Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Memajukan UMKM untuk Mengurangi Ketimpangan

Itulah sebabnya riset tentang ketimpangan atau kesenjangan antarwilayah tidak pernah berhenti dilakukan akademisi.

Di era Indonesia merdeka, makalah ilmiah tentang ketimpangan daerah sudah ditulis sejak tahun 1970-1980-an.

Beberapa ilmuwan ekonomi daerah pada saat itu antara lain Hendra Esmara, Madjid Ibrahim, Syafrizal.

Pengamat ekonomi regional dari negara lain di antaranya Hal Hill, Mike Douglass, Takahiro Akita.

Namun pakar ekonomi daerah yang mungkin paling terkenal hingga saat ini adalah Profesor Iwan Jaya Azis (IJA).

Saya mengenal Prof. IJA sewaktu beliau belum lama menyelesaikan program doktornya di Cornell University dan diminta menyusun kajian ekonomi daerah untuk proyek National Urban Development Study (NUDS) di Departemen Pekerjaan Umum pada awal tahun 1980-an.

Saya ingat betul cerita beliau tentang perbedaan antara telur ceplok dengan telur dadar, dalam suatu pertemuan bersama tim penyusun kajian NUDS.

Telur ceplok menggambarkan partisipasi, sedangkan telur dadar menggambarkan keikutsertaan/involvement.

Saat itu beliau masih muda, sekitar 30 tahunan; namun sudah terlihat kepakarannya yang menonjol.

Gaya bicara beliau yang runtut, logis dan menjelaskan; baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris, sangat enak didengar.

Dalam berbagai pertemuan beliau sering menginformasikan kepada anak-anak muda, termasuk kami yang bekerja sebagai PNS, dan tentunya juga para mahasiswa beliau di Universitas Indonesia, dll, tentang peluang belajar di luar negeri.

Sekian puluh tahun kemudian kita mendengar tokoh-tokoh ekonomi hasil didikan Prof. IJA, sebutlah Sri Mulyani, Armida Alisjahbana, Chatib Basri, Bambang Brodjonegoro.

Sebagai guru besar di UI dan Universitas Cornell, tentunya beliau mondar-mandir Indonesia-AS.

Dan selama di sini, beliau sering menjadi dosen tamu di berbagai universitas, di Jawa maupun di luar Jawa.

Bisa disebut Prof. IJA adalah guru besar ekonomi regional untuk mahasiswa ekonomi Indonesia. Kiprah beliau tentu saja tidak hanya di dunia akademisi. Beliau tercatat pernah mengepalai unit riset di ADB, Manila.

Entah jabatan apalagi yang beliau emban di samping sebagai pengajar dan peneliti bidang ekonomi regional khususnya dan ilmu ekonomi secara umum.

Sebagai catatan, beliau adalah orang Indonesia yang berbicara di DPR AS untuk menjelaskan sebab-akibat terjadinya krisis moneter di Indonesia tahun 1997/1998.

Hingga saat ini beliau mungkin ekonom Indonesia yang paling produktif menulis buku dan makalah ilmiah di jurnal luar negeri.

Saya beruntung dapat membaca buku terbaru IJA berjudul Periphery and Small Ones Matter, Interplay of Policy and Social Capital, yang diterbitkan oleh Bank Indonesia Institute (2022).

Buku ini mengulas fenomena dua ketimpangan ekonomi yang terjadi di Indonesia, yaitu ketimpangan antarwilayah dan ketimpangan antara usaha besar modern dan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).

Analisis terhadap ketimpangan wilayah biasanya berfokus pada alokasi investasi yang tidak merata antardaerah dan adanya perbedaan kapasitas pemerintah daerah dalam memanfaatkan otonomi daerah yang lebih besar.

Untuk melengkapi kajian yang sudah ada, IJA menitikberatkan analisisnya pada kekuatan aglomerasi dari dalam (endogenous forces of agglomeration) dan struktur dari kaitan ekonomi antardaerah sebagai bagian dari institusi yang ada.

Adapun dualisme dalam kegiatan usaha umumnya menyoroti berbagai kendala yang dihadapi UMKM, seperti dalam hal modal, keterampilan, informasi, pemasaran, teknologi, dan sebagainya.

IJA menganalisis UMKM dari sisi lain, yaitu persepsi pelaku usaha kecil terhadap modal sosial, kebijakan pemerintah, dan interaksi antara keduanya.

Modal sosial dijelaskan sebagai kapasitas untuk berpartisipasi dan berkoordinasi dari berbagai pihak untuk mencapai tujuan bersama.

Sepanjang tahun 2021, di tengah-tengah merebaknya pandemi Covid-19, IJA dan tim melakukan wawancara dengan banyak pengusaha yang tersebar di berbagai daerah.

Tujuannya untuk mendengar dan memahami persepsi pelaku UMKM terhadap berbagai masalah yang membuat mereka umumnya tidak efisien, tidak produktif dan tidak kompetitif.

Riset yang dilakukan berusaha untuk mengetahui sejauhmana institusi dan modal sosial berperan dalam penyikapan UMKM terhadap kebijakan pemerintah untuk memajukan mereka.

Institusi ada yang berwujud formal seperti kebijakan, perundang-undangan dan peraturan pelaksanaannya, pada tingkat nasional dan regional.

Namun ada juga institusi yang berwujud informal, seperti norma-norma birokratik, klientelisme, paternalisme, patrimonialisme, kebiasaan, tradisi, dan aturan berperilaku (codes of conduct); yang masing-masing dapat memengaruhi implementasi kebijakan.

Kajian ini menyarankan perlunya memasukkan prinsip-prinsip desain kebijakan yang kompatibel dengan institusi yang ada.

Perumusan kebijakan yang mempertimbangkan persepsi pelaku UMKM jauh lebih penting daripada mengalokasikan anggaran ke daerah tertinggal dan membagikan bantuan keuangan kepada bisnis skala kecil.

Unsur-unsur institusi jika berinteraksi dengan modal sosial yang mendukung akan meningkatkan efektivitas kebijakan pengembangan UMKM.

Riset IJA menyimpulkan bahwa pengembangan kelompok usaha kecil dalam suatu kawasan merupakan strategi ampuh untuk mengurangi kesenjangan dengan usaha besar.

Menurut IJA, dualisme spasial antara “pusat” dan “periferi” yang tidak terkontrol akan memengaruhi ketimpangan antardaerah.

Selanjutnya, institusi formal yang melibatkan sekelompok UMKM dapat dibangun untuk mengurangi kekuatan aglomerasi “pusat” dan memitigasi dampak negatifnya pada “periferi”.

Untuk itu manfaat beroperasinya UMKM dalam suatu klaster industri harus lebih besar dari biaya transaksi yang dikeluarkan. Karakteristik dari operasi klaster akan menentukan apakah hal itu dapat terjadi.

Itu tadi pemahaman saya yang terbatas terhadap buku Prof. IJA tentang ekonomi usaha kecil dan kaitannya dengan ketimpangan wilayah.

Buku ini padat dengan teori, model dan data/informasi, yang pada hemat saya sangat penting untuk dipahami oleh birokrat, akademisi dan praktisi usaha kecil.

Untuk dapat menjangkau masyarakat luas, penerjemahan buku ini kiranya perlu dilakukan, dengan hasilnya tetap bersifat publikasi terbuka. Semoga Bank Indonesia Institute mendengar usulan ini.

https://money.kompas.com/read/2022/03/23/133938326/memajukan-umkm-untuk-mengurangi-ketimpangan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke