Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Minyak Dunia Melambung, Ekonom: Jangan Naikkan Harga Pertalite

Pengamat Ekonomi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi mengatakan, tingginya harga minyak mentah dunia turut membuat dilema pemerintah. Sebab, Indonesia merupakan net importir minyak mentah, dengan produksi mencapai 700.000 barrel per hari dan konsumsi 1,4-1,5 juta barrel per hari.

Tak ayal, melesatnya harga minyak secara berkepanjangan bisa menaikkan harga BBM dan LPG yang mampu menggerus daya beli masyarakat dan mengerek inflasi.

Saat ini saja, pemerintah sudah menaikkan BBM jenis Pertamax Turbo, Dexlite, dan Pertamina Dex.

Namun Fahmy berpendapat, pemerintah sebaiknya tidak menaikkan harga BBM hingga akhir Maret 2022, utamanya BBM yang banyak dikonsumsi warga, seperti Pertalite. Menurut perhitungan Fahmy, Pertalite dikonsumsi oleh sekitar 70 persen penduduk.

"Maka saya berpendapat dalam 1 bulan ini sebaiknya pemerintah jangan menaikkan harga Pertalite berapa pun harganya. Barangkali ditunggu sampai akhir bulan depan. Paling tidak ini akan menjadi beban juga memang," ucap Fahmy ketika dihubungi Kompas.com, Rabu (9/3/2022).

Harga BBM naik, kenaikan inflasi tak bisa dihindari

Jika menaikkan harga, peningkatan inflasi tidak dapat dihindari. Apalagi, sederet harga komoditas seperti daging sapi, minyak goreng, dan tepung terigu mulai melambung.

Pembuat kebijakan pun berencana menaikkan tarif PPN menjadi 11 persen pada April 2022.

"Maka tidak bisa dihindari inflasi itu pasti akan tinggi dan kemudian daya beli masyarakat akan semakin terpuruk. Padahal sebelumnya kena pandemi itu belum selesai benar. Dengan kenaikan (BBM) itu (masyarakat) akan terpukul kembali," ucap Fahmy.

Perang usai, harga minyak bisa kembali di bawah 100 dollar AS per barrel

Fahmy beranggapan, naiknya harga minyak hanya bersifat sementara alias jangka pendek (short-term). Bila perang usai, kemungkinan pasar akan mengoreksi harga sesuai dengan harga keseimbangan (equilibrium price) menjadi sekitar 60-70 dollar AS/barel.

Apalagi jika dilihat dari tren ekspor, harga minyak bulan Maret 2022 diprediksi menurun di bawah 100 dollar AS per barel seandainya invasi Rusia ke Ukraina tidak terjadi.

"Kalau saya menyebutnya sebagai short-term phenomenon karena perang. Karena ada peristiwa luar biasa yang menyebabkan harga (melonjak jadi) 130 dollar AS. Harapannya perang segera selesai dan harga minyak akan kembali pada harga keseimbangan," ucap Fahmy.


Dua alternatif selain menaikkan BBM

Fahmy mengusulkan dua alternatif yang bisa ditempuh pemerintah untuk mengurangi beban APBN alih-alih menaikkan harga BBM. Alternatif pertama, yakni mengalihkan beban ke perusahaan pelat merah, Pertamina.

Dengan kata lain, negara tidak perlu membayar kompensasi kepada Pertamina dalam 3 bulan ke depan.

Sementara alternatif kedua adalah subsidi silang dengan menggunakan dana APBN dari sektor energi lainnya, salah satunya dari hasil ekspor batubara. Asal tahu saja, harga batubara tengah membumbung tinggi hingga mencapai di atas 400 dollar AS per metrik ton.

"Dengan dua alternatif tadi, perkiraan saya pemerintah masih bisa menahan sampai akhir bulan," tandas Fahmy.

Dilansir dari Bloomberg, harga minyak mentah Brent yang menjadi patokan dunia tembus 130,26 dollar AS, naik 2,28 persen atau 1,78 poin dari harga semula.

Adapun harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) mencapai 125,50 dollar AS per barrel, naik 1,80 poin atau 1,46 persen.

https://money.kompas.com/read/2022/03/09/165222126/minyak-dunia-melambung-ekonom-jangan-naikkan-harga-pertalite

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke