Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kenapa Banyak Produk Made in China?

KOMPAS.com - Perekonomian China berkembang pesat, berbagai produk negara tirai bambu ini nampaknya ada di mana-mana. Sebagian besar label mengatakan bahwa produk ini made in China sehingga membuat kita bertanya-tanya, kenapa semua produk made in China?

Sebagaian besar orang mungkin berpikir alasannya karena banyak tenaga kerja di China yang murah sehingga bisa menurunkan biaya produksi suatu barang.

Padahal selain biaya tenaga kerja yang rendah, China telah dikenal sebagai pabrik dunia karena ekosistem bisnisnya yang kuat, kurangnya kepatuhan terhadap peraturan, pajak dan bea yang rendah, dan praktik mata uang yang kompetitif.

Sementara pabrik asal negara barat mematuhi berbagai peraturan kesehatan, keselamatan, ketenagakerjaan, dan lingkungan dibanding pabrik China yang umumnya beroperasi di bawah lingkungan peraturan yang jauh lebih longgar.

Berikut beberapa alasan kenapa banyak produk made in China di dunia, dikutip dari laman Investopedia:

1. Upah pekerja rendah

China merupakan negara terpadat di dunia dengan populasi penduduk sekitar 1,39 juta orang. Hal ini membuat tenaga kerja di China membeludak sementara lapangan pekerjaan yang tidak dapat menampung semuanya.

Sesuai dengan hukum peawaran dan permintaan, jika tenaga kerja banyak dan lapangan kerja hanya sedikit tentu akan menjadikan upah para pekerja rendah. Selain itu, mayoritas warga negeri panda ini merupakan kelas menengah ke bawah atau miskin yang hidup di pedesaan.

China juga tidak mengikuti secara ketat undang-undang yang berkaitan dengan upah minimum pekerja, di mana hal ini yang lebih banyak dipatuhi negara barat.

Namun, situasi ini tampaknya berubah karena saat ini banyak provinsi di China melaporkan telah meningkatkan upah minimum daerahnya untuk mengikuti kenaikan biaya hidup sehari-hari.

Pada Januari 2020, tarif minimum pekerja di Shanghai adalah 3,16 dollar AS per jam atau Rp 45.297 dan 355,70 dollar AS per bulannya Rp5,09 juta. Sedangkan di Shenzen, tarifnya adalah 2,91 dollar AS per jam atau Rp 41.715 dan 315,55 dollar AS per jam atau Rp 4,52 juta.

Kendati demikian, banyaknya tenaga kerja di China sangat membantu kala dibutuhkan produksi dalam jumlah besar, mengakomodasi kebutuhan industri musiman, dan memenuhi permintaan mendadak di luar jadwal permintaan.

2. Ekosistem bisnis yang baik

Seperti diketahui, industri produksi tidak berlangsung sendiri-sendiri melainkan bergantung pada jaringan pemasok, produsen komponen, distributor, instansi pemerintah, dan pelanggan yang semuanya terlibat dalam proses produksi melalui persaingan dan kerjasama.

Nah ekosistem bisnis tersebut telah berkembang cukup banyak di China selama 30 tahun terakhir. Misalnya di Shenzhen, sebuah kota yang berbatasan dengan Hong Kong ini telah berkembang sebagai pusat industri elektronik.

Sehnzen telah mengembangkan ekosistem untuk mendukung rantai pasokan manufaktur, termasuk produsen komponen, pekerja berbiaya rendah, tenaga kerja teknis, pemasok perakitan, dan pelanggan.


Bahkan perusahaan Amerika Serikat (AS) seperti Apple Inc. memanfaatkan efisiensi rantai pasokan China untuk menjaga biaya tetap rendah dan margin tinggi.

Foxconn Technology Group, produsen elektronik yang berbasis di Taiwan, memiliki banyak pemasok dan produsen komponen yang berada di lokasi terdekat.

Pasalnya, bagi banyak perusahaan sangat tidak efektif secara ekonomi untuk membawa beberapa komponen untuk dirakit hingga jadi produk akhir ke AS.

3. Rendahnya kepatuhan hukum

Pabrik-pabrik asal China dikenal tidak mengikuti sebagian besar undang-undang dan pedoman dasar mengenai pekerja anak, pekerja paksa, kesehatan dan keselamatan pekerja, udang-undang upah minimum, dan perlindungan lingkungan.

Secara historis, pabrik-pabrik China telah mempekerjakan pekerja anak, menereapkan jam kerja yang panjang, dan tidak memberikan asuransi kompensasi kepada pekerja.

Beberapa pabrik bahkan memiliki kebijakan di mana pekerja dibayar setahun sekali sebagai sebuah strategi untuk mencegah pekerja berhenti sebelum akhir tahun.

Dihadapkan dengan kritik-kritik mengenai hal tersebut, pemerintah China mengklaim telah melembagakan reformasi yang melindungi hak-hak pekerja dan memberikan kompensasi yang lebih adil.

Namun, kepatuhan terhadap aturan di banyak industri rendah dan perubahan berjalan lambat. Selain itu, undang-undang perlindungan lingkungan secara rutin diabaikan, memungkinkan pabrik-pabrik China untuk mengurangi biaya pengelolaan limbah.

4. Diskon pajak bagi konsumen

Kebijakan pajak ekspor dimulai tahun 1985 di China sebagai cara untuk meningkatkan daya saing ekspornya dengan menghapuskan pajak berganda atas barang ekspor. Barang ekspor dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN) nol persen, yang berarti mereka menikmati kebijakan pembebasan PPN atau potongan harga.

Selain itu, produk konsumen dari China dibebaskan dari pajak impor apa pun. Tarif pajak yang lebih rendah ini membantu menjaga biaya produksi tetap rendah, memungkinkan negara untuk menarik investor dan perusahaan yang ingin memproduksi barang-barang murah.

5. Perang tarif produk China dan AS

Pada Juli 2018, AS mengumumkan tarif khusus produk China dengan menargetkan 818 produk impor China senilai 34 miliar dollar AS. Ini adalah putaran pertama dari banyak tarif yang dikenakan oleh kedua negara.

Pengenaan tarif tersebut menghasilkan 550 miliar dollar AS untuk AS yang diterapkan pada produk China dan China atas produk AS senilai 185 miliar dollar AS per Februari 2020.

Seiring waktu, AS diperkirakan akan merasakan dampak dari perang tarif ini dalam bentuk peningkatan biaya barang, sementara ekonomi China diperkirakan akan mengalami perlambatan.

6. Mata uang China

China pernah dituduh menekan nilai mata uangnya bernama Yuan untuk mengunggulkan produk ekspornya tehadap produk yang sama yang diproduksi oleh pesaingnya yaitu AS.

China terus memantau apresiasi nilai mata uangnya dengan membeli dollar AS dan menjual Yuan. Hal ini menyebabkan nilai Yuan undervalued sebesar 30 persen terhadap dollar pada akhir 2005.

Namun, tren ini berbalik sehingga membuat nili Yuan melemah terhadap dollar AS mulai Juni 2018 ketika AS memberlakukan tarif pada produk China.

Pada 8 Agustus 2019, bank sentral China menurunkan nilai Yuan menjadi 7,0205 per dollar AS, level terlemah sejak April 2008. Pelemahan Yuan membuat ekspor China lebih menarik dan dipandang sebagai respons China terhadap perang dagangnya dengan AS.

Demikian alasan kenapa banyak produk made in China di dunia. Ternyata ketersediaan tenaga kerja yang murah hanya salah satu faktor alasan dari pertanyaan tersebut.

Dibutuhkan lebih dari sekadar biaya tenaga kerja yang rendah bagi negara berkembang untuk membangun ekosistem bisnis yang dapat bersaing dengan China.

https://money.kompas.com/read/2021/12/08/131048126/kenapa-banyak-produk-made-in-china

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke