Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Memaknai Pendidikan Kewirausahaan yang Tak Pernah Tuntas

KEWIRAUSAHAAN atau entrepreneurship. Sebuah kata "seksi" yang selalu menarik dikaji dalam berbagai sudut pandang, dari akademisi, praktisi bisnis hingga politisi.

Jika dikaitkan dengan perekonomian bangsa maka tak pelak lagi kewirausahaan harus disebarluaskan dan diaplikasikan ke segala kalangan terutama generasi muda.

Kewirausahaan bagaikan obat bagi berbagai penyakit ekonomi. Di sini pendidikan kewirausahaan mengambil peran.

Pendidikan kewirausahaan pun menjadi keniscayaan. Dari tingkat sekolah dasar, bahkan taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi.

Dalam beragam versi semua ingin mengajarkan kewirausahaan kepada peserta didik.

Kemendikbudristek pun telah memasukkan kegiatan kewirausahaan sebagai bagian dari delapan kegiatan yang dapat dipilih mahasiswa dalam program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM).

Namun, adakah kesepakatan mengenai arti pendidikan kewirausahaan yang dimaksud?

Dalam bahasa Inggris terdapat dua istilah terkait pendidikan kewirausahaan yaitu entrepreneurship education yang selama ini dikenal dan enterprise education.

Yang pertama terkait dengan penciptaan sikap kemandirian, sementara enterprise education terkait dengan penciptaan individu pencari peluang.

Sehubungan dengan itu, Gibb (1993) menegaskan bahwa kedua pemahaman itu pada prinsipnya sama tetapi berbeda konteks. Istilah entrepreneurship education biasa digunakan di Amerika dan Kanada sementara enterprise education digunakan di Inggris Raya dan Irlandia.

Adapun Jones dan English (2004) secara konsisten menggunakan istilah entrepreneurial education untuk menyubstitusi entrepreneurship education.

Menurutnya, entrepreneurial education adalah proses yang membekali individu kemampuan untuk mengenali peluang komersial, wawasan, harga diri, pengetahuan dan keterampilan untuk bertindak.

Tampaknya walau begitu banyak definisi terkait pendidikan kewirausahaan, namun semua diarahkan untuk memengaruhi sikap, perilaku dan nilai-nilai individu terhadap kewirausahaan, yang selanjutnya dapat menjadi pilihan karier atau untuk meningkatkan peran di dalam komunitas.

Tujuan

Jika pengertian telah dipahami bersama, selanjutnya apa tujuan yang ingin dicapai.

Mwasalwiba (2010) mengemukakan tiga hal terkait tujuan pendidikan kewirausahaan yaitu "mendidik untuk kewirausahaan" (educating for), "mendidik mengenai kewirausahaan" (educating about), dan "mendidik dalam atau melalui kewirausahaan" (educating in or through).

"Mendidik untuk kewirausahaan" berarti pendidikan diarahkan untuk menciptakan wirausaha yaitu individu yang mengkreasi usaha baru. Pendidikan ditujukan untuk menstimulasi proses kewirausahaan dan memperlengkapi peserta didik dengan alat untuk memulai bisnis.

"Mendidik mengenai kewirausahaan" berarti pendidikan ditujukan untuk memahami kewirausahaan sebagai sebuah fenomena sehingga peserta dilatih untuk memiliki sensitivitas di dalam komunitas.

Adapun "Mendidik dalam kewirausahaan" ditujukan agar individu menjadi lebih entrepreneurial atau inovatif di perusahaan atau tempatnya bekerja.

Dalam pemahaman lain, pendidik menggunakan usaha baru agar peserta dapat memperoleh wawasan dan kompetensi bisnis.

Secara garis besar tujuan pendidikan kewirausahaan adalah untuk menstimulasi keterampilan berwirausaha, meningkatkan semangat, sikap dan budaya kewirausahaan, berkontribusi kepada masyarakat dan menciptakan usaha rintisan.

Maka program-program kewirausahaan yang ditawarkan berkisar pada pembangunan kesadaran dan orientasi kewirausahaan, pengembangan kompetensi untuk membangun usaha, dan pengelolaan bisnis agar bertahan serta tumbuh.

Metode pengajaran dan evaluasi

Biasanya pendidikan kewirausahaan diberikan dalam bentuk aktif (metode inovatif) dan pasif (metode tradisional).

Metode aktif diberikan dalam bentuk simulasi bisnis, kompetisi, permainan, proyek, penciptaan model dan rencana bisnis serta kunjungan industri.

Peserta didik diajak turut berperan dalam pendidikan kewirausahaan karena mereka bukan sekadar objek, tetapi subjek yang menentukan keberhasilan.

Metode pasif seperti biasa mengedepankan kuliah klasikal, experience sharing dari wirausaha sukses sebagai role model, presentasi, studi kasus, dan sebagainya, yang lebih sesuai untuk membangun kesadaran dan wawasan mengenai kewirausahaan.

Setelah pengajaran diberikan, evaluasi diberikan untuk mengukur keberhasilan pendidikan yang dijalankan. Ini yang kerap kali menjadi perdebatan.

Tentu itu semua bergantung pada sasaran yang hendak dicapai. Banyak pihak yang beranggapan bahwa ukuran nyata keberhasilan jika telah melahirkan usaha rintisan.

Ada banyak ukuran seperti jumlah usaha rintisan yang didirikan oleh lulusan, intensi dan sikap untuk berwirausaha, kontribusi kepada komunitas, inovasi yang dihasilkan, kinerja bisnis, dan kesadaran atau sikap terhadap kewirausahaan.

Harus diakui ukuran intensi berwirausaha sering kali digunakan sebagai indikator keberhasilan.

Studi Galloway dan Brown (2002) menemukan bahwa banyak lulusan berencana memulai bisnis setelah lima sampai sepuluh tahun setelah bekerja. Kenyataannya selama periode itu sikap sangat mungkin dapat berubah.

Sementara studi Audet (2004) menunjukkan bahwa persepsi dan intensi berwirausaha lulusan hanya stabil dan bertahan selama 18 bulan saja dan itu pun masih dapat dipertanyakan kembali.

Tampaknya faktor situasional berpengaruh kuat terhadap intensi berwirausaha.

Akhirnya, makna pendidikan kewirausahaan jangan dipandang hanya untuk melahirkan wirausaha yang menciptakan usaha rintisan baru, tetapi memiliki ruang lingkup yang lebih luas.

Materi yang diajarkan tidak melulu terkait dengan bisnis. Penanaman karakter entrepreneurial menjadi tema besar.

Di balik itu semua sesungguhnya pendidikan kewirausahaan mengajarkan keterampilan yang dibutuhkan untuk menjalani kehidupan.

Dengan karakter entrepreneurial yang dimiliki menjadi modal kuat untuk bertahan, sekalipun dalam kondisi krisis. Nilai-nilai itu yang mestinya menjadi perhatian bersama.

Franky Selamat
Dosen tetap Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi & Bisnis Universitas Tarumanagara

https://money.kompas.com/read/2021/12/01/130818326/memaknai-pendidikan-kewirausahaan-yang-tak-pernah-tuntas

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke