Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

MUI Termasuk Lembaga Negara atau Ormas?

KOMPAS.com - Majelis Ulama Indonesia atau lebih dikenal dengan MUI tengah jadi perbincangan publik. Ini setelah logo halal MUI digantikan oleh label halal versi Kementerian Agama (Kemenag).

Dengan kata lain, label halal yang dikeluarkan oleh MUI tidak akan berlaku lagi secara bertahap dan kewenangannya akan diambil alih oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang berada di bawah Kemenag.

Sebelumnya, selama puluhan tahun, MUI jadi penyelenggara sertifikasi produk halal melalui Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM).

Penetapan label halal baru dan pengambilalihan kewenangan diatur lewat Undang-undang (UU) Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang JPH.

Terlepas dari polemik label halal baru, banyak masyarakat yang masih awam terkait kelembagaan MUI, apakah termasuk bagian dari lembaga resmi negara atau organisasi non-pemerintah (apa itu MUI)?

Dikutip dari laman resminya, Senin (14/3/2022), MUI adalah gerakan masyarakat atau organisasi masyarakat (ormas). Tepatnya, MUI adalah organisasi yang dilahirkan oleh para ulama, zuama (pimpinan organisasi), dan cendekiawan muslim serta tumbuh berkembang di kalangan umat Islam.

Meski bukan lembaga pemerintah, MUI rutin menerima dana dari APBN melalui skema bantuan sosial (bansos). Selain APBN, MUI juga kerap menerima dana hibah dari sejumlah dari pemerintah daerah melalui APBD.

MUI menyebutkan, organisasnya sejatinya tidak berbeda dengan ormas-ormas lainnya di kalangan umat Islam, yakni sebagai organisasi yang sifatnya otonom dan menjunjung tinggi semangat kemandirian.

Meski pendiri maupun kepengurusannya banyak yang berasal dari sejumlah organisasi muslim, MUI bukan organisasi supra-struktur yang membawahi ormas-ormas Islam.

Sebagai organisasi mandiri pula, MUI bisa menjalin hubungan dengan pihak lain, baik di dalam maupun luar negeri.

Tercatat, sejak berdiri tahun 1975 di Jakarta, kepemimpinan MUI sudah berganti selama 8 kali. Ketua MUI pertama dijabat oleh Hamka (1977-1981), ulama kharismatik yang juga dikenal sebagai sastrawan.

Kemudian penerusnya antara lain Syukri Gozali (1981-1983), Hasan Basri (1985-1998), Ali Yafie (1998-2000), Sahal Mahfudz (2000-2014), Din Syamsudin (2014-2015), Ma'ruf Amin (2015-2020), dan Miftachul Akhyar (2020-sekarang).

Selain mengeluarkan sertifikasi halal, MUI juga cukup dikenal luas oleh masyarakat karena kerap mengeluarkan berbagai fatwa. Meski tak bersifat mengikat, fatwa MUI jadi rujukan umat Islam terkait sesuatu yang kerapkali diperdebatkan, seperti hukum halal atau haram.

Fatwa MUI dikeluarkan oleh Komisi Fatwa. Ada 12 komisi yang dimiliki oleh MUI. Lembaga ini juga tercatat memiliki sejumlah lembaga seperti Dewan Syariah Nasional (DSN) dan Dewan Halal Nasional (DHN).

Polemik label halal

Seperti diketahui, Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal Kementerian Agama (BPJPH Kemenag) menetapkan label halal yang berlaku nasional, yang bentuknya mengadopsi bentuk gunungan pada wayang.

Penetapan label halal yang berlaku nasional tertuang dalam Keputusan Kepala BPJPH Nomor 40 Tahun 2022 tentang Penetapan Label Halal yang berlaku efektif sejak 1 Maret 2022.

Kepala BPJPH Muhammad Aqil Irham mengatakan bahwa penetapan label halal merupakan bagian dari pelaksanaan ketentuan Pasal 37 Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal serta Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal.

Aqil mengatakan bahwa label halal Indonesia secara filosofi mengadaptasi nilai-nilai ke-Indonesia-an. Huruf Arab penyusun kata halal yang terdiri atas ha, lam alif, dan lam disusun dalam bentuk menyerupai gunungan pada wayang.

"Bentuk label halal Indonesia terdiri atas dua objek, yaitu bentuk gunungan dan motif surjan atau lurik. Gunungan pada wayang kulit yang berbentuk limas, lancip ke atas, ini melambangkan kehidupan manusia," katanya dikutip dari Antara.

Menurut dia, bentuk gunungan menggambarkan bahwa semakin tinggi ilmu dan semakin tua usia, manusia harus semakin mengerucut atau semakin mendekat ke Sang Pencipta.

Motif surjan pada label halal juga mengandung makna filosofis. Bagian leher surjan memiliki kancing tiga pasang atau enam biji, yang menggambarkan rukun iman, dan motif lurik sejajar satu sama lain mengandung makna sebagai pemberi batas yang jelas. Warna utama dan sekunder label halal Indonesia pun punya makna.

"Warna (utama) ungu merepresentasikan makna keimanan, kesatuan lahir batin, dan daya imajinasi. Sedangkan warna sekundernya adalah hijau toska, yang mewakili makna kebijaksanaan, stabilitas, dan ketenangan," tutur Aqil.

Makna yang terkandung pada bentuk dan warna label halal sejalan dengan tujuan penyelenggaraan Jaminan Produk Halal di Indonesia untuk menghadirkan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian ketersediaan produk halal bagi masyarakat.

https://money.kompas.com/read/2022/03/14/030200526/mui-termasuk-lembaga-negara-atau-ormas

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke