Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Pemerintah Harus Bekerja untuk Kemandirian Pangan

Bila ada pangan tetapi kurang terpenuhi komposisi gizinya, manusia akan mengidap kekurangan gizi, kelompok rentan seperti balita akan mengalami stunting. Sebaliknya, terpenuhi kebutuhan pangannya, tetapi tidak sehat dan kurang seimbang gizinya menyebabkan berbagai gangguan kesehatan, kategori penyakit kelas berat seperti diabetes, kanker, stroke, darah tinggi, jantung.

Pangan begitu sentral bagi kelangsungan, kemajuan, dan ketahanan sebuah bangsa. Bila menyadari bahwa pangan adalah pokok perkara yang begitu sentral, harusnya kita serius memikirkan persoalan pangan.

Sebagai bangsa yang dikaruniai tanah yang subur, kaya akan ragam pangan, negeri kita telah lama menjadi perburuan banyak pihak. Alfonso de Albuquerque pemimpin pasukan Portugis tahun 1509 mengadu nasib, mengarungi samudera, menuju ke Maluku untuk merampas rempah-rempah kita.

Sébastian del Cano dari Spanyol tahun 1512, hingga Pieter Both, pemimpin pertama VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie/gabungan perusahaan-perusahaan dagang Belanda untuk perdagangan di Hindia Timu) datang ke Nusantara tahun 1610, tak lain tak bukan ingin menguasai berbagai kekayaan alam, sumber pangan dan rempah rempah yang melimpah ruah, membentang dari Kesultanan Aceh hingga Ternate dan Tidore. Kolonialisme abad 16 hingga 19 adalah kolonialisme pangan.

Menyadari arti penting pangan, Bung Karno mendorong transformasi struktural pada sektor pangan, dari sistem kolonial ke sistem nasional. Land reform agenda utamanya. Kenapa land reform dipandang penting oleh Bung Karno dalam politik pangannya?

Bung Karno ingin menata ulang kepemilikan tanah sebagai basis produksi, termasuk hubungan-hubungan sosial-ekonomi dampak kepemilikan tanah tersebut. Menasionalisasi aset-aset kolonial, membagi konsentrasi kepemilikan tanah yang dikuasai segelintir priyayi.

Dengan land reform, para buruh tani dan petani gurem kelas “marhaen” bukan hanya sebagai penyuplai kebutuhan subsisten, dan dalam relasi seperti itu tidak memberikan kemakmuran, apalagi menjadi pilar ketahanan pangan nasional.

Lahirlah Undang-Undang No 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria (UUPA) sebagai manifestasi awal politik pangan Bung Karno. Sayangnya, belum cukup mensistematisir kebijakan penopang lainnya, Bung Karno keburu dikudeta dari tampuk kepemimpinannya. Orde Baru sebagai penerus pemerintahan berikutnya memiliki niat yang kuat untuk mewujudkan ketahanan pangan.

Dari Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) I tahun 1969 sampai Repelita VI tahun 1994 yang dijalankan Orde Baru selalu ada agenda pangan. Kebijakan Orde Baru meletakkan politik pangan dalam penguasaan negara dan swasta yang monopolistik. Pangan rakyat menjadi arena perburuan rente, dan konsentrasi modal ke segelintir kelompok usaha.

Kita menyaksikan kebijakan beras dipaksakan sebagai makanan pokok seluruh rakyat. Padahal tidak semua wilayah Indonesia makanan pokoknya beras. Sebagian besar wilayah di Indonesia Timur justru terbiasa dengan sagu dan umbi.

Kebijakan revolusi hijau cukup efektif untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional. Namun dalam perkembangannya menggerus keragaman pangan rakyat, dan menjebak rakyat pada ketergantungan bahan pangan tertentu saja, seperti beras hingga kini.

Sumber daya dan teknologi pangan tidak mampu mengadaptasikan perubahan. Urusan pangan kita terjebak dalam birokratisme ketimbang gerakan sosial.

Di luar Jawa, terjadi ekspansi lahan perkebunan monokultur yang mengancam keanekaragaman pangan hayati rakyat. Produk pangan kita juga tidak beragam, sehingga sebagiannya menggantungkan pada suplai impor.

Di ranah hilir, tata niaga pangan rentan menjadi permainan kartel dan perburuan rente. Belum lagi ancaman perubahan iklim yang nyata telah terjadi, sehingga tempo perubahan musim sulit diprediksikan, termasuk bencana hidrologi yang makin intensif.

Undang-Undang No 18 tahun 2012 tentang Pangan mengamanatkan untuk memenuhi ketersediaan pangan perlu memperbaiki sektor hulu dan hilir. Amanat itu antara lain, upaya produksi pangan harus bertumpu pada sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal.

Oleh sebab itu, seluruh pranata pedesaan haruslah menjadi subyek penting dalam politik pangan kita. Melalui pranata pedesaan inilah pemerintah mendorong sistem efisiensi usaha, mengembangkan sarana, prasarana dan teknologinya, dan penanganan paska panen. Undang-undang pangan juga mewajibkan mempertahankan lahan produktif, disertai pengembangan lahan baru, serta membangun kawasan sentra pangan yang beragam.

Memperbaiki sektor pangan adalah salah satu agenda utama Presiden Joko Widodo (Jokowi). Namun rintangannya tidak mudah disingkirkan. Presiden Joko Widodo menjanjikan sembilan juta hektar lahan menjadi obyek reforma agraria.

Presiden telah menerbitkan Perpres No 86 tahun 2018 tentang Reforma Agraria. Dua pokok pekerjaan dari Perpres Reforma Agraria itu adalah legalisasi dan redistribusi lahan kepada rakyat. Presiden Jokowi menargetkan sembilan juta lahan menjadi obyek reforma agraria, dengan rincian 4,5 juta lahan mendapatkan legalisasi, dan 4,5 juta lahan terbagikan ke rakyat untuk peningkatan produksi pangan.

Program sertifikasi lahan yang telah dijalankan oleh Kementerian ATR/BPN telah melampaui target. Sayangnya agenda yang lebih penting, yakni redistribusi lahan tidak mengalami kemajuan signifikan. Sejauh ini hanya sekitar 200-an ribu hektar yang berhasil dijalankan melalui skema redistribusi lahan.

Kurang suksesnya program ini besar kemungkinan cara kerja kementerian masih sektoral, banyak lahan yang seharusnya bisa dibagikan kepada rakyat, kuat dugaan masih dikonsesikan dengan perusahaan. Saya berharap Presiden Jokowi memimpin langsung program strategis itu.

Perbaikan infrastruktur pertanian juga telah ditempuh oleh pemerintah. Sejak memerintah tahun 2014 hingga kini, Presiden Jokowi telah membangun 65 bendungan. Upaya ini tidak optimal jika sinkronisasi tanggung jawab dari pemerintah daerah untuk ikut memperbaiki saluran irigasi sekunder dan tersier.

Diperlukan integrasi dengan irigasi primer yang dibangun pusat dan sekunder serta tersier oleh daerah dan desa. Banyak daerah masih abai soal ini. Oleh sebab itu pemerintah pusat harus mendisiplinkan perihal ini kepada pemda.

Jenis tanaman pangan yang kita tanam juga belum beragam. Bahkan beras yang menjadi tanaman utama masih ditopang dari impor. Saya berharap pemerintah intensif mendiversifikasi tanaman pangan, berdasarkan potensi dan keragaman budaya masyarakat. Langkah ini akan mengurai ketergantungan terhadap bahan pangan tertentu.

Terakhir, agenda yang belum dijalankan adalah membuat sistem logistik nasional (sislognas). Dengan sislognas ini memang memindahkan papan permainan dari bawah meja menjadi di atas meja. Mereka yang selama ini menikmati keuntungan dari rente dan monopoli pangan sudah pasti terganggu. Namun ini adalah periode terakhir Presiden Jokowi, waktunya Bapak Presiden makin memperbanyak legacy fundamental bagi kemajuan pangan kita.

https://money.kompas.com/read/2022/03/17/101043226/pemerintah-harus-bekerja-untuk-kemandirian-pangan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke