Namun, UU HPP menyatakan pula dalam pasal yang sama bahwa tarif PPN masih bisa naik lagi menjadi 12 persen, selambat-lambatnya pada 2025. Selain itu, besaran PPN juga dapat disesuaikan lagi oleh pemerintah menjadi paling rendah 5 persen dan paling tinggi 15 persen.
Pengubahan besaran tarif PPN ke depan, merujuk UU HPP, cukup dilakukan dengan penerbitan peraturan pemerintah (PP) setelah pembahasan bersama DPR dan disepakati dalam penyusunan RAPBN.
PPN adalah pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen. Dalam bahasa Inggris, penyebutannya adalah value added tax (VAT) atau goods and services tax (GST).
Tarif PPN 11 persen bukan harga mati
Ketentuan tarif PPN menjadi 11 persen tertuang pada Pasal 7 UU HPP. Dalam hal PPN, UU HPP merupakan perubahan kelima atas UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Penyebutan untuk UU PPN cukup unik. Meski menggunakan penomoran bertahun 1983, UU ini jamak pula disebut sebagai UU Pajak Pertambahan Nilai 1984.
Menjadi semakin unik karena penyebutan ini pun merujuk pada teks UU itu sendiri, tepatnya di Pasal 20 UU Nomor 8 Tahun 1983 yang telah diubah beberapa kali dengan perubahan terakhir tercakup di dalam UU HPP.
Inilah yang mendasari penamaannya menjadi UU PPN sekaligus lazim disebut sebagai UU PPN 1984.
Kembali ke soal tarif, pengaturan persentase besarannya tercantum dalam Pasal 7 UU PPN. Ayat (1) huruf a pasal ini mengatur tentang pemberlakuan tarif 11 persen mulai 1 April 2022, sementara huruf b dari ayat satu pasal yang sama menyatakan tarif PPN akan naik menjadi 12 persen paling lambat pada 1 Januari 2025.
Namun, Pasal 7 ayat (3) UU PPN menyatakan juga bahwa tarif pajak ini dapat berubah menjadi paling rendah 5 persen dan paling tinggi 15 persen. Tanpa ada waktu spesifik untuk kemungkinan ini. Penjelasan UU menyebut, rentang tarif ini dimungkinkan berdasarkan pertimbangan perkembangan ekonomi dan atau kebutuhan dana untuk pembangunan.
Pasal 7 ayat 4 UU PPN menyatakan, kemungkinan perubahan tarif dalam rentang 5-15 persen tersebut harus dituangkan dalam bentuk peraturan pemerintah (PP) setelah disampaikan ke DPR untuk dibahas dan disepakati dalam penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN).
Tarif 0 persen PPN
Perubahan kelima UU PPN di UU HPP mengatur pengenaan tarif PPN 0 persen di Pasal 7 ayat (2). Besaran tarif ini diberikan untuk ekspor barang kena pajak berwujud, ekspor barang tak berwujud, dan ekspor jasa kena pajak.
Penjelasan UU atas pasal ini menyatakan, PPN dikenakan atas konsumsi barang kena pajak dan atau jasa kena pajak di dalam daerah pabean. Oleh karena itu, atas ekspor barang kena pajak dan atau jasa kena pajak untuk konsumsi di luar daerah pabean dikenai PPN 0 persen.
Meski demikian, penjelasan UU merinci pula bahwa pengenaan tarif 0 persen PPN untuk ekspor barang kena pajak dan jasa kena pajak ini tidak berarti pembebasan PPN. Karenanya, yang terjadi adalah pajak masukan yang dibayar untuk perolehan barang kena pajak atau jasa kena pajak itu dapat dikreditkan.
Sederhananya, PPN-nya tetap dihitung sebagai dibayar dulu sesuai tarif berlaku tetapi kemudian dikreditkan di perhitungan dan pelaporan pajak. Ini terkait dengan konsep pajak masukan dan pajak keluaran.
Pajak masukan adalah PPN yang seharusnya sudah dibayar oleh pengusaha kena pajak karena perolehan barang kena pajak dan atau perolehan jasa kena pajak dan atau pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean dan atau pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah pabean dan atau impor barang kena pajak.
Sementara itu, pajak keluaran adalah PPN terutang yang wajib dipungut oleh pengusaha kena pajak yang melakukan penyerahan barang kena pajak, penyerahan jasa kena pajak, ekspor barang kena pajak berwujud, ekspor barang kena pajak tidak berwujud dan atau ekspor jasa kena pajak.
Bila pajak keluaran lebih besar dibanding pajak masukan, selisih yang ada merupakan PPN terutang yang harus dibayar oleh pengusaha kena pajak. Sebaliknya, bila pajak masukan lebih besar dibanding pajak keluaran, selisihnya akan dikompensasikan ke masa pajak berikutnya, untuk menjadi bagian dari perhitungan antara pajak masukan dan pajak keluaran juga.
Barang dan jasa yang tak dikenai PPN
Perubahan kelima UU PPN di Pasal 4A menyatakan, jenis barang yang tidak dikenai PPN adalah:
Makanan dan minuman pada poin satu di atas mencakup yang dikonsumsi di tempat dan yang tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering.
Barang ini merupakan objek pajak daerah dan retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah.
Adapun jasa yang tak dikenai PPN berdasarkan ketentuan Pasal 4A UU PPN adalah:
Fasilitas bebas PPN
Siaran pers Kementerian Keuangan yang dilansir pada 31 Maret 2022 menyatakan, sejumlah barang dan jasa tertentu mendapatkan fasilitas bebas PPN, sekalipun tidak lagi diatur secara eksplisit di UU PPN, yaitu:
Masing-masing barang dan jasa yang masuk kategori mendapat fasilitas bebas PPN ini telah dan akan diatur tersendiri melalui peraturan menteri keuangan (PMK).
Misal, rumah yang mendapat fasilitas pembebasan PPN pada 2022 diatur dalam PMK 6/PMK.010/2022 tentang PPN atas Penyerahan Rumah Tapak dan Satuan Rumah Susun yang Ditanggung Pemerintah Tahun Anggaran 2022.
Naskah: KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI
https://money.kompas.com/read/2022/04/01/153318926/tarif-ppn-jadi-11-persen-per-1-april-2022-masih-bisa-naik-lagi-juga
Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & Ketentuan