Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Big Data untuk Atasi Masalah Minyak Goreng

Maka, sangat masuk akal jika tingkat konsumsi minyak goreng di Indonesia sangat tinggi. Kementerian Perdagangan (2022) menyebutkan bahwa kebutuhan minyak goreng untuk pangan secara nasional sekitar 5,7 juta kiloliter per tahun, terdiri atas minyak goreng untuk kebutuhan rumah tangga (3,9 juta kiloliter) dan industri (1,8 juta kiloliter).

Konsumsi minyak goreng untuk pangan per Januari 2022 sebesar 591 ribu ton, turun 16 persen dari bulan sebelumnya sebesar 705 ribu ton.

Dari sisi pasokan, menurut Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi, beleid Domestic Market Obligation (DMO) antara 14 Februari hingga 16 Maret 2022, bisa mengumpulkan 720.612 ton minyak sawit dari 3,5 juta ton total ekspor CPO. Dari jumlah ini telah distribusikan 551.069 ton.

Karena konsumsi minyak goreng tiap warga hanya seliter per bulan, maka jumlah yang didistribusikan setara dengan dua kali kebutuhan.

Spkekulasi penyebab kelangkaan minyak goreng

Dari keterangan Muhammad Lutfi itu, semestinya stok minyak goreng di pasar melimpah. Namun, kenyataan justru sebaliknya, minyak goreng seperti "menghilang dari pasar".

Mengapa hal itu terjadi? Siapa atau faktor apa yang menyebabkan stok minyak goreng sangat terbatas?

Sejauh ini jawaban atas pertanyaan itu belum tampak jelas. Yang ada hanya spekulasi atau dugaan, baik yang lahir dari mulut pejabat, politisi, dan para analis. Repotnya jawaban yang absurd itu terus menjadi ‘berita utama’ media massa dan menjadi bahan obrolan di media sosial.

Jawaban atas penyebab masalah tersebut sangat beragam. Ada yang mengatakan bahwa kelangkaan minyak goreng terjadi karena struktur pasar industri minyak goreng yang tidak sempurna.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha atau KPPU misalnya menyebut empat grup produsen raksasa menguasai 46,5 persen pasar. Konon, mereka menguasai usaha hulu-hilir: dari perkebunan, pengolahan CPO hingga pabrik minyak goreng. Dengan pasar oligopolis ini mereka leluasa mendikte pasar.

Ada pula yang menjelaskan bahwa dari sisi distribusi, rantai pasok minyak goreng juga belum sepenuhnya efisien. Saat ini, 45 (60,8 persen) dari 74 pabrik minyak goreng berbasis sawit ada di Jawa. Padahal, Jawa bukan penghasil sawit.

Ditambah pasar yang oligopoli membuat negara kian tak berdaya mengendalikan harga minyak goreng.

Muhammad Lutfi sendiri membeberkan dua kemungkinan penyebab minyak goreng langka di pasaran. Pertama, ada kebocoran untuk industri, yang kemudian dijual dengan harga tak sesuai patokan pemerintah.

Kedua, ada penyelundupan dan penimbunan oleh sejumlah oknum. Jadi ada yang menimbun, lalu dijual ke industri atau ada yang menyelundup ke luar negeri. Itu merupakan tindakan melawan hukum.

Sebelumnya Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan, Oke Nurwan mengatakan, kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng lebih dikarenakan harga internasional yang naik cukup tajam. (Bdk. Kompas.com, 26 November 2021).

Selain itu, faktor yang menyebabkan harga minyak di Indonesia mahal adalah turunnya panen sawit pada semester kedua tahun lalu. Sehingga, kata dia, suplai CPO menjadi terbatas dan menyebabkan gangguan pada rantai distribusi (supply chain) industri minyak goreng.

Penyebab lain yang menyebabkan naiknya harga minyak goreng yakni adanya kenaikan permintaan CPO untuk pemenuhan industri biodiesel seiring dengan penerapan kebijakan B30.

Faktor lainnya, yaitu gangguan logistik selama pandemi Covid-19, seperti berkurangnya jumlah kontainer dan kapal.

Mencari solusi yang tepat

Bertolak dari berbagai spekulasi faktor penyebab kelangkaan sebagaimana dikemukakan di atas, pemerintah lalu mencoba memberikan solusi. Langkah yang diambil antara lain menggelar operasi penangkapan sejumlah oknum yang melakukan penimbunan minyak goreng.

Untuk merespon kenaikan harga CPO, pada Maret 2022 pemerintah melalui Kemendag menerbitkan Permendag Nomor 6 Tahun 2022 tentang Penetapan Harga Tertinggi Minyak Goreng Sawit, antara lain minyak goreng murah Rp 11.500/liter (minyak goreng curah).

Kemudian untuk mencegah kenaikan harga minyak goreng, pemerintah melakukan intervensi dengan menetapkan harga pagu minyak goreng. Permendag tersebut dicabut dan diterbitkan Permendag Nomor 11 Tahun 2022 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) Minyak Goreng Curah untuk menyediakan minyak goreng murah, antara lain melalui kebijakan satu harga (Rp 14.000/liter).

Kemudian, pemerintah mencabut kembali HET, sehingga minyak goreng kembali hadir di rak-rak toko walau dengan harga yang lebih tinggi.

Memberikan BLT

Harga minyak goreng yang kian melambung tentu saja meresahkan warga masyarakat. Apalagi ketika sebagian besar dari mereka sedang mempersiapkan diri menyambut Hari Raya Idul Fitri, ketika minyak goreng menjadi bahan pangan utama.

Dalam situasi tersebut pemerintah mengambil kebijakan mensubsidi masyarakat miskin dengan bantuan langsung tunai (BLT) sebesar Rp 100.000/bulan selama tiga bulan.

BLT dibayarkan langsung untuk meringankan dampak kenaikan harga terhadap warga masyarakat.

Jumlah warga berpenghasilan rendah sangat besar yaitu 21,65 juta, terdiri 18,8 juta keluarga yang saat ini terdaftar dalam program Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT) dan tambahan 1,85 juta keluarga terdaftar di bawah Keluarga Harapan, program bantuan tunai bersyarat, tetapi tidak masuk dalam BNPT. Karena itu, sangat disayangkan jika ada yang menilai bahwa langkah pemerintah tersebut asal-asalan.

Begitu pentingnya nasib 21,65 juta warga itu maka Presiden Joko Widodo (Jokowi) menginstruksikan para pembantunya untuk menyelesaikan transfer tunai sebelum Idul Fitri, yang jatuh pada 1 Mei.

Selain itu, akan ada tambahan bantuan tunai Rp 750 miliar untuk 2,5 juta pedagang kaki lima, pemilik warung, dan nelayan.

BLT juga bukan dimaksudkan untuk mengendalikan inflasi sebagaimana disuarakan sekelompok orang. Sebaliknya, itu adalah respons pemerintah terhadap inflasi, yang naik ke level tertinggi dalam lebih dalam dua tahun terakhir pada bulan lalu.

Memisahkan sektor produksi dan distribusi

Kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng yang terjadi sekarang ini tentu saja menjadi pelajaran penting bagi bangsa kita. Untuk dapat mengatasi masalah tersebut, bangsa kita perlu melakukan beberapa langkah terobosan.

Salah satunya dengan memperbaiki sitem pasar dengan membuat pemisahan yang tegas antara sektor produksi dan sektor distribusi, supaya tidak terjadi tumpang tindih atau konflik kepentingan.

Ke depan, semestinya kegiatan produksi dilakukan oleh perusahaan-perusahaan minyak kelapa sawit ditambah beberapa badan usaha milik negara (BUMN) dan para petani kecil. Berdasarkan data Kementerian Pertanian, jumlah petani sawit di Perkebunan Rakyat (PR) pada 2019 diperkirakan mencapai 2,74 juta kepala keluarga.

Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mencatat, total produksi minyak sawit dalam negeri pada Januari 2022 sebesar 4,22 juta ton. Secara rinci, produksi CPO sebesar 3,86 juta ton, dan CPKO,365 ribu ton. Sayangnya, dari jumlah tersebut kontribusi BUMN dan petani sawit hanya sekita 4 persen.

Sedangkan pada sektor distribusi sebaiknya tak lagi dilakukan oleh perusahaan sawit tetapi dipercayakan kepada lembaga pemerintah atau unsur pemerintah, seperti PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) Bulog, Pertamina Power Indonesia (PPI), dan Perum Bulog.

Menerapkan sistem "big data"

Terobosan lainnya adalah menerapkan sistem big data bagi setiap pemangku kepentingan, mulai dari petani, perusahaan kelapa sawit, distributor dan pengecer, hingga toko/supermarket dan restoran/pedagang gorengan hingga para ibu rumah tangga.

Big data menyediakan data yang relevan tentang produk kelapa sawit, harga CPO, stok minyak goreng, titik distribusi, dan harga minyak goreng yang realtime.

Langkah untuk menerapkan sistem big data minyak goreng bukan hal yang mustahil. Sebab, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) sudah menyediakan Aplikasi Manajemen Data Sawit RI (Amandasari) untuk menyediakan data yang terintegrasi dalam satu sistem digital.

Untuk mendukung data yang ditampilkan lebih akurat dan variatif, BPDPKS akan menjalin kerja sama dengan beberapa pihak sebagaimana yang sudah dilakukan dengan Badan Pusat Statistik (BPS) terkait pertukaran data Kelapa Sawit (Bdk. www.bpdp.or.id 10 Maret 20220).

Sementara itu industri minyak goreng yang terdaftar dalam program pemerintah telah diwajibkan untuk mengisi dengan benar dan memperbarui datanya dalam Sistem Informasi Minyak Goreng Curah (Simirah).

Kewajiban ini tertuang dalam Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 8 Tahun 2022 tentang Penyediaan Minyak Goreng Curah untuk Kebutuhan Masyarakat, Usaha Mikro, dan Usaha Kecil dalam Kerangka Pembiayaan oleh BPDPKS.

Langkah berikutnya adalah mensinergikan aplikasi Amadasari dan Simirah dengan big data yang melibatkan stakeholders lainnya seperti toko/supermarket dan restoran/pedagang gorengan hinga para ibu rumah tangga.

Apabila pemerintah dan seluruh stakeholders minyak goreng bersinergi dan berkolaborasi melalui pemanfaatan teknologi digital untuk mengefektifkan big data minyak goreng, tidak mustahil ke depan masalah kelangkaan dan harga minyak goreng yang melambung tinggi bisa diantipasi, bahkan dicegah sejak dini.

https://money.kompas.com/read/2022/04/20/050900226/big-data-untuk-atasi-masalah-minyak-goreng

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke