Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mitigasi Risiko Kenaikan Harga Migas

Namun, dampak pandemi sangat terasa pada kehidupan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi dunia drop. Pada 2020, ekonomi dunia menyusut sebesar 4,3 persen, lebih dari dua setengah kali lipat dari penurunan selama krisis keuangan global 2009.

Saat berbagai negara memberlakukan lockdown pada 2020 lalu, harga minyak dunia sempat menyentuh ke level 0, bahkan minus. Namun pada tahun 2021 ekonomi perlahan mulai bergerak. Efek stimulus dari berbagai negara mendorong permintaan minyak dunia dan berbagai kebutuhan komoditas dunia naik. Tingginya kenaikan itu bahkan mengantarkan berbagai negara mengalami tekanan inflasi yang tinggi. Komoditas dunia mengalami supply and demand shock.

Belum selesai masalah supply and demand shock atas berbagai kebutuhan komoditas utama dunia, khususnya energi, kita semua dihadapkan kenyataan peperangan antara Rusia dan Ukraina. Rusia tergabung dalam OPEC + berkontribusi besar terhadap suplai minyak dan gas dunia.

Sanksi yang diberikan sekutu dan sejumlah negara terhadap Rusia makin mengerek harga-harga komoditas utama dunia. Rusia juga dikenai sanksi untuk tidak menggunakan Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication atau SWIFT, dampaknya akan sangat menghambat proses pembayaran minyak dan gas dari Rusia.

Situasi akan makin rumit bila Rusia menggunakan kebijakan energi mereka sebagai sanksi balasan. Data British Petroleum (BP) Statistical Review of World Energy 2021 menyebutkan, Rusia berkontribusi 12,6 persen minyak dunia atau terbesar kedua, di bawah Amerika Serikat sebesar 17 persen. Oleh karena itu, dunia harus mempertimbangkan risiko-risiko itu.

Sebelum pecah perang Rusia dengan Ukraina, International Energy Agency (IEA) telah membuat proyeksi permintaan minyak dunia akan naik ke level 100,6 juta barel per hari, lebih tinggi dari proyeksi sebelumnya 99,7 juta barel per hari.

Apabila Rusia memilih pembeli minyak dan gasnya untuk negara tertentu saja, maka rantai pasok migas dunia akan seret. Dunia amat bergantung pada suplai migas OPEC+, namun anggota OPEC seperti Angola telah menyatakan tidak bisa menaikkan kapasitas produksinya.

Dampak ke Indonesia

Kita makin khawatir atas berbagai sanksi barat terhadap Rusia akan makin menciptakan krisis energi di dunia. Harga minyak jenis Brent telah tembus 105 dollar AS/barel, ICP sendiri telah tembus diatas 95 dollar/barel. Dampaknya di dalam negeri sangat terasa. Pertamina belum genap sebulan telah menaikkan kembali harga Pertamax Turbo, Dexlite, dan Pertamina Dex.

Memang dari sisi komposisi, beberapa jenis BBM tersebut masih relatif kecil share konsumsinya. Hingga saat ini pemerintah masih mempertahankan harga Pertalite dan Pertamax 92.

Dengan mempertahankan harga Pertamax92 dan Pertalite otomatis pemerintah harus menutupi anggaran kompensasi atas kebijakan tidak menaikkan Pertamax92 dan Pertalite. Selain itu pemerintah juga harus menanggung beban subsidi untuk BBM jenis Premium dan Solar. Dengan terus terkereknya harga minyak dunia, maka kebutuhan anggaran kompensasi penundaan kenaikan Pertamax92 dan Pertalite akan meningkat, demikian pula kebutuhan subsidi BBM jenis Premium dan Solar akan meningkat.

Konsumsi BBM nasional 1,4 juta barel per hari hingga 1,5 juta barel per hari. Kemampuan produksi minyak Indonesia hanya mampu mencapai rata rata 700.000 barel per hari. Sisanya kebutuhan minyak kita ditopang dari impor.

Data Badan Pusat Statistik (BPS), impor migas sepanjang 2021 mencapai 196,20 dollar miliar atau setara Rp 2.805 triliun (kurs Rp 14.300 per dolar). Capaian ini meningkat 38,59 persen dibandingkan 2020 dengan nilai impor 141,57 miliar dollar atau setara Rp 2.024 triliun.

Kita berpotensi menghadapi ancaman kelangkaan stok atas kebutuhan impor minyak dunia bila masing-masing negara berlomba-lomba mengamankan kebutuhan stok migasnya.

Selain minyak, Pertamina juga menaikkan harga Liquefied Petroleum Gas (LPG) nonsubsidi seperti tabung ukuran 5 kilo gram (kg) dan 12 kg per pada 27 Februari 2022. Harga LPG nonsubsidi yang berlaku mulai 27 Februari 2022 ini sekitar Rp 15.500 per kg. Ini merupakan kenaikan harga LPG nonsubsidi untuk kali kedua sejak akhir Desember 2021.

Makin tingginya harga LPG nonsubsidi berpotensi akan mendorong permintaan LPG 3 Kg untuk orang miskin yang dijual bebas dipasarkan makin tinggi. Bila kemudian mereka bermigrasi ke LPG 3 KG maka kebutuhan LPG 3 Kg akan sangat banyak, dan menjadi barang yang diperebutkan.

Jika keluarga mampu bermigrasi ke LPG 3 Kg, selain makin berpotensi tidak tepat sasaran untuk subsidi LPG 3 Kg, hal itu berpotensi mendorong kenaikan harga LPG 3 KG di tingkat pengecer karena makin banyaknya orang yang menggunakan LPG 3 Kg sebagai substitusi karena mahalnya harga LPG nonsubsidi.

Tingginya demand berpotensi jadi alat spekulan dan penimbun melakukan aksi ambil untung yang membahayakan hajat hidup bersama.

Antisipatif

Merefleksikan berbagai kemungkinan dampak buruk yang dapat terjadi atas kebutuhan energi kita, khususnya minyak dan gas bumi pada minggu atau bulan-bulan ke depan pemerintah harus mempersiapkan diri dengan baik. Untuk memastikan kebutuhan suplai stok migas kita, pemerintah harus menegaskan kembali kepada negara-negara yang selama ini kita jadikan gantungan untuk menyuplai migas kita.

Selama ini Indonesia mengandalkan kebutuhan impor migasnya dari Arab Saudi, Malaysia, Negeria, Uni Emirat Arab, dan Amerika Serikat. Pemerintah perlu memastikan kembali kepada para eksportir migas dari berbagai negara tersebut untuk senantiasa menjaga kebutuhan stok migas Indonesia.

Kenaikan harga migas di tingkat pengecer di dalam negeri berpotensi mengerek biaya produksi barang barang ditingkat produsen. Pemerintah harus membangun komunikasi lintas sektor dengan kalangan pengusaha dan penyedia jasa terhadap kemungkinan kenaikan harga barang dan jasa didalam negeri. Sehingga sejak awal pemerintah bisa mempersiapkan diri menyangkut strategi intervensinya, khususnya baik fiskal maupun nonfiskal, agar daya beli rumah tangga tetap baik, tidak drop akibat tekanan inflasi, mengingat sumbangan konsumsi rumah tangga terhadap PDB kita sangat tinggi, 54 persen. Selain itu pemerintah harus rutin melakukan operasi pasar.

Atas makin membengkaknya alokasi biaya kompensasi BBM dan listrik, karena tidak diikuti dengan kenaikan harga jual eceran Pertamax92 dan Pertalite, serta tarif listrik, maka beban Pertamina dan PLN akan makin besar. Oleh sebab itu pemerintah harus membuat hitungan atas membengkaknya biaya kompensasi itu.

Terakhir, pemerintah perlu sesegera mungkin melakukan reformasi subsidi LPG, hal ini untuk mengantisipasi penggunaan LPG 3 Kg untuk keluarga miskin namun makin banyak dikonsumsi keluarga mampu. Langkah ini akan menekan membengkaknya alokasi subsidi LPG 3 Kg akibat kenaikan harga migas, dan menjaga daya beli keluarga miskin di tengah situasi ekonomi yang masih sulit. Dan bila perlu pemerintah dapat menaikkan subsidi tunai untuk keluarga miskin menghadapi ketidakpastian ke depan.

https://money.kompas.com/read/2022/03/05/161837026/mitigasi-risiko-kenaikan-harga-migas

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke