Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Ini Sejumlah Aturan Penting Perbankan yang Diterbitkan Sepanjang 2021

Berbagai POJK perbankan diterbitkan guna mendukung operasional bank umum, bank syariah, atau pun bank perkreditan rakyat (BPR) di tengah tekanan pandemi Covid-19.

Selain itu, OJK juga melakukan serangkaian penyempurnaan aturan operasional industri perbankan melalui sejumlah POJK yang diterbitkan pada tahun ini.

Bukan hanya itu, guna merespons pesatnya digitalisasi perbankan, OJK juga telah menerbitkan POJK yang menjadi pedoman operasional bank digital.

Berikut sejumlah aturan penting terkait perbankan yang telah diterbitkan OJK sepanjang 2021:

1. Restruktrukturisasi kredit diperpanjang

Pada pertengahan September 2021, OJK memutuskan untuk memperpanjang pelaksanaan kebijakan restrukturisasi kredit perbankan yang terdampak oleh Covid-19, dari semula hingga Maret 2022 menjadi Maret 2023.

Keputusan tersebut tertuan dalam dua POJK, yakni POJK Nomor 17/POJK.03/2021 untuk bank umum dan POJK Nomor 18/POJK.03/2021 untuk BPR dan BPRS.

Meskipun restrukturisasi terus menunjukan penurunan dari waktu ke waktu, perpanjangan masa kebijakan itu dilakukan untuk mendukung momentum pemulihan ekonomi nasional. Harapanya, kebijakan ini juga dapat mendorong pertumbuhan penyaluran kredit perbankan. 

"Perpanjangan kebijakan countercyclical sebagai langkah antisipatif dan lanjutan untuk mendorong optimalisasi kinerja perbankan, menjaga stabilitas sistem keuangan, dan mendukung pertumbuhan ekonomi, dalam rangka menjaga momentum indikator perbankan yang sudah mengalami perbaikan," tutur Ketua Dewan Komisioner OJK, Wimboh Santoso, pada September lalu.

"Serta untuk mempersiapkan Bank dan debitur untuk kembali normal secara perlahan sehingga menghindari potensi gejolak setelah kebijakan ini berakhir," tambahnya.

Keputusan itu disambut baik oleh perbankan. PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk misalnya, yang menilai bahwa kebijakan itu dapat membantu perseroan untuk menjaga kinerja debitur restrukturisasi, yang saat ini trennya terus mengalami perbaikan.

"BNI sangat menyambut baik kebijakan terkait perpanjangan restrukturisasi dari OJK menjadi 31 Maret 2023," kata Sekretaris Perusahaan BNI, Mucharom.

Hal senada disampaikan oleh PT Bank Central Asia Tbk. Executive Vice President Secretariat & Corporate Communication PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Hera F Haryn menilai, perpanjangan restrukturisasi kredit dilakukan untuk mengantisipasi dampak dari ketidakpastian Covid-19.

"Skema restrukturisasi disesuaikan dengan analisis kondisi dan kebutuhan debitur, serta melakukan pemantauan secara ketat. Diharapkan sampai dengan waktu yang diberikan oleh regulator beberapa debitur yang terdampak dapat pulih kembali," tutur Hera.

Sementara itu, Senior Retail Investment Socialist Raphon Prima mengatakan, bagi perbankan, perpanjangan masa restrukturisasi kredit bisa memberi napas tambahan serta semakin mempercepat pemulihan ekonomi.

“Saya setuju OJK perpanjang restrukturisasi, jadi saat ekonomi mulai pulih, sebenarnya company sudah sanggup bayar bunga dalam kondisi normal. Tapi enggak apa-apa kasih napas buatan lagi supaya ekonomi bisa bergerak cepat,” ujar Raphon.

Raphon menyebutkan memang pemulihan ekonomi perlahan mulai terlihat, tetapi jika restrukturisasi di setop pada tahun 2022, beberapa perusahaan yang berencana ekspansi akan kehabisan dana untuk membayar beban bunga ke perbankan.

“Tahun 2022 kita boleh bilang ada pemulihan walaupun masih gradual. Perusahaan mulai ekspansi secara perlahan, kalau restrukturisasi ini di setop 2022, sementara perusahaan mulai untuk ekspansi, dan mereka harus bayar beban bunga kepada bank dengan kondisi normal, jadi tahun 2022 habis hanya untuk bayar beban bunga ke perbankan,” kata dia.

2. Pedoman bank digital

Pada tahun ini, OJK juga telah menerbitkan regulasi yang mengatur keberadaan bank digital. Ketentuan ini tercantum dalam POJK Nomor 12/POJK.03/2021 tentang Bank Umum.

Melalui aturan tersebut, OJK mendefinisikan bank digital sebagai Bank Berbadan Hukum Indonesia (BHI) yang menyediakan dan menjalankan kegiatan usaha yang utamanya melalui saluran elektronik tanpa kantor fisik selain kantor pusat (KP), atau dapat menggunakan kantor fisik yang terbatas.

Dalam berbagai kesempatan OJK menegaskan, otoritas tidak ingin mendikotomikan antara bank konvensional yang memiliki layanan digital dengan bank digital. Sebab, pada intinya bank konvensional dan bank digital memiliki fungsi yang sama, yakni sebagai lembaga intermediasi keuangan.

Namun demikian, melalui POJK Nomor 12/POJK.03/2021 OJK menetapkan 6 persyaratan bagi bank agar dapat disebut sebagai bank digital. Pertama, memiliki model bisnis dengan penggunaan teknologi yang inovatif dan aman dalam melayani kebutuhan nasabah.

Kemudian bank digital harus memiliki kemampuan untuk mengelola model bisnis perbankan digital yang pruden dan berkesinambungan. Ketiga, memiliki manajemen risiko secara memadai.

Keempat, bank digital harus memenuhi aspek tata kelola termasuk pemenuhan direksi yang mempunyai kompetensi di bidang teknologi informasi dan kompetensi lain sebagaimana dimaksud dalam ketentuan OJK mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan.

Ketentuan kelima dan keenam adalah menjalankan perlindungan terhadap keamanan data nasabah dan memberikan upaya yang kontributif terhadap perkembangan ekosistem keuangan digital dan/atau inklusi keuangan.

Selain itu, OJK juga menerbitkan POJK Nomor 13/POJK.03/2021 tentang Penyelenggaraan Produk Bank Umum untuk melengkapi POJK Nomor 12 Tahun 2021. Melalui aturan ini, perbankan bisa lebih mudah meluncurkan produk lanjutan.

Pasalnya melalui POJK tersebut, bank dapat melakukan uji coba atau piloting poduk lanjutan kepada masyarakat dalam jumlah terbatas atau pegawainya sebelum meluncurkannya ke masyarakat luas.

Kedua aturan itu pun disambut baik oleh perbankan, baik yang telah resmi meluncur menjadi bank digital, ataupun yang sedang mempersiapkannya.

PT Bank Jago Tbk sebagai salah satu bank digital yang telah beroperasi, menilai aturan baru dari OJK mengindikasikan, regulator telah cepat beradaptasi dengan perkembangan teknologi, dan siap mengakomodasi perubahan perilaku masyarakat yang semakin digital.

"Regulasi ini para pelaku di industri bank digital mampu untuk tumbuh secara lebih cepat, berkelanjutan, dan semakin berani berinovasi," ujar Direktur Kepatuhan Bank Jago, Tjit Siat Fun.

Menurutnya, melalui POJK Nomor 13 Tahun 2021, bank digital dapat melakukan uji coba atau piloting review sebelum mengajukan perizinan ke OJK, sehingga perbankan dapat lebih ekspansif dalam mengembangakn produknya, dengan tetap mengedepankan prinsip kehati-hatian.

PT Bank Neo Commerce Tbk juga menyambut baik penerbitan kedua aturan tersebut. Aturan itu dinilai dapat memberikan kepastian terhadap keberadaan bank digital.

"Kami sangat berterima kasih kepada OJK atas peluncuran POJK yang memperjelas keberadaan bank digital di Indonesia sehingga kami bisa melayani masyarakat Indonesia dengan lebih baik lagi," kata Direktur Utama Bank Neo Commerce, Tjandra Gunawan.

Dengan diterbitkannya aturan terkait keberadaan bank digital sekaligus produk keuangannya, Tjandra optimis, pihaknya dapat terus mengembangkan produk-produk keuangan baru.

"Ini adalah sebuah sinyal positif dari regulator yang mendukung terciptanya ekosistem perbankan digital yang sehat, aman, dan inovatif serta mendukng penetrasi inklusi keuangan tingkat nasional," ujar dia.

3. Pengelompokan bank diubah

Selain mengatur keberadaan bank digital, POJK Nomor 12 Tahun 2021 juga membahas perubahan pengelompokan bank. Melalui aturan tersebut, OJK mengubah pengelompokan bank dari semula berkonsep entitas mandiri, bank umum kegiatan usaha (BUKU), menjadi kelompok bank berdasarkan modal inti (KBMI).

Dalam aturan itu disebutkan, pengelompokan KBMI dibagi atas 4 kelompok. KBMI 1 yaitu dengan modal inti minimum Rp 6 triliun, KBMI 2 bermodal inti Rp 6 triliun higga 14 triliun, KBMI 3 modal intinya Rp 14 triliun sampai Rp 70 trliun, KBMI 4 bermodal di atas Rp 70 triliun.

Aturan tersebut berubah dari sebelumnya, di mana bank dikategorikan ke dalam 4 kategori BUKU, yakni BUKU I untuk bank dengan modal inti di di bawah Rp 1 triliun, BUKU II Rp 1 triliun hingga Rp 5 triliun, BUKU III lebih dari Rp 5 triliun hingga Rp 30 triliun, dan BUKU IV dengan modal inti lebih dari Rp 30 triliun.

"Dulu kita mengelompokkan dengan BUKU itu sebetulnya filosofinya adalah dikaitkan dengan kegiatan usaha digandeng modal inti, supaya mendorong konsolidasi," ujar Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Heru Kristiyana, pada Agustus lalu.

Terkait dengan aturan baru ini, Heru menyatakan, tidak ada bank yang naik atau turun dari kelasnya. Aturan baru ini diterbitkan dengan harapan tidak menjadi beban baru bagi perbankan.

"Ini tidak ada sama sekali bank yang naik kelas, atau saya yang tadinya BUKU 4 turun dong, enggak ya," ujarnya.

Adapun terkait besaran modal inti pengelompokan KBMI, Heru memastikan, penentuannya sudah berdasarkan kajian panjang, dan juga pembelajaran dari industri perbankan negara lain.

https://money.kompas.com/read/2021/12/30/193100726/ini-sejumlah-aturan-penting-perbankan-yang-diterbitkan-sepanjang-2021

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke