negara-negara lain, akibat relaksasi aktivitas dan protokol kesehatan karena merasa tingkat vaksinasi dosis kedua sudah di atas 60 persen. Dia menhyebutkan Singapura, Jerman, hingga sebagai contohnya.

Sementara Indonesia tingkat vaksinasi dosis 2 saat ini baru sekitar 36 persen, dan sudah melakukan relaksasi aktivitas masyarakat secara luas.

Selain itu, vaksinasi tidak sepenuhnya bisa mencegah penularan kasus. Hal itu kata Seto, bisa dilihat dari negara-negara yang disebutkan  di atas yang memiliki cakupan dosis 2 di atas 60 persen, namun kasus Covid-19 mereka meningkat signifikan.

"Vaksinasi akan mengurangi risiko Anda jika terkena Covid-19 harus dirawat di RS, muncul gejala atau bahkan kematian. Anda masih bisa terkena Covid-19, tidak bergejala, dan masih menularkan ke pihak lain, meskipun sudah di vaksin. Ada banyak riset ilmiah yang mendukung hal tersebut," sebut dia.

Conflict of interest dan ongkos Rp 5,6 triliun

Seto mengakui adanya Luhut yang merupakan Koordinator PPKM Jawa Bali di GSI memang bisa menimbulkan potensi konflik kepentingan.

"Memang saya akui saya kurang hati-hati dalam mengingatkan Pak Luhut terkait dengan saham GSI sehingga muncul potensi conflict of interest ini buat pak Luhut (jujur saya sendiri juga lupa kalau Toba Sejahtera berpartisipasi di GSI)," sebutnya.

Tetapi lanjut dia, memang kondisi pada saat GSI didirikan saat itu membutuhkan keputusan yang cepat terkait peningkatan kapasitas tes PCR tersebut.

"Kemudian, ketika Pak Luhut menjadi koordinator PPKM Jawa Bali, setiap keputusan yang diambil didasarkan kepada usulan kami atas analisis data dan situasi, sehingga kondisi Covid19 di Jawa Bali bisa lebih baik. Tidak ada sedikitpun keraguan dalam hati saya terkait hal ini. Tidak ada satupun keputusan yang diambil oleh Pak Luhut yang kami usulkan, karena mengedepankan kepentingan GSI, termasuk usulan mengenai PCR untuk penumpang pesawat," tegas Seto.

Seto menyebutkan, pihaknya melihat ada risiko peningkatan kasus, sehingga ingin ada langkah preventif, bukan reaktif seperti yang dilakukan sebelumnya. Menurut dia, bila terjadi peningkatan kasus dan harus ada pengetatan macam PPKM Darurat, biayanya sangat besar.

"Hasil hitungan kami, biaya langsung untuk perekonomian setiap 1 minggu dilakukan PPKM Darurat, adalah sekitar Rp 5,2 triliun. Itu belum termasuk korban jiwa yang tidak bisa dihitung secara moneter," katanya.

Mengenai harga PCR, Seto menilai bahwa hal itu tidak bisa dibandingkan situasi saat ini dengan situasi pada awal-awal pandemi.

"Bagaimana susahnya mencari alat PCR, ekstraksi RNA, reagen, sampai harus rebutan dengan negara lain. Saat ini kondisi suplainya jauh lebih baik, sehingga ketersediaan alat dan reagen lebih banyak dan lebih murah," sebut dia.

"Selain itu, terkait harga PCR, hal tersebut bukan wewenang Pak Luhut dalam memutuskan. Evaluasi dilakukan secara berkala oleh Kemenkes dan BPKP. Semuanya melalui proses pemeriksaan di BPKP untuk kemudian memberikan masukan kepada Kemenkes lalu kemudian diputuskan," demikian Deputi Koordinasi Bidang Investasi dan Pertambangan Kemenko Marves Septian Hario Seto.

https://money.kompas.com/read/2021/11/09/050600426/anak-buah-luhut-jelaskan-kronologi-keterkaitan-bosnya-dengan-bisnis-pcr-pt-gsi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke