Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Koperasi Bakal Menyusut Dekade Mendatang, Sebuah Hipotesis

Tentu saja hal itu disambut tawa peserta lain. Namun ia menjelaskan duduk masalahnya, bagaimana sekarang berbagai kebutuhan anggota relatif sudah terlayani.

Sebaran pinjaman cenderung menurun, sebaliknya simpanan anggota naik. Artinya kesejahteraan anggota meningkat. Di sisi lain, beban jasa yang ditanggung koperasi naik.

Boleh jadi itu anekdot sederhana, tapi ada benarnya bila kita hubungkan dengan tren demografi Indonesia saat ini.

Saya belum punya data pasti, saya taksir komposisi anggota koperasi saat ini 70 persen didominasi generasi X dan baby boomer. Hanya 30 persennya generasi Y dan sangat sedikit Z.

Tahun ini generasi X adalah orang dengan rentang usia 41-56 tahun, lalu baby boomer berusia 57-75 tahun. Kemudian generasi Y berusia 25-40 tahun dan Z di bawah dan sama dengan 24 tahun.

Lalu bagaimana anekdot di atas bisa terjadi?

Kebutuhan generasi

Bila Anda tergolong baby boomer, sebagian besar kebutuhan hidup Anda sudah tercukupi. Mulai dari sandang, pangan dan papan.

Saat ini Anda mulai memasuki masa pensiun. Anak-anak Anda sudah besar, memiliki pekerjaan, menikah dan punya anak. Artinya Anda sudah punya cucu.

Bila Anda masih bekerja, itu hanya sebagai aktivitas sambilan untuk mengisi waktu luang di masa pensiun.

Berbagai aspirasi dan kebutuhan boleh jadi 80 persen sudah terwujud. Daftar Anda kebutuhan menyusut.

Lalu bila Anda generasi X, saat ini Anda sudah memiliki pekerjaan tetap. Anda sudah memiliki keluarga, termasuk rumah.

Sebagian memiliki kendaraan mobil, sebagian roda dua. Anda mulai merencanakan juga berbagai produk keuangan yang relevan untuk masa depan: Simpanan Pendidikan, Simpanan Hari Tua, Asuransi dan sebagainya.

Bila Anda Muslim yang baik, Anda juga mulai merencanakan untuk naik haji, atau minimalnya umroh bersama pasangan.

Beda cerita bila Anda generasi Y atau milenial, sebagian Anda sedang menggeluti usaha atau fokus membangun karir.

Sebagian yang lain baru saja menikah atau belum sama sekali. Yang sudah menikah Anda mulai berpikir memiliki rumah dan menyekolahkan anak di SD atau SMP tertentu.

Pada pekerjaan, Anda sedang di posisi middle dan top management. Bila punya usaha, Anda sedang semangat sekali untuk ekspansi. Pada usia ini, Anda melakukan banyak investasi.

Sedang bagi Anda generasi Z, Anda baru lulus dan menjajaki dunia kerja. Sebagian yang lain masih di kampus dan sekolah.

Yang lain masih mencoba merintis usaha tertentu. Anda masih tinggal di rumah orangtua.

Anda mulai mengkredit kendaraan roda dua, mengganti ponsel yang bagus dan mungkin juga memiliki laptop sebagai perlengkapan kerja.

Tak ketinggalan Anda menikmati penghasilan mandiri dengan membeli beberapa setel pakaian. Anda sedang sangat bergairah untuk belanja.

Nah, tiap generasi di atas memiliki isu berbeda sesuai dengan fase kehidupannya. Anggaplah kita punya keranjang belanja, masing-masing generasi punya variasi dan kuantitas yang berbeda juga.

Bayangkan keranjang belanja Anda dalam kurva parabola terbalik, yang naik dan bertambah secara bertahap sesuai fase hidup.

Namun kemudian menurun pada fase tertentu, sebab sebagian besar barang belanjaan sudah dibeli.

Itu lah mengapa anekdot di awal relevan. Bila sebagian besar anggota koperasi merupakan generasi X dan baby boomer, kerangjang belanjanya sudah penuh. Semua layanan koperasi telah dimanfaatkan.

Ekstrapolasi dekade

Gambaran di atas sudah terjadi hari ini pada rentang usia masing-masing generasi. Pertanyaannya, apa yang akan terjadi bila tiap generasi kita ekstrapolasi satu-dua dekade mendatang?

Apakah anekdot di awal berlaku atau justru makin intensif?

Bila kita ekstrapolasi 10-20 tahun mendatang, generasi baby boomer akan berusia 67-85 tahun. Patut dicatat Angka Harapan Hidup (AHH) kita saat ini 73,5 tahun (2021).

Boleh dikatakan secara alamiah sebagian besar sudah tidak ada (meninggal dunia).

Lalu generasi X akan berusia 51-66 tahun pada dekade pertama dan 61-76 tahun pada dekade kedua. Itu artinya keranjang belanja mereka sudah penuh.

Sedangkan generasi Y dekade pertama akan berusia 35-50 tahun dan dekade berikutnya menjadi 45-60 tahun. Kebutuhan mereka sebagian sudah tercukupi dan menyisakan beberapa yang lain.

Nah, generasi Z, sekarang mulai memasuki fase dewasa, 10 tahun mendatang usia mereka 19-34 tahun dan 29-44 tahun pada dekade berikutnya.

Mereka sedang giat-giatnya bekerja/berkarir atau berwiraswasta dengan daftar kebutuhan yang masih banyak.

Singkatnya, dalam satu-dua dekade mendatang kita bakal kehilangan satu generasi, yakni baby boomer.

Lalu generasi X mulai “menua” dengan keranjang belanja yang mulai penuh. Generasi Y masih memiliki beberapa kebutuhan.

Sedangkan generasi Z, masih banyak kebutuhannya. Komposisi anggota koperasi dua dekade mendatang akan didominasi generasi X dan Y. Lantas bagaimana dengan generasi Z?

Keponakan saya generasi Z dengan usia 18 tahun. Suatu tempo pinjam dana untuk kebutuhan tertentu.

Dia memberikan nomor rekening bank tertentu, yang saya tidak familir. Di kemudian hari saya baru tahu bila bank itu termasuk dalam jajaran bank digital di Indonesia.

Saya baru menyadari bagaimana pilihan lembaga keuangan sudah berbeda. Akun bank saya masih bank konvensional dengan layanan digital (mobile banking). Sedangkan dia langsung bank digital.

Mungkin keponakan saya itu tak pernah sama sekali merasakan antre di bank konvensional, apalagi koperasi.

Generasi mereka, seperti teorinya, adalah generasi digital native. Yang tak pernah mengenal mesin tik, familiar dengan komputer meja apalagi laptop.

Lebih suka menonton siaran di ponsel pintar daripada TV. Tak salah bila pilihan bank pun langsung digital, yang untuk buka rekening cukup berswa-foto dengan kartu identitas.

Ancaman Involusi

Mari kita bayangkan satu-dua dekade mendatang demografi penduduk bergeser seperti itu. Yang simpulan awal saya, generasi Y atau milenial sebagian masih mengenal koperasi.

Bersama dengan generasi X, mereka akan menjadi “penduduk tetap” koperasi.

Namun kita akan menghadapi patahan pada generasi Z, sebab mereka sedari awal tumbuh berkembang pada habitus dan budaya yang sama sekali berbeda. Ya, seperti keponakan saya itu.

Dari analisis itulah saya membuat hipotesis koperasi akan mengalami involusi (penyusutan) pada satu-dua dekade mendatang.

Ketika keranjang belanja para “penduduk tetap” mulai penuh, di sisi lain tak memiliki layanan yang relevan bagi “penduduk pendatang”, generasi Z dan Alpha.

Ditambah pelaku bisnis (seperti perusahaan startup) sangat akseleratif menawarkan aneka layanan, yang sesuai dengan kebutuhan, aspirasi serta gaya mereka.

Lantas bagaimana mencegahnya?

Sejak lima tahun lalu saya sudah menyampaikan di banyak forum terkait aging syndrome ini. Pergeseran demografi bakal mendisrupsi koperasi secara tak terelakkan.

Maka koperasi harus membangun ulang dirinya sebagai entitas yang ramah anak muda. Anak muda ini dalam horizon milenial dan lebih-lebih pasca milenial.

Koperasi harus bisa menjawab kebutuhan generasi itu, bila tidak, ditinggalkan dengan sendirinya, menyisakan para milenial yang juga mulai “menua”.

Mengantisipasi itu, sebagian orang mengusulkan agar kembali mewajibkan mata ajar koperasi di berbagai level pendidikan. Menurut saya itu kurang relevan, sebab sifatnya hanya pengetahuan belaka.

Yang dibutuhkan adalah layanan nyata yang menjawab kebutuhan mereka dan dalam gaya mereka. Tak ingin kembali mengulangi dan menjadi klise, solusinya adalah inovasi.

Koperasi-koperasi eksisting perlu melakukan inovasi produk dan layanan. Peran riset dan pengembangan menjadi penting. Dana harus dialokasikan dan pilot project harus dibuat.

Suatu tempo saya ditanya salah satu ketua koperasi di Lampung, bagaimana menjangkau mahasiswa (artinya generasi Z) di kampus-kampus Lampung. Paling tidak ada 65 PTN/PTS, institut, sekolah tinggi dan akademi di sana.

Saya lempar ide, mengapa tidak dekati mereka dengan isu nyata yang dialami mereka: kiriman orangtua telat atau habis, kebutuhan mendadak dan sebagainya.

Singkatnya pinjaman dana pendidikan. Ditambah dengan aplikasi fintech yang mereka punya, dibuat semudah pay later dengan tetap menerapkan protokol perkoperasian yang baik.

Generasi saya, milenial, masih menggunakan Facebook dan Instagram. Namun generasi Z sebagian sudah meninggalkan Facebook, menetap di Instagram dan menikmati Tiktok.

Apa artinya, koperasi eksisting perlu juga melakukan inovasi pemasaran dan adopsi teknologi yang relevan. Koperasi perlu menghadirkan diri di media sosial secara intensif.

Selain itu, tak menutup kemungkinan untuk melakukan sesuatu yang lebih radikal dengan inovasi model bisnis.

Bila susah dikerjakan pada koperasi eksisting, Anda para pemimpin koperasi skala menengah dan besar, perlu melakukan pemekaran kelembagaan dengan mendirikan koperasi baru. Anda bisa menyoba memasuki pasar dengan segmen generasi Z.

Bayangkan suatu rintisan waralaba berbasis koperasi yang berorientasi menciptakan pekerjaan.

Atau sektor lain yang masih terbuka lebar peluangnya untuk menjawab kebutuhan non-keuangan anggota.

Tentu saja kita bisa berkreasi 1001 macam cara dan upaya untuk menjawab tantangan itu, dan itu tidak mudah.

Sektor swasta lainnya juga sedang berusaha keras menghadapi disrupsi tersebut. Situasi itu tergambar baik pada buku dengan judul bombatis “Millennials Kill Everything” (Yuswohady, 2019).

Koperasi sama, hanya saja awareness para pelaku, respons dan titik didihnya berbeda dengan swasta.

Dua puluh tahun mendatang Indonesia berusia satu abad, 2045. Jangan sampai pada momen emas itu, kita justru mengalami involusi, makin menyusut, kehilangan relevansi dan ujungnya lost generation.

Saya pikir isu ini bisa menjadi bahan refleksi bersama menjelang Hari Koperasi ke-75 mendatang.

https://money.kompas.com/read/2022/05/11/145252126/koperasi-bakal-menyusut-dekade-mendatang-sebuah-hipotesis

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke