Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Sindrom “Semua Bikin Sendiri” di Koperasi

Beberapa mengembangkan secara serius, beberapa ala kadarnya. Intensitasnya berbanding lurus dengan sumber daya mereka.

Sebaliknya, seringkali saya dorong mereka untuk bermitra dengan tech provider yang sudah ada. Sebabnya sederhana, pengembangan teknologi bukan core competency koperasi.

Lalu pada banyak diskusi saya menangkap kesan soal kerja sama di koperasi rendah. Meski modus itu telah diafirmasi lewat Prinsip Koperasi Internasional ke enam, trennya jalan di tempat.

Banyak praktisi koperasi mengeluhkan hal itu. Bagaimana membangun kerja sama business to business jangka panjang antar koperasi tidak seenak kata “ko-operasi”, yang berarti “kerja sama”.

Di kasus lain, merger/amalgamasi jarang menjadi pilihan strategi. Banyak di antaranya memilih jalan sendiri meski mengalami stagnasi.

Ada ego kesejarahan yang begitu rupa ingin dipertahankan daripada menyongsong pertumbuhan di masa depan.

Jajak pendapat yang dilakukan Indonesian Consortium for Cooperative Innovation (Mei, 2021), menemukan hanya 1 dari 10 koperasi yang pernah melakukan merger/amalgamasi.

Gejala-gejala itu membuat saya penasaran. Jangan-jangan ini bukan soal teknikal-organisasional belaka, melainkan soal mental model.

Di mana saya lihat ada kecenderungan “semua ingin dibikin sendiri”. Pada kolom ini saya ingin membedah soal mental model itu.

Rumongso Biso

Bayangkan mental model berlapis-lapis seperti bawang merah. Saya akan mulai dari lapis luar, keyakinan diri soal rumongso biso atau merasa mampu.

Merasa mampu ini tidak sama dengan kemampuan aktual. Ini hanya pandangan terhadap penilaian diri sendiri (self assessment).

Banyak di antara kita menilai diri melebihi kemampuan aktualnya. Digambarkan dengan baik dalam kurva Dunning Kruger Effect.

Bagaimana seseorang begitu percaya diri tentang pengetahuannya, yang seolah paling pintar/ tahu, berbanding terbalik dengan kompetensi aktualnya.

Selalu ada bias dalam menilai diri sendiri, parahnya menilai secara over value.

Bagi beberapa koperasi yang mengembangkan teknologi sendiri, boleh jadi mengiranya sederhana.

Padahal banyak hal yang harus disiapkan tatkala membangun teknologi. Mulai dari penyiapan teknologi, talenta, penyiapan infrastruktur, keamanan, perlindungan data, kepatuhan terhadap regulasi, kemampuan interkoneksi antar layanan, kemampuan interoperabilitas teknologi tersebut dan seterusnya.

Dalam suatu forum saya pernah menemukan ada satu koperasi yang mengembangkan teknologinya secara mandiri, yang saya taksir sudah investasi lebih dari dua ratus juta rupiah.

Teknologi itu sudah diimplementasi di beberapa cabang. Ironisnya, sama sekali belum pernah dilakukan Pen-test, yakni suatu pengujian terhadap kemungkinan sistem dipenetrasi oleh pihak lain secara ilegal. Padahal itu sangat mendasar.

Belum lagi bagaimana contingency plan, misalkan ketika infrastruktur gagal (sebab kebakaran, bencana atau lainnya).

Seberapa cepat sistem pulih dan kembali beroperasi, tentu dengan daya dukung infrastruktur cadangan lainnya.

Sesungguhnya teknologi yang terlihat mudah (user friendly) itu, sangat kompleks di belakang layarnya.

Belum juga terkait dengan keamanan sistem manajemen informasi, perlindungan data dan lainnya, yang membutuhkan ISO 27001 serta sertifikasi lainnya. Singkatnya, butuh investasi yang besar untuk itu.

Matra Kemandirian

Pada lapis dalam saya curiga mental model itu terkait dengan matra kemandirian yang ada pada organisasi koperasi.

Kemandirian tergambar dalam jargon “berdikari”, berdiri di atas kaki sendiri. Yang bila dimaknai secara kaca mata kuda, mendorong koperasi untuk membuat segala sesuatunya mandiri dan sendiri-sendiri.

Awalnya saya terusik dengan Matt Ridley dalam bukunya The Rational Optimist, How Prosperity Evolves (2010), yang menulis di salah satu sub babnya soal “Kemandirian itu kemiskinan”.

Tesisnya ia dukung dengan melihat evolusi suatu peradaban, termasuk evolusi homo sapiens. Di mana kemajuan yang terjadi sampai hari ini merupakan capaian otak kolektif. Sebuah hasil kerja dari jaringan inovasi ribuan bahkan jutaan pelaku.

Dia memberi contoh bagaimana suatu peradaban/bangsa tertentu mengalami kemunduran karena isolasi.

Sebaliknya, kesalingtergantungan (interdependensi) membuat peradaban makin maju. Dalam kesalingtergantungan tersebut terjadi kerja sama.

Menariknya, secara evolutif sejarah manusia sejak dulu kala melakukan spesialisasi pekerjaan. Kerja sama dan pertukaran barang dan jasa terjadi karena spesialisasi.

Boleh jadi keliru paham terhadap doktrin kemandirian itu menjadi mental model yang membelenggu.

Segala ihwal harus dibikin sendiri yang membuat pertukaran: modal, keahlian, pengetahuan, pengalaman, teknologi, keterampilan, SDM, jaringan serta sumberdaya lain berjalan lebih lambat.

Bila asumsi itu benar, mental model itu menjadi kurang diterima di zaman ini yang trennya ke arah collaborative economy.

Cara pandangnya bagaimana membangun suatu ekosistem bisnis dengan melibatkan, kerja sama dan kolaborasi, pihak lain.

Ada pembagian peran pada setiap rantai nilainya, yang mendorong terjadinya pembagian nilai kepada para pihak yang terlibat.

Bauran Strategi

Sesungguhnya sedikitnya ada lima bauran strategi yang bisa dipilih koperasi dalam mengembangkan bisnis.

Pertama dengan membikin sendiri (building by ourselves). Pada core business, tentu koperasi wajib membangun dan mengembangkannya sendiri.

Strategi ini kaprah dan telah dilakukan oleh semua koperasi sejak pertama berdiri.

Strategi kedua adalah merger atau akuisisi. Pada usaha pendukung, bisa saja koperasi melakukan merger/akuisisi bisnis lain.

Untuk mencapai skala ekonomi tertentu, berbanding dengan pertumbuhan dan waktu, koperasi bisa melakukan merger.

Atau pada kebutuhan lain, koperasi bisa melakukan akuisisi perusahaan tertentu agar tak perlu membangunnya dari awal.

Ketiga adalah kemitraan (partnership). Pada rantai nilai yang lain, misalnya teknologi, alih-alih membangun sendiri koperasi bisa bermitra dengan tech provider.

Di mana mereka telah memiliki rekam jejak dengan ribuan trial-error pengembangan sistem inti, fitur dan modular.

Kemitraan ini relatif sederhana sebagaimana kerja sama business to business pada umumnya.

Selanjutnya adalah strategi ko-investasi (co-invest). Beberapa koperasi dapat melakukan investasi bersama terhadap suatu bisnis.

Misalnya, beberapa koperasi produksi investasi bersama untuk mendirikan factory sharing. Tujuannya untuk memiliki pusat produksi/pengolahan tanpa harus mengeluarkan sumberdaya yang besar. Skema itu juga akan membuat risiko terbagi ke yang lain.

Kelima, pengembangan bersama (co-development) terhadap suatu layanan/ produk. Pada koperasi yang sejenis, mereka bisa melakukan pengembangan layanan/produk bersama.

Misalkan pada level riset atau pemodelan untuk kemudian hasil akhirnya dikembangkan oleh masing-masing koperasi.

Bisa juga pengembangan layanan/produk secara jangka panjang dengan ketentuan serta manfaat yang disepakati.

Pembelajaran Sakti

PT. Sakti Kinerja Kolaborasindo atau yang lebih dikenal dengan “Sakti” menarik kita telaah. Bagaimana kelima strategi di atas dijalankan semua.

Sebelum berubah menjadi “Sakti”, perusahaan teknologi ini milik perorangan yang mengembangkan core system bagi koperasi dengan nama SiCundo.

Sampai kemudian komunitas koperasi pengguna melakukan akuisisi terhadap teknologi dan mendirikan perusahaan bersama.

Sakti sahamnya dimiliki 100 persen oleh 16 koperasi dengan modal disetor mencapai lebih dari Rp 35 miliar.

Tak hanya itu, Sakti juga melibatkan lebih dari 15 koperasi, individu serta lembaga lain sebagai investor. Artinya strategi ko-investasi juga berjalan apik di sana.

Dalam pengembangan fitur/teknologi, mereka melibatkan koperasi pengguna. Koperasi menyediakan programer dengan kualifikasi tertentu dalam proses co-development fitur atau kustomisasi modular.

Dua kali setahun mereka buat lokakarya untuk meningkatkan kapasitas para programer koperasi.

Mereka menyediakan core system (konvensional dan syariah), sistem retail, aplikasi kolektor dan juga aplikasi mobile untuk anggota berbasis Android dan iOS.

Tercatat per 2021 penggunanya mencapai 350-an koperasi yang tersebar di seluruh Indonesia. Total anggota dari seluruh koperasi pengguna mencapai 1 jutaan orang.

Koperasi-koperasi itu bermitra (partnership) secara jangka panjang. Setiap koperasi pengguna secara opsional bisa ikut investasi.

Bauran strategi di atas telah dipraktikkan di Sakti. Pembelajaran utama yang paling menentukan adalah pada proses awal.

Bagaimana 16 koperasi memilih untuk mengakuisisi perusahaan eksisting daripada mendirikan dan mengembangkan perusahaan baru.

Bila dulu mereka memilih mendirikan baru, bisa dibayangkan butuh waktu berapa lama masuk ke learning curve yang sama sekali baru bagi mereka.

Akuisisi memungkinkan learning curve dimampatkan. Tidak dari nol, melainkan mengakselerasi yang sudah ada.

Inisiatif itu bisa terjadi karena didukung kepemimpinan visioner para Pengurus dari 16 CU/ koperasi Pendiri.

Mereka mampu keluar dari mental model lama: bikin sendiri. Beralih ke mental model baru: kolaborasi.

Belajar dari koperasi-koperasi Pendiri Sakti, Anda bisa memilih apakah tetap akan mendirikan dan mengerjakan semuanya sendiri atau menggunakan empat strategi lainnya.

Semua soal pilihan, tapi pilihan yang tepat akan mengefektifkan dan mengefesiensikan sumber daya. Juga akan mengakselerasi dan mengungkit pertumbuhan. Dan sebaliknya.

https://money.kompas.com/read/2022/03/30/133735126/sindrom-semua-bikin-sendiri-di-koperasi

Terkini Lainnya

Bos BI Optimistis Rupiah Bakal Kembali di Bawah Rp 16.000 Per Dollar AS

Bos BI Optimistis Rupiah Bakal Kembali di Bawah Rp 16.000 Per Dollar AS

Whats New
Mendag Ungkap Penyebab Harga Bawang Merah Tembus Rp 80.000 Per Kilogram

Mendag Ungkap Penyebab Harga Bawang Merah Tembus Rp 80.000 Per Kilogram

Whats New
Hadapi Tantangan Perubahan Iklim, Kementan Gencarkan Pompanisasi hingga Percepat Tanam Padi

Hadapi Tantangan Perubahan Iklim, Kementan Gencarkan Pompanisasi hingga Percepat Tanam Padi

Whats New
Panen Ganda Kelapa Sawit dan Padi Gogo, Program PSR dan Kesatria Untungkan Petani

Panen Ganda Kelapa Sawit dan Padi Gogo, Program PSR dan Kesatria Untungkan Petani

Whats New
Alasan BI Menaikkan Suku Bunga Acuan jadi 6,25 Persen

Alasan BI Menaikkan Suku Bunga Acuan jadi 6,25 Persen

Whats New
Cara dan Syarat Gadai Sertifikat Rumah di Pegadaian

Cara dan Syarat Gadai Sertifikat Rumah di Pegadaian

Earn Smart
Cara dan Syarat Gadai HP di Pegadaian, Plus Bunga dan Biaya Adminnya

Cara dan Syarat Gadai HP di Pegadaian, Plus Bunga dan Biaya Adminnya

Earn Smart
Peringati Hari Konsumen Nasional, Mendag Ingatkan Pengusaha Jangan Curang Jika Mau Maju

Peringati Hari Konsumen Nasional, Mendag Ingatkan Pengusaha Jangan Curang Jika Mau Maju

Whats New
United Tractors Bagi Dividen Rp 8,2 Triliun, Simak Jadwalnya

United Tractors Bagi Dividen Rp 8,2 Triliun, Simak Jadwalnya

Whats New
Kunjungan ke Indonesia, Tim Bola Voli Red Sparks Eksplor Jakarta bersama Bank DKI dan JXB

Kunjungan ke Indonesia, Tim Bola Voli Red Sparks Eksplor Jakarta bersama Bank DKI dan JXB

Whats New
Suku Bunga Acuan Naik Jadi 6,25 Persen, Bos BI: Untuk Memperkuat Stabilitas Rupiah

Suku Bunga Acuan Naik Jadi 6,25 Persen, Bos BI: Untuk Memperkuat Stabilitas Rupiah

Whats New
KEJU Bakal Tebar Dividen, Ini Besarannya

KEJU Bakal Tebar Dividen, Ini Besarannya

Earn Smart
Program Gas Murah Dinilai ‘Jadi Beban’ Pemerintah di Tengah Konflik Geopolitik

Program Gas Murah Dinilai ‘Jadi Beban’ Pemerintah di Tengah Konflik Geopolitik

Whats New
Catatkan Kinerja Positif, Rukun Raharja Bukukan Laba Bersih 8 Juta Dollar AS pada Kuartal I-2024

Catatkan Kinerja Positif, Rukun Raharja Bukukan Laba Bersih 8 Juta Dollar AS pada Kuartal I-2024

Whats New
Luhut Sambangi PM Singapura, Bahas Kerja Sama Carbon Capture Storage dan Blue Food

Luhut Sambangi PM Singapura, Bahas Kerja Sama Carbon Capture Storage dan Blue Food

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke