Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Pemerintah Kaji Perubahan Skema Harga Batu Bara DMO

Dirjen Minerba Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin mengatakan, pihaknya tengah mewacanakan pengaturan harga batas atas (ceiling price) dan harga batas bawah (floor price) dalam mengantisipasi adanya disparitas harga komoditas batu bara di pasar.

"Kami mencoba melihat peluang-peluang pengaturan yang lebih baik dan memberikan keadilan bagi para pelaku usaha (pertambangan)," ujarnya dalam keterangan tertulis, Rabu (17/11/2021).

Penetapan harga batas atas sudah diimplementasikan untuk kelistrikan umum, industri semen dan pupuk. Saat ini harga jual batu bara untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dipatok 70 dolar AS per ton, sedangkan untuk industri semen dan pupuk ditetapkan 90 dollar AS per ton.

Penerapan kebijakan skema harga batas atas ini bertujuan menghindari potensi kecenderungan produsen batu bara menghindari berkontrak dengan konsumen batu bara dalam negeri saat harga komoditas batu bara naik di pasar global.

"Saat harga naik, (produsen) lebih memilih denda bila harga batu bara domestik jauh lebih rendah dibandingkan harga pasar internasional," kata Ridwan.

Sementara penetapan harga batas bawah bertujuan untuk melindungi produsen batu bara agar tetap dapat berproduksi pada tingkat keekonomiannya saat harga batu bara sedang rendah di tingkat global.

Kemudian adanya pengaturan skema kontrak penjualan dalam negeri melalui skema kontrak harga tetap (fixed price) dengan besaran harga yang disepakati secara Business to Business (B to B).

"Skema ini akan memberikan kepastian bagi produsen batu bara maupun konsumen batu bara dalam negeri terkait jaminan harga dan volume pasokan," kata dia.

Sebagai informasi, pemerintah telah mengatur kewajiban pemenuhan batu bara dalam negeri bagi semua badan usaha pertambangan yang tertuang dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 139.K/HK.02/MEM.B/2021 tentang Pemenuhan Kebutuhan Batubara Dalam Negeri.

Pada beleid tersebut, disebutkan bahwa perusahaan pertambangan yang tidak memenuhi DMO 25 persen dari rencana produksi atau kontrak penjualan dalam negeri akan dikenakan larangan ekspor batubara, denda, maupun dana kompensasi.

Ridwan menambahkan, pemerintah juga sedang mengusulkan pembangunan fasilitas pencampuran untuk komoditas batu bara (coal blending facility). Tujuannya, untuk memberikan keadilan dalam mengatasi permasalahan pelaksanaan kewajiban DMO batu bara bagi industri maupun perusahaan tambang.

Ia mengatakan, perubahan tersebut sedang dalam tahap kajian internal di Kementerian ESDM.

"Kami sedang melakukan diskusi, pendalaman, dan wacana-wacana untuk lebih meningkatkan daya guna kebijakan DMO 25 persen," katanya.

Menurut dia, penetapan kebijakan DMO yang telah diatur pemerintah, tidak mudah dilakukan oleh perusahaan lantaran tidak seluruh spesifikasi batubara yang diproduksi oleh badan usaha pertambangan memiliki pasar dalam negeri dan dapat diserap oleh pasar domestik.

"Maka kami mendorong PLN khususnya atau perusahaan pengguna yang lain untuk membangun fasilitas pencampuran batubara yang dikelola BUMN atau swasta untuk mengolah berbagai spesifikasi batu bara agar sesuai dengan kebutuhan dalam negeri," jelas dia.

Di sisi lain, pemerintah juga tengah mengusulkan skema pengenaan dana kompensasi bagi badan usaha pertambangan yang tidak memenuhi kewajiban DMO.

"Dana kompensasi dapat digunakan untuk berbagai keperluan dalam mendukung tingkat kesesuaian produk batu bara, baik sebagai tambahan subsidi atau dukungan pendanaan untuk coal blending facilty," kata Ridwan.

https://money.kompas.com/read/2021/11/17/203518726/pemerintah-kaji-perubahan-skema-harga-batu-bara-dmo

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke