Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Menepis Pandangan Berbisnis yang Menyesatkan

JIKA ditelusuri, sekolah bisnis atau fakultas ekonomi dan bisnis atau apapun namanya memiliki peserta didik paling banyak di Indonesia.

Mungkin alasan positif yang bisa dikemukakan adalah minat kalangan muda untuk menjadi pebisnis amat besar atau niat berkecimpung di dalam dunia bisnis begitu kuat karena dibutuhkan sehingga mudah terserap dunia usaha.

Ada alasan kurang bagus yang lain seperti dianggap mudah lulus, tidak berat mengikuti proses pembelajaran dan mengganggap remeh materi yang disampaikan.

Karena memandang remeh, maka bermunculan pandangan berbisnis yang dianggap benar secara praktik, tetapi justru menyesatkan kalangan muda.

Banyak pandangan berbisnis yang digali dari praktik sehari-hari yang dianggap benar karena memperlihatkan contoh sukses, walau bersifat jangka pendek dan keberlanjutannya pun dipertanyakan.

Sebagian kalangan muda yang suka silau dengan contoh-contoh instan yang dipandang berhasil kerap terjebak dalam pemikiran keliru.

Sebanyak lima hal dibahas berikut ini, yang mudah-mudahan saja bisa menyadarkan bagi mereka yang selama ini begitu meyakini, mendalami, bahkan menjalankannya dengan penuh keyakinan.

Pertama, modal berbisnis yang utama dan pertama adalah finansial.

Jika kalangan muda ditanya apa yang akan mereka kerjakan untuk memulai bisnis? Jawabannya hampir seragam: menyiapkan modal finansial. Seolah hanya dengan modal keuangan saja, bisnis sudah bisa dibangun dan dijalankan.

Allen (2012) menyatakan bahwa terdapat tiga sumber daya bisnis rintisan, yaitu: pertama, manusia (tim), kedua berupa aset fisik seperti peralatan, persediaan, kantor atau pabrik, dan ketiga baru sumber daya finansial.

Hal ini sudah cukup jelas menandakan bahwa modal utama yang pertama adalah tim pendiri (founding team), modal finansial nomor tiga.

Maka hal yang perlu dipersiapkan untuk membangun bisnis adalah tim pendiri yang solid. Idealnya memiliki kompetensi berbeda, seperti pemasaran, keuangan, operasional, desain, dan legal.

Menghindari tim dengan kompetensi sama adalah saran yang patut diperhatikan.

Mungkin ada yang penasaran kenapa bukan modal finansial yang pertama. Mudah saja untuk menjelaskannya.

Jika pada hari ini seorang muda diberikan modal uang senilai Rp 500 juta, apakah bisa menjamin langsung membuka dan menjalankan usaha? Belum tentu juga.

Yang ada malah bingung, uang sebesar itu mau diapakan. Atau malah disimpan di “celengan ayam-ayaman”.

Kedua, fokus pada kemampuan diri yang dianggap unggul, bukan pada pasar yang dilayani.

Seorang kawan yang sedang merintis usaha indekos dengan bangga memperlihatkan konsep bisnis kos yang diyakini belum ada sebelumnya.

Selain menyediakan kamar-kamar nyaman lengkap dengan pendingin ruangan dan pemanas air, ia juga menyiapkan sarana fitness untuk penghuni kos.

Pertanyaannya adalah, apakah memang calon penghuni kos alias konsumen yang dituju membutuhkan itu?

Pertanyaan yang belum terjawab karena dia cuma membayangkan dan berkeyakinan sendiri tanpa pernah melakukan survei langsung ke calon konsumen.

Banyak pebisnis berlaku seperti itu. Bukan fokus pada kebutuhan dan keinginan konsumen, malah berkeyakinan bahwa apa yang menjadi pemikirannya, dianggap kreatif dan inovatif, diyakini akan berhasil di pasar.

Kenyataan menunjukkan bahwa tidak ada bisnis yang tidak berorientasi pasar bisa berhasil dan berkelanjutan dalam jangka panjang.

Ketiga, penetapan harga adalah senjata utama untuk berkompetisi dan memenangkan persaingan.

Harga adalah salah satu bauran pemasaran selain produk, tempat dan promosi. Memang tidak salah jika mengandalkan harga sebagai senjata untuk bersaing di pasar, tetapi ada kriteria yang mesti terpenuhi.

Kotler dan Armstrong (2020) yang menyebut ini sebagai market penetration pricing, mengemukakan tiga syarat.

Pertama, pasar sangat sensitif terhadap harga dan harga rendah akan mendorong pertumbuhan pasar lebih cepat.

Kedua, biaya produksi dan distribusi harus menurun sejalan dengan peningkatan penjualan.
Ketiga, harga yang rendah membantu perusahaan keluar dari persaingan.

Artinya cuma perusahaan yang efisien yang mampu bersaing, selebihnya akan terlempar dari pasar.

Terakhir, harga penetrasi tersebut harus mampu memelihara posisi di pasar sebagai harga yang rendah.

Di sisi lain harga rendah mungkin bersifat sementara. Di negara yang tingkat inflasinya cukup tinggi, mempertahankan harga rendah menjadi tantangan tidak mudah.

Strategi bersaing dengan harga rendah sangat tidak disarankan jika tidak memiliki cukup kekuatan finansial yang memadai.

Harga rendah bisa memancing kompetitor lain yang lebih kuat untuk masuk ke pasar dan memicu terjadinya perang harga.

Melihat kondisi itu, tidak realistis bagi bisnis baru atau yang masih rentan dan belum mapan, nekat mengandalkan harga rendah untuk bersaing jika tidak didukung oleh sistem produksi dan distribusi yang efisien. Yang ada seperti langkah bunuh diri di pasar.

Keempat, produk tidak memberikan solusi tetapi cenderung ikut-ikutan, dan malah menambah masalah baru.

Rumus sederhana tapi manjur agar bisnis bisa awet adalah mampu menyediakan produk dengan proposisi nilai yang unik dan menyediakan solusi atas masalah yang biasa dihadapi oleh konsumen, baik pada waktu akan, sedang atau sesudah mengkonsumsi suatu produk atau jasa.

Sepertinya mudah, tapi tidak sederhana juga proses untuk mengidentifikasi problem konsumen itu, lalu merancang proposisi nilai produk yang sesuai.

Proses yang berliku dan membutuhkan waktu serta energi yang besar, mendorong orang mencari jalan instan.

Meniru dengan modifikasi seadanya, atau mengekor sesuai tren sesaat, menjadi pilihan banyak orang.

Celakanya lagi sejumlah pebisnis yang dianggap sukses memberikan testimoni bahwa bisnis yang berhasil diawali dengan mengamati, meniru, dan modifikasi.

Teringat definisi yang disampaikan oleh Hisrich (2008) bahwa kewirausahaan adalah proses menciptakan sesuatu yang baru dan memiliki nilai dengan mengorbankan waktu dan tenaga, melakukan pengambilan risiko finansial, fisik, maupun sosial, serta menerima imbalan moneter serta kepuasan dan kebebasan pribadi.

Rasa-rasanya kenyataan di lapangan sudah keluar dari jalur semestinya.

Kelima, fokus aktivitas berjualan, bukan mencipta atau memproduksi yang memberikan nilai tambah lebih.

Sebagian kalangan menganggap bahwa berbisnis adalah berdagang. Tidak ada yang lain. Memang betul, berjualan adalah bagian penting dari bisnis, bahkan merupakan ujung tombak.

Tetapi karena fokus pada berjualan, akhirnya malas untuk mencipta. Bangsa yang maju bukan karena rakyatnya rajin berjualan dan tidak memproduksi sendiri barang dan jasa.

Lihatlah China yang kini telah bertransformasi menjadi negara industri dengan produk-produk yang mulai akrab di kalangan konsumen Indonesia.

Jika Indonesia mau dikenal sebagai negara industri, bukan sekadar pasar menguntungkan bagi negara maju, kalangan muda atau siapapun yang semangat berbisnis patut merenungkan, memikirkan dan bertindak nyata untuk tidak fokus hanya pada berjualan saja.

Ada nilai tambah ekstra yang diperoleh dari produk yang dihasilkan ketimbang berjualan dengan margin tertentu.

Paradigma yang keliru mestinya menjadi tantangan seluruh institusi pendidikan bisnis di Indonesia untuk meluruskan dengan proses pembelajaran yang memadai dan berkualitas.

Terpasang stiker bertuliskan “Business is fun!” di kaca belakang sebuah mobil yang terparkir di pelataran kampus nan megah.

Ya, menyenangkan dipelajari, dimengerti dan dijalankan, tapi dengan pemahaman yang utuh dan benar.

Bukan asal senang sendiri, tapi konsumen dirugikan dan negara juga tidak diuntungkan. Setuju?

*Frangky Selamat, Dosen Tetap Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi & Bisnis Universitas Tarumanagara

https://money.kompas.com/read/2022/03/08/070000126/menepis-pandangan-berbisnis-yang-menyesatkan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke