Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Daerah dan Pembangunan Rendah Karbon

Kabupaten Sintang termasuk sedikit daerah yang memulai perjalanan baru membangun dengan pendekatan pembangunan rendah karbon, mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Topik yang banyak diperbincangkan belakangan ini, terutama pasca Pertemuan Para Pihak Kerangka Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (COP UNFCC) di Glasgow, Skotlandia dan posisi Indonesia sebagai Presidensi G20 periode 2021-2022.

Inisiatif Pembangunan Rendah Karbon (PRK) sebenarnya telah dimulai sejak Oktober 2017, setahun setelah Indonesia meratifikasi Kesepakatan Paris. Prinsip dan agenda implementasi pembangunan rendah karbon tertuang pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Agenda utamanya antara lain membangun lingkungan hidup, meningkatkan ketahanan bencana dan perubahan iklim.

Secara hierarki, RPJMN menjadi acuan dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).

Ada banyak alasan mengapa peran pemerintah daerah perlu lebih diperhatikan dalam upaya pencapaian target pembangunan rendah karbon, mitigasi, dan adaptasi perubahan iklim. Setidaknya ada tiga hal pokok.

Pertama, kegiatan pembangunan secara riil terjadi di daerah. Jika kita bicara daerah maka ada 416 kabupaten dan 98 kota yang tersebar di 34 provinsi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Mereka memilik beragam potensi sumber daya alam, baik di darat maupun di laut dengan kegiatan pembangunan yang melibatkan alih fungsi hutan dan lahan, pemanfaatan sumber daya kelautan, pemanfaatan energi, hingga menghasilkan sampah dan limbah.

Kedua, sekitar 60 persen anggaran negara diserahkan pengelolaannya ke daerah melalui berbagai mekanisme. Sebagai gambaran, APBN tahun 2021 mengalokasikan transfer ke daerah sebesar Rp 795,48 triliun.

Kementerian Keuangan memperkirakan bahwa Indonesia membutuhkan investasi 265 miliar dollar AS untuk mencapai target nasional penurunan emisi karbon 29 persen. Transformasi ekonomi melalui pembangunan rendah karbon memerlukan dukungan regulasi, dukungan kelembagaan, dan kerangka pembiayaan yang memadai hingga ke level daerah.

Ketiga, masyarakat di daerah berhadapan langsung dengan dampak pembangunan yang tinggi emisi karbon dan mengabaikan mitigasi maupun adaptasi perubahan iklim.

Pertama, harus diakui belum semua daerah memiliki visi yang sejalan dengan prinsip PRK. Sebagian besar daerah masih sangat tergantung pada eksploitasi sumber daya alam sebagai sumber pertumbuhan ekonomi dan pendapatan asli.

Kegiatan eksploitasi sumber daya alam dalam skala besar yang padat modal dinilai paling mudah memberikan manfaat ekonomi dan memiliki efek bergulir. Eksternalitas dari kegiatan pembangunan yang mengeksploitasi sumber daya alam dalam jangka panjang belum menjadi pertimbangan.

Kedua, keterbatasan kapasitas institusional maupun sumber daya manusia untuk mengadopsi visi PRK ke dalam perencanaan pembangunan jangka menengah maupun panjang. Selain RPJMD, sejumlah perencanaan yang terkait antara lain Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Rencana Umum Penanaman Modal (RPUM), dan Rencana Umum Energi Daerah (RUED).

Ketiga, masih terjadi inkonsistensi pemerintah nasional dalam menjalankan proyek strategis nasional yang terindikasi tidak sejalan dengan prinsip PRK. Hal ini terlihat pada proyek food estate di Kalimantan Tengah yang telah berjalan ketika Kajian Lingkungan Hidup Strategis belum selesai dibuat.

Peluang perbaikan

Di luar gambaran tantangan tersebut, tak sedikit inisiatif daerah yang menunjukkan adanya peluang untuk perbaikan.

Pertama, inisiatif beberapa kabupaten dan provinsi untuk mendorong kerangka Transfer Anggaran Fiskal Ekologis (TAFE) ke daerah seperti yang terlihat di Kabupaten Jayapura di Papua dan Provinsi Kalimantan Utara.

TAFE diadopsi oleh Indonesia menjadi Transfer Anggaran Nasional Ekologis (TANE) setelah melihat keberhasilannya di sejumlah negara. Di level provinsi ada Tranfer Anggaran Provinsi Ekologis (TAPE) dan di kabupaten ada Transfer Anggaran Kabupaten Ekologis (TAKE).

Kedua, inisiatif sejumlah anggota Asosiasi Pemerintah Kabupaten dan Kota Seluruh Indonesia (APKASI) yang berinisiatif membentuk kaukus kabupaten lestari dengan komitmen mengadopsi prinsip ekonomi hijau ke dalam RPJMD. Sembilan kabupaten anggota kaukus ini yang tersebar di enam provinsi memiliki potensi kawasan hutan seluas 5,8 juta hektar dan lahan gambut 1,8 juta hektar.

Ketiga, dari sejumlah forum investasi, terlihat ada kemauan daerah untuk meningkatkan kapasitas karena melihat ada peluang untuk bisa masuk ke dalam rantai pasok global maupun terhubung langsung dengan investor.

Melihat kondisi tersebut, ada beberapa faktor pemungkin yang perlu diciptakan oleh pemerintah nasional guna mendorong daerah segera ambil bagian dalam pencapaian target pembangunan rendah karbon, serta mitigasi maupun adaptasi perubahan iklim.

Pertama, diperlukan pengarusutamaan narasi PRK, mitigasi dan adaptasi perubahan iklim ke daerah. Salah satu langkah yang paling strategis adalah melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas), selain melalui Kementerian dan Lembaga terkait seperti Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Badan Koordinasi Penanaman Modal.

Kedua, perlu pendampingan yang lebih intensif dalam penyusunan dokumen perencanaan pembangunan daerah baik itu RPJMD, RTRW, RUPM, maupun RUED, oleh kementerian dan lembaga terkait.

Skema insentif dan disinsentif juga perlu diformulasikan untuk mendorong daerah tidak hanya berorientasi pada Dana Bagi Hasil SDA. Daerah yang sudah berupaya menjaga kehutanan, pesisir laut, dan lingkungan perlu mendapat apresiasi.

Ketiga, pemerintah nasional perlu konsisten dalam menjalankan kebijakan dan regulasi. Apa yang terjadi dalam program food estate di Kalimantan Tengah jangan terulang. Sebagai contoh, rencana pembangunan Green Investment Estate Kalimantan Utara tetap memerlukan KLHS yang matang.

Keempat, membuka ruang kolaborasi dengan para pemangku kepentingan terkait termasuk mitra pembangunan seperti lembaga swadaya masyarakat, koalisi masyarakar sipil, dan pelaku usaha. Dalam hal ini, pelaku usaha berperan penting untuk mendorong rantai pasok yang berkelanjutan.

Hampir semua komoditas penting seperti sawit, kopi, kakao yang diperdagangkan di pasar internasional sudah mensyaratkan prinsip rantai pasok berkelanjutan.

Kelima, diperlukan monitoring dan evaluasi untuk mengukur kinerja daerah dalam pencapaian pembanguan rendah karbon. Parameter semacam indeks daya saing daerah berkelanjutan yang dikembangkan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah bisa menjadi salah satu tolok ukur. Indeks ini mencakup berbagai indikator lingkungan, sosial, ekonomi dan tata kelola.

https://money.kompas.com/read/2021/12/11/114447426/daerah-dan-pembangunan-rendah-karbon

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke