Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Endus Aroma Persekongkolan Kartel Minyak Goreng, KPPU: Kompak Naiknya

KOMPAS.com - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) melihat ada sinyal kartel dari kenaikan harga minyak goreng yang terjadi belakangan ini.

Indikasinya kartel minyak goreng terlihat saat perusahaan-perusahaan besar di industri minyak sawit kompak untuk menaikkan harga secara bersamaan.

"Kompak naiknya ini harga minyak goreng. Ini yang saya katakan ada sinyal terjadinya kesepakatan harga. Tapi ini secara hukum harus dibuktikan," kata Komisioner KPPU Ukay Karyadi dalam konferensi pers seperti dilansir dari Antara, Jumat (21/2/2022).

Dalam paparan hasil penelitian yang dilakukan KPPU selama tiga bulan terakhir, lembaga itu mendapati bahwa kenaikan minyak goreng disebabkan oleh kenaikan harga bahan baku utamanya yaitu minyak kelapa sawit (CPO) di level internasional akibat permintaannya yang meningkat.

Berdasarkan data Consentration Ratio (CR) yang dihimpun KPPU pada 2019 terlihat pula bahwa sekitar 40 persen pangsa pasar minyak goreng dikuasai oleh empat perusahaan besar yang juga memiliki usaha perkebunan, pengolahan CPO, hingga beberapa produk turunan CPO seperti biodiesel, margarin, dan minyak goreng.

Dengan struktur pasar yang seperti itu, maka industri minyak goreng di Indonesia masuk dalam kategori monopolistik yang mengarah ke oligopoli.

"Ini perusahaan minyak goreng relatif menaikkan harga secara bersama-sama walaupun mereka masing-masing memiliki kebun sawit sendiri. Perilaku semacam ini bisa dimaknai sebagai sinyal bahwa apakah terjadi kartel," katanya.

Direktur Ekonomi KPPU, Mulyawan Renamanggala, menjelaskan pelaku usaha terbesar minyak goreng di Indonesia adalah pelaku usaha yang terintegrasi dari perkebunan sawit dan pengolahan CPO.

Sebagai komoditas global, kenaikan harga CPO akan menyebabkan produksi minyak goreng harus bisa bersaing dengan produk CPO yang diekspor.

Hal itu menyebabkan ketika harga CPO global sedang tinggi, maka produksi minyak goreng kesulitan mendapatkan bahan baku lantaran produsen akan lebih mengutamakan ekspor ketimbang memenuhi kebutuhan dalam negeri.

"Ini kami lihat agak sedikit aneh, karena sebenarnya produsen minyak goreng ini perusahaan di kelompok yang ekspor CPO atau yang punya kebun. Sepertinya pelaku usaha yang lakukan ekspor ini, meski punya usaha minyak goreng, namun mereka tetap mengutamakan pasar ekspor karena itu dapat meningkatkan keuntungan mereka," katanya.

Kecurigaan YLKI

Sebelumnya, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menduga ada praktik kartel di balik meroketnya minyak goreng di Indonesia. Hampir tiga bulan, lonjakan harga minyak masak di dalam negeri melesat tanpa kendali.

Para produsen kompak menaikkan harga dengan dalih menyesuaikan dengan harga minyak sawit (CPO) di pasar global. Sejak dua bulan terakhir, minyak goreng juga berkontribusi besar terhadap inflasi.

Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi, menyebutkan ada beberapa indikasi perilaku kartel di balik kenaikan harga minyak goreng di negara pengekspor sawit terbesar dunia ini.

"Saya curiga ada praktek kartel atau oligopoli. Dalam UU tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat," kata Tulus saat dikonfirmasi Kompas.com.

Kartel sendiri merujuk pada sekelompok produsen yang mendominasi pasar yang bekerja sama satu sama lain untuk meningkatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan menaikan harga, sehingga pada akhirnya konsumen yang dirugikan.

Indikasi kartel paling tampak dari lonjakan harga minyak goreng, lanjut Tulus, adalah kenaikan harga minyak secara serempak dalam waktu bersamaan.

Di sisi lain, selama ini minyak goreng yang beredar di pasaran juga dikuasai oleh segelintir perusahaan besar.

"Kalau kartel pengusaha bersepakat, bersekongkol menentukan harga yang sama sehingga tidak ada pilihan lain bagi konsumen," terang Tulus.

Kalau pun kenaikan harga dipicu lonjakan permintaan, hal itu bukan alasan mengingat Natal dan Tahun Baru (Nataru) sudah berlalu, namun harga minyak goreng masih saja tinggi.

Terlebih, Indonesia adalah negara produsen sawit terbesar di dunia. Untuk pasar ekspor, produsen minyak sawit bisa berpatokan pada harga internasional.

Harga minyak CPO di pasar dunia yang tengah melonjak, tidak bisa jadi alasan untuk menaikkan harga minyak goreng yang dijual di dalam negeri.

Harga minyak goreng harus mengacu pada harga eceran tertinggi (HET) yang sudah ditetapkan pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag).

"Kita kan penghasil CPO terbesar, kita eksportir bukan importir, jadi bisa menentukan harga CPO domestik. Jangan harga internasional untuk nasional," ujar Tulus.

Menjual minyak goreng dengan harga mahal di dalam negeri tentunya mencedarai konsumen. Mengingat sejatinya, perusahaan besar juga menanam sawitnya di atas tanah negara melalui skema hak guna usaha (HGU).

Di sisi lain, pemerintah juga banyak membantu pengusaha kelapa sawit dengan membantu membeli CPO untuk kebutuhan biodiesel. Bahkan pemerintah membantu pengusaha sawit swasta dengan mengucurkan subsidi biodiesel besar melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).

Soal kenaikan harga karena alasan banyaknya pabrik minyak goreng yang tidak terintegrasi alias tidak memiliki kebun sawit juga tidak masuk akal.

Ini karena hampir semua pemain besar produsen minyak goreng juga menguasai perkebunan kelapa sawit. Minyak goreng yang diproduksi para pemain besar juga ikut melonjak.

https://money.kompas.com/read/2022/01/21/010600926/endus-aroma-persekongkolan-kartel-minyak-goreng-kppu-kompak-naiknya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke