Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Krisis Pasokan Batu Bara, Komisi VII DPR: Alarm Dorong Energi Terbarukan

Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto mengatakan, krisis batu bara membuktikan adanya kesalahan dalam tata kelola sumber daya alam. Di sisi lain, krisis ini menjadi pengingat bahwa energi fosil sangat rentan sehingga perlu beralih ke energi terbarukan yang juga lebih ramah lingkungan.

"Kita perlu masuk energi baru terbarukan, terlebih memang semakin terbatas fosil ini, pasti fluktuatif dalam suply and demand. Kalau tidak imbang, pasti akan terjadi disparitas harga, ada distorsi,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Jumat (7/1/2022).

Politisi dari Parti Nasdem itu mengakui batu bara masih menjadi salah satu penyumbang terbesar pendapatan negara bukan pajak, namun dia mewanti-wanti resiko semakin terbatasnya ketersediaan.

Terlebih saat ini Indonesia sudah menandatangani Perjanjian Paris dan meratifikasi dalam hukum nasional melalui UU Nomor 16 Tahun 2016.

“Batu bara sangat rentan karena menjadi komoditas yang semakin terbatas, apalagi sudah semakin dibatasi karena polutif. Kita juga sudah meratifikasi perjanjian Paris. Hal ini menjadi dasar bahwa EBT sebuah keharusan dilakukan mitigasi. Kalau tidak kita mengalami turbulensi,” papar dia.

Krisis pasokan batu bara yang dialami PLN itu, membuat pemerintah pada akhirnya memutuskan melarang ekspor selama sebulan pada periode 1-31 Januari 2022.

Menurut Sugeng, larangan ekspor ini sebuah langkah yang terpaksa diambil di tengah kondisi yang merugikan semua pihak. Dirinya memandang kebijakan itu sekaligus kritik terhadap semua pihak, baik pemerintah selaku pembuat regulasi, PLN maupun perusahaan batu bara.

“Kalau semuanya strict terhadap Pasal 33 UUD 45, semestinya tidak boleh terjadi keputusan ini. Akhirnya semua dirugikan, satu pihak karena ketidakpatuhan penambang batu bara memenuhi DMO disebabkan adanya disparitas harga yang sangat jauh dengan internasional,” ungkap dia.


Adapun DMO atau domestic market obligation merupakan kewajiban produsen batu bara domestik untuk memasok produksi batu bara bagi kebutuhan dalam negeri. Kewajiban DMO diatur sebesar 25 persen dengan patokan harga 70 dollar AS per metrik ton.

Ia menilai, untuk mengantisipsi fluktuasi harga batu bara, pemerintah seharusnya mempersiapkan rentang harga DMO yang dinamis. Sementara di satu sisi dirinya mengamini adanya peningkatan biaya pokok penyediaan (BPP) PLN bila harga batu bara naik.

“Ada pintu lain maka ada namanya pajak ekspor batu bara, apabila melampaui harga DMO maka dinaikkan pajak ekspor,” imbuh Sugeng.

Di sisi lain, guna mengantisipasi krisis bahan baku PLN, Sugeng menyarankan pemerintah menggenjot kapasitas produksi PT Bukit Asam Tbk, anak perusahaan PT Inalum (Persero) yang berperan sebagai penyedia kebutuhan energi primer.

Di sisi lain, kewajiban DMO oleh pihak swasta harus diawasi dengan reward dan punishment. Pemerintah harus memberikan kemudahan bagi perusahaan batu bara yang memenuhi kewajiban itu.

Sebab ia melihat, ada beberapa perusahaan yang memenuhi kewajiban DMO 25 persen, sementara sebagian lainnya memilih membayar denda yang hanya 3 dollar AS per ton.

"Moral hazard pengusaha batu bara seharusnya juga ada. Efeknya ke semua pengusaha, bagi perusahaan batu bara yang komitmen terhadap ekspor, pasti akan ada penalti akibat larangan dari pemerintah saat ini, tetapi ada hal lain yang jauh lebih penting yaitu kepentingan nasional,” pungkas Sugeng.

https://money.kompas.com/read/2022/01/07/100000626/krisis-pasokan-batu-bara-komisi-vii-dpr--alarm-dorong-energi-terbarukan

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke