Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Quantitative Easing, Taper Tantrum dan Ekonomi Indonesia

Kredit perbankan, interbank lending, dan perdagangan surat utang, masih "freezed."

Tak pelak, ekonomi Amerika masih sulit bergerak kala itu, di tengah angka pengangguran yang membengkak sampai 10 persen dan sekitar 5 juta orang kehilangan rumahnya.

Belum lagi bayang-bayang kebangkrutan yang akan dialami Ford dan General Electric (GE).

Di Gedung Putih, ditemani Larry Summer, Timothy Geithner (eks president The Fed New York yang diangkat Obama sebagai Secretary of Treasury), dengan naluri perbankannya menjelaskan kepada Obama situasinya.

Bahwa, ekosistem finansial Amerika masih sangat labil dan rentan. Harus diambil langkah-langkah kongkret.

Kalau tidak, bukan saja Amerika yang terkena imbas, tapi juga Dunia, mengingat ada puluhan ribu kontrak investasi di AIG, Merril Lynch, Fannie Mae, Freedy Mac, dan lainya, dengan institusi keuangan di puluhan negara lain.

Dengan kata lain, kalau ekosistem keuangan Amerika benar-benar collapse, bukan saja Amerika yang akan tersungkur. Sistem keuangan di banyak negara akan terseret di belakangnya.

Sebagaimana diceritakan ulang oleh Tim Geithner di dalam Biografinya "Stress Test: Reflections on Financial Crises (Maret 2015)," tak butuh waktu lama bagi Obama untuk memahami situasi yang dijelaskannya.

Obama mengatakan dengan tegas, “We need to rip the Band-Aid off. I want to do this right, and get it over with.”

Tim membalasnya, “We do have to rip the Band-Aid off. But we have to make sure we don’t break the financial system.”

Obama kurang paham maksud Tim. Kemudian Larry Summer yang waktu itu jadi anggota National Economic Council Presiden Obama, memperjelas maksud Timothy.

“What Tim means is, we can’t afford a plan that shatters a fragile system, destroys confidence, and causes the stock market to crash," kata Larry Tim lalu menjelaskan sedari pandangan dasar bahwa perbankan dan bank bisa hidup dari kepercayaan.

Itulah mengapa dulu sering disebut dengan "Trust Fund." Jika kepercayaan tidak dijaga, maka depositor akan menarik dana secara masal.

Lalu perbankan akan selesai dan Amerika akan semakin terpuruk di dalam krisis. Dengan kata kain, menurut Tim, pemerintahan Obama harus berdiri di belakang perbankan.

Akhirnya Obama paham. Tapi Gedung Putih juga harus tegas dalam menghukum para banker dan spekulan tak bertanggung jawab di Wall Street, kata Obama. Tim menyepakati.

Kemudian Obama meminta Tim kembali lagi besoknya, sembari membawa rencana mitigasi yang jelas dan komprehensif.

Urusan persetujuan kongres dan tetek bengek politik, biar saya yang bereskan, kata Obama.

“Leave the politics to me,” katannya.

Keesokan harinya, Tim datang dengan ajuan tambahan dana 420 miliar dollar AS lagi (akhirnya menjadi 787 miliar dollar AS).

Tim dan Ben Bernanke, plus Larry (Lawrence) Summer, akan kembali memasang bantalan dana untuk Wall Street.

Bahkan bahasa sederhananya, mereka akan melanjutkan nasionalisasi bank-bank besar untuk sementara waktu.

Tak pelak, Amerika sontak semakin ribut. Joseph Stiglitz yang waktu itu masih di Bank Dunia, mengatakan bahwa Tim lebih memilih Wall Street ketimbang Main Street.

Sementara Larry Kudlow, yang kemudian menjadi orang kepercayaan Donald Trump di bidang ekonomi, menyerang Tim habis-habisan. Tapi IMF mendukung penuh rencana Timothy.

Sayangnya, rencana Timothy tak berjalan lancar. Pasar kredit masih lesu, pinjaman antarbank dan pasar obligasi belum juga mencair.

Perbankan, perusahaan private investment dan private equity, hedged fund, perusahaan asuransi, dan lembaga pensiun masih takut dan menahan selera transaksinya.

Risikonya, suku bunga di pasaran tetap tinggi. The Fed sebagai otoritas moneter federal Amerika sudah menggunakan instrumen suku bunga (FFR/Fed Fund Rate) dengan pendekatan "Zero Lower Bound" (ZLB), yakni neutral interest rate alias suku bunga nol.

Tapi pasar masih statis. Walhasil, liquiditas tak banyak yang mengalir ke sektor riil.

Pertanyaanya, bagaimana cara membuat pasar keuangan mengikuti acuan suku bunga baru, zero interest, sementara suku bunga yang berlaku masih sangat tinggi, sekitar rata-rata 3-4 persen.

Maka lahirlah instrumen moneter non konvensional yang kita kenal hari ini dengan Quantutative Easing.

Teknisnya, The Fed menyuntikkan likuiditas ke pasar keuangan dengan menawarkan pinjaman via pembelian aset keuangan dalam jumlah yang besar (Large Scale Asset Punchases/ LSAPs) kepada perbankan komersial dan lembaga keuangan lainya.

The Fed menggunakan QE di dalam Open Market Operation (OMO) dengan fokus penurunan suku bungan jangka panjang yang menyebabkan pelebaran neraca keuangan the Fed, dari 1 triliun dolar AS menjadi lebih dari 3 triliun dolar AS dan seterusnya (QE 1, QE 2, dan QE 3).

Tak semua pihak sepakat dengan QE. Salah satunya adalah Brendan Brown, misalnya, seorang Austrian economist (penganut aliran ekonomi Autria sebagai lawan dari aliran New Keynesian).

Dalam bukunya “A Global Monetary Plague. Asset Price Inflation and Federal Reserve Quantitative Easing (2015)”, ia menilai bahwa kebijakan moneter QE adalah Great Monetary Expreriment (GME) justru tak menjamin turunnya suku bunga jangka panjang asset keuangan, tapi berpeluang menjadi wabah keuangan global dan sangat berpotensi mendatangkan krisis yang sama di masa mendatang.

Tapi bagi Ben Bernanke, pun para pendukungnya, QE adalah jawaban yang tepat untuk memecah kebekuan pasar keuangan Amerika yang membuat ekonomi riil tersendat.

Bernanke mengatakan bahwa berkat QE, output ekonomi Amerika berbalik ke angka sebelum krisis dalam tiga tahun, pengganguran turun dari 10 persen jadi 7 persen di tahun 2013, sebelum masa jabatan Tim Geithner selesai.

Dan di tahun itu pula tetiba diujicobakan penghentian QE pertama kali atau kita kenal dengan istilah Taper Tantrum.

Tapi tak berjalan mulus, bahkan imbasnya jauh melebar ke luar Amerika. Pasar keuangan dunia terkejut, terutama emerging market seperti Indonesia, yang sejak QE bermula mulai ketiban capital inflow dan hot money.

Masalahnya, kebijakan moneter Amerika nyaris tidak bergantung kepada indikator ekonomi dunia, apalagi emerging market.

Prof Ronald I. McKinnon dalam bukunya tahun 2013, "Unloved Dollar Standard" mengatakan bahwa meskipun dollar beredar di seluruh dunia dan menjadi salah satu mata uang cadangan devisa utama hampir semua negara, tapi kebijakan moneter the Fed hanya bergantung kepada indikator ekonomi menoter domestik Amerika, utamanya inflasi dan angka pengangguran di Amerika.

Hal tersebut berkait dengan dual mandate yang diemban oleh The Fed, yakni stabilisasi harga dan full employment (di BI dikenal dengan ITF, inflation target framework), tak peduli di Indonesia atau di belahan dunia lain faktanya seperti apa.

Baru belakangan the Fed mencoba berkoordinasi dengan lembaga keuangan internasional lainya, terutama IMF, terkait mitigasi potensi imbas dari Taper Tantrum yang dilakukan The Fed di bulan-bulan mendatang.

Seperti dana cadangan yang diterima oleh Bank Indonesia dari IMF beberapa waktu lalu, untuk menebalkan cadangan devisa nasional di saat berhadapan dengan potensi capital outflow setelah Taper Tantrum jilid II nanti.

Tapi sebenarnya untuk saat ini, acamanan negatif Tapering tidak terlalu besar, mengingat (1) perekonomian Indonesia yang sudah mulai membukukan angka pertumbuhan yang positif, (2) cadangan devisa yang terbilang cukup memadai.

Kemudian (3) lahirnya regulasi-regulasi investasi baru yang sangat propasar, (4) ruang kenaikan suku bunga BI yang masih lebar untuk mengantisipasi potensi imbas yang lebih besar dari yang diasumsikan, dan (5) angka kenaikan suku bungan The Fed yang tidak terlalu drastis, sekitar 0,25 basis point.

Namun potensi ancaman tetap ada, terutama setelah Putin memutuskan menginvasi Ukraina yang menyebabkan ekonomi global semakin panas.

Untungnya, perekonomian Amerika tak membaik sebagaimana diharapkan, sehingga tak mengurangi daya tarik investasi di negara-negara emerging market seperti Indonesia.

Selain itu, ada juga ancaman dari ulah para carry trader, sejenis spekulan global, yang hidup dari perbedaan suku bunga berbagai instrumen keuangan di seluruh dunia, mulai dari carry trader mata uang sampai pada carry trader surat berharga seperti surat utang negara bertenor panjang dan berisiko rendah.

Dan saya kira, suku bunga BI dan berbagai instrumen keuangan di Indonesia masih akan sangat kompetitif jika berhadapan dengan kenaikan Fed Fund Rate yang hanya sekira 0,25 basis point nanti dengan kisaran implikasi sekitar 0.5 – 1 basis point kepada suku Bunga instrument keuangan lainya di Amerika.

Indonesia perlu merespon di saat The Fed tetap menaikan suku bunga setelah FFR berada di atas 1 persen ke atas, karena diferential rate terlalu tipis di mata para investor global.

https://money.kompas.com/read/2022/05/18/121258426/quantitative-easing-taper-tantrum-dan-ekonomi-indonesia

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke