Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Pasangan Ini Olah Kerajinan Tangan dari Sabut Kelapa hingga Dipasarkan ke Luar Negeri

JAKARTA, KOMPAS.com - Sabut kelapa ternyata bisa bernilai tinggi jika mampu diolah dengan tepat. Hal itu yang dilakukan oleh Ambrosius Montolalu dan Dyah Sri Utami, sepasang suami-istri yang memulai bisnis kerajinan tangan di Sulawesi Utara.

Dengan merek Wale Gonofu, keduanya membuat beragam kerajinan tangan yang mayoritas berasal dari sabut kelapa, termasuk pula memanfaatkan batok dan kayu kelapa.

Sedikitnya ada 40 jenis kerajinan tangan yang dibuat pasangan tersebut di workshop dan gallery Wale Gonofu yang berada di Desa Pinenek, Jaga 1, Likupang Timur, Minahasa Utara, Sulawesi Utara.

"Wale Gonofu dalam bahasa lokal Minahasa artinya rumah sabut kelapa. Menariknya yang memunculkan ide ini adalah istri, yang notabene dari Jawa," ungkap Ambrosius ketika ditemui Kompas.com di workshop-nya yang dikutip Minggu (12/12/2021)

Kerajinan tangan yang diproduksi Wale Gonofu beragam, mulai dari bunga, gantungan kunci, kalung, gelang, anting, notebook, sikat, hingga dekorasi seperti pohon natal.

Barang-barang ini tak hanya dipasarkan di wilayah Sulawesi Utara, tetapi juga pernah ke luar negeri.

Ambrosius berkisah, mereka merintis Wale Gonofu pada tahun 2017. Namun, untuk memulainya bukanlah perkara yang mudah.

Mulanya, saat masih berstatus pacaran, pasangan ini galau harus menetap di mana ketika nanti sudah menikah, sebab Dyah bekerja di Jawa sementara Ambrosius di Sulawesi Utara.

Pada akhirnya, mereka memutuskan untuk tinggal di Sulawesi Utara usai menikah.

Dyah pun melakukan banyak riset di internet untuk mengetahui hal apa yang bisa dikerjakan ketika nantinya dia tinggal di Desa Pinenek, Minahasa Utara.

Hasilnya, ia menemukan bahwa daerah tersebut kaya akan sabut kelapa.

Mereka pun memutuskan untuk memanfaatkan sabut kelapa dalam memulai bisnis, mengingat jaring sabut kelapa atau coconet dibutuhkan oleh perusahaan tambang untuk keperluan reklamasi tambang.

Pada Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara memang terdapat Tambang Emas Toka Tindung yang dikelola PT Archi Indonesia Tbk (ARCI) melalui anak usahanya, PT Tambang Tondano Nusajaya dan PT Meares Soputan Mining.

"Kami menemukan CV (perusahaan) yang pernah memberikan pelatihan pembuatan coconet ke beberapa kelompok masyarakat di Desa Pinenek. Kami minta ikut pelatihan, karena ingin kebutuhan coconet yang masih dikirim dari Jawa itu bisa diproduksi di Pinenek," jelas Ambrosius.

Pada 2015, usai menikah, keduanya mengikuti pelatihan membuat coconet selama dua hari.

Setelah mendapat ilmu baru mengenai pengolahan limbah sabut kelapa, mereka memutuskan untuk pergi tinggal di Desa Pinenek.

Namun, ketika ingin memulai bisnis tersebut, ternyata hasil perhitungan mereka untuk kebutuhan pengadaan mesin hingga ongkos pekerja membutuhkan modal yang besar sekitar Rp 200 juta-Rp 250 juta.

Kebutuhan modal itu sangat tinggi dibanding kemampuan finansial mereka.

Ambrosius dan Dyah pun sempat mengajukan proposal ke perusahaan-perusahaan di sekitar tempat tinggal, termasuk teman-teman mereka, untuk mendapatkan pendanaan agar bisa memulai bisnis sabut kelapa.

Sayangnya, hasilnya nihil.

"Tapi kami memahami, bahwa proposal kami tidak disetujui karena itu baru berupa ide dalam bentuk proposal, belum ada bukti apa-apa (barang yang berhasil diproduksi)," ungkap Ambrosius.

Tidak patah arah, mimpi untuk memiliki bisnis dari bahan sabut kelapa terus dipegang mereka.

Setelah memiliki anak, suatu ketika mereka berlibur ke Kota Bitung, Sulawesi Utara, terdapat pabrik pengolahan sabut kelapa yang produksinya di ekspor ke China.

Pasangan ini pun meminta untuk bisa membeli sisa-sisa sebagian sabut kelapa yang tidak di ekspor, ketimbang harus dibakar oleh pabrik tersebut.

Akhirnya, mereka membeli dengan harga Rp 300.000 untuk 100 kilogram sabut kelapa.

"Kami pulang dengan harapan besar, ini bisa menjadi awal. Tapi setelah dihitung-hitung, kalau 100 kilogram dijadikan coconet, itu maksimal uang yang didapatkan hanya Rp 2 juta, jauh dari modal yang Rp 200 juta," kata dia.

Namun, ratusan kilogram sabut kelapa yang sudah dibawa pulang itu tak mungkin mereka biarkan begitu saja.

Maka di sinilah muncul ide kreatif dari Dyah untuk membuat sabut kelapa tersebut bernilai tinggi yakni dengan menjadikan kerajinan tangan.

Mulanya, ia mencoba membuat hiasan bunga berukuran besar dari sabut kelapa yang ternyata membuahkan hasil karena diminati banyak pihak.

Keduanya pun memutuskan memutar haluan bisnis mereka dari rencana awal memproduksi coconet menjadi memproduksi kerajinan tangan.

"Jadi kerajinan dari sabut kelapa ini, sebetulnya 'kecelakaan' yang membahagiakan," kelakar Ambrosius.

Produk-produk kerajinan tangan Wale Gonofu pada akhirnya mengisi toko-toko souvenir yang ada di Kota Manado.

Seiring dengan perkembangannya, toko-toko souvenir meminta untuk mereka memproduksi kerajinan tangan berukuran kecil.

Maka Ambrosius dan Dyah pun mengikuti permintaan pasar dangan membuat aksesoris hingga dekorasi yang berukuran kecil berbahan dasar sabut, batok, dan kayu kelapa.

Peningkatan permintaan membuat mereka mempekerjakan 3 orang dari warga desa setempat.

Omzet yang didapatkan juga cukup menggiurkan. Sebelum masa pandemi Covid-19, mereka bahkan pernah mendapatkan hingga Rp 20 juta per bulan.

Sementara saat pandemi memang sempat berimbas ke mereka. Tiga bulan pertama sejak Covid-19 masuk ke Indonesia pada awal Maret 2021 lalu, penghasilan Wale Gonofu nihil.

Namun kini mulai membaik dengan kisaran Rp 7-8 juta per bulan.

"Biasanya sebelum pandemi sempat sampai Rp 20 juta. Tapi ini sudah mulai naik. Ini pendapatan kotor yah, makannya kami target income-nya minimal Rp 20 juta," tambah Dyah.

Produk-produk Wale Gonofu memang mayoritas masih di pasarkan di Sulawesi Utara.

Namun, produk mereka sudah pernah menembus pasar luar negeri. Beberapa produk pernah dibeli oleh orang Indonesia untuk dibawa dan dijual di luar negeri.

Salah satu produk yang pernah dipasarkan ke luar negeri adalah sikat dari sabut kelapa.

Sikat ini bahkan mengikuti pameran Dubai Expo 2021 di Uni Emirat Arab (UEA) pada Desember 2021 dibawa oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) milik Kementerian Keuangan.

"Penjualan ke luar negeri lebih ke pertemanan dan ke pameran-pameran. Kami juga pernah ikut pameran di Italia. Kami tentu ingin bisa mengekspor sendiri produk-produk kami," kata Dyah.

Kendala mengembangkan Wale Gonofu

Kendati demikian, diakui Dyah, penjualan produk Wale Gonofu saat ini lebih banyak dari offline

Keterbatasan internet di Desa Pinenek menjadi kendala untuk merambah pasar online.

Ia bilang, sudah ada satu operator internet yang masuk ke desanya, namun kualitas internetnya seringkali down.

Ia mengungkapkan, sebenarnya sudah mau mencoba masuk ke e-commerce, tetapi itu diurungkan karena kendala internet.

Dyah tak ingin pelanggannya kecewa dan memberi rating jelek ketika toko online-nya di e-commerce lambat merespons.

Namun, Dyah menyadari, arah perkembangan ke depan adalah digitalisasi, sehingga penjualan secara online sangatlah penting.

Maka, ia dan suami berupaya memasarkan produk Wale Gonofu lewat media sosial Instagram dan Facebook lewat nama akun Wale Gonofu Art and Craft.

"Jadi kami kalau online masih ke yang aman seperti Instagram dan Facebook, sehingga ketika kami lambat membalas, mereka (pembeli) masih memaklumi," ungkapnya.

Selain internet, kendala lainnya yakni ketika sudah mendapatkan pembeli secara online di luar Pulau Sulawesi, biaya ongkos kirimnya lebih mahal ketimbang harga produk yang dibeli.

Hal ini membuat pembelian produk seringkali dibatalkan.

Ia pun bermimpi untuk bisa memiliki partner di pulau lainnya, khususnya di Pulau Jawa, yang bisa menyimpan produk-produk Wale Gonofu sehingga pemasaran bisa semakin meluas dan ongkos kirim pun bisa lebih terjangkau.

Di sisi lain, seiring dengan target meningkatkkan penjualan baik di wilayah Indonesia maupun internasional, pasangan ini berencana meningkatkan kapasitas produksi Wale Gonofu.

Saat ini, mereka sedang menunggu rampungnya pembuatan mesin penghasil serat sabut kelapa (cocofiber) dan serbuk sabut kelapa (cocopeat).

Mesin tersebut merupakan pesanan khusus untuk Wale Gonofu yang diberikan oleh Archi Indonesia.

Ambrosius dan Dyah menjadi salah satu pelaku UMKM binaan perusahaan yang bergerak di tambang emas tersebut.

Menurut Dyah, ketika mesin yang dipesan dari Yogyakarta itu tiba di workshop Wale Gonofu, maka produksi bisa meningkat hingga 300 kilogram per hari.

Saat ini mereka sudah melatih 11 warga di desanya untuk dipekerjakan jika mesin sudah digunakan.

"Kami selama ini kan lebih mengikuti pesanan. Karena 3 orang pekerja saat ini maksimal dalam satu hari hanya bisa memproduksi 10 kilogram cocofiber dan cocopeat. Tapi dengan mesin besar, nanti bisa 200-300 kilogram per hari," jelas dia.

Seiring akan bertambahnya kapasitas produksi sabut kelapa, saat ini Wale Gonofu juga sudah mulai memproduksi kain tulis dengan motif khas Minahasa.

Target ke depannya adalah kain tersebut akan dipadupadankan dengan serabut kelapa untuk menjadi sebuah tas.

Cita-Cita Ambrosius dan Dyah berdayakan Desa Pinenek

Tak sekedar ingin mendulang untung dari produk sabut kelapa dan turunannya, ternyata Ambrosius dan Dyah punya cita-cita untuk memberdayakan Desa Pinenek menjadi desa wisata yang terkenal akan kerajinan tangan berbahan kelapa.

Ambrosius mengungkapkan, dirinya ingin setiap jaga atau RT memiliki bagian produksi tersendiri. Misalnya, Jaga 1 memproduksi sapu, Jaga 2 memproduksi pot, Jaga 3 memproduksi keset, dan seterusnya.

"Nantinya kalau ini berkembang, harapannya 5-10 tahun ke depan Desa Pinenek ini bisa menjadi desa wisata mengkhususkan kerajianan berbahan baku sabut kelapa dan turunannya," harap dia.

Ia mengungkapkan, mimpi memberdayakan Desa Pinenek masih terus "digantungkannya di langit-langit" dengan keyakinan, suatu saat, mereka bisa meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar seiring dengan Desa Pinenek menjadi desa wisata.

"Kami mendirikan Wale Gonofu ini karena punya mimpi besar, pemberdayaan masyarakat. Kami tidak mau sukses sendiri. Kurang asyik menurut kami kalau sukses sendiri," pungkas Ambrosius.

https://money.kompas.com/read/2021/12/13/060800826/pasangan-ini-olah-kerajinan-tangan-dari-sabut-kelapa-hingga-dipasarkan-ke-luar

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke